Desa

Desa dalam agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Dari 17 tujuan, 169 target, dan 241 indikator agenda SDGs (Sustainable Development Goals) atau di dikenal dengan istilah TPB (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan), data ukurnya belum sampai desa, tapi hanya sampai level kabupaten. Untuk desa dua alat ukur desa yang tersedia.

Islahuddin
Desa dalam agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Ikon 17 tujuan SDGs (Sustainable Development Goals) atau di Indonesia dikenal dengan 17 tujuan TPB (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan). | sdgs.bappenas.go.id /

Rubrik Desa ini bermula dari pertemuan Lokadata dengan Djarum Foundation dalam diskusi tentang SDGs (Sustainable Development Goals) dan penerapannya bagi korporasi pada Februari 2018. Selain membahas detail pengukuran, indikator, hingga lingkup data mikro, diskusi itu juga membahas sejumlah variabel spesifik.

SDGs adalah agenda bersama semua negara dunia (yang dicanangkan 2015-2030) untuk pembangunan berkelanjutan. Dunia sepakat untuk menciptakan perubahan ke arah pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia, dan kesetaraan dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.

Agenda bersama itu terdiri dari 17 tujuan, 169 target, dan 241 indikator yang rencananya akan dicapai dalam 15 tahun, sampai dengan 2030. Adapun 17 target berkelanjutan itu: 1) Meniadakan kemiskinan; 2) Mengurangi isu kelaparan; 3) Kesehatan dan kesejahteraan yang baik; 4) Pendidikan berkualitas; 5) Kesetaraan gender; 6) Air bersih dan sanitasi; 7) Energi yang terjangkau dan bersih; 8) Pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi; 9) Industri, inovasi dan infrastruktur; 10) Mengurangi ketimpangan; 11) Kota dan komunitas berkelanjutan; 12) Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; 13) Aksi iklim; 14) Kehidupan di bawah air dan kelautan; 15) Kehidupan di darat; 16) Institusi kuat perdamaian dan keadilan; 17) Kemitraan untuk mencapai tujuan.

Di Indonesia lembaga atau kementerian yang menjadi koordinator agenda ini adalah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Sejak 2017 Bappenas rutin sosialisasi tentang SDGs, menerjemahkan dan menerbitkan pedoman konsep dan model pengukuran wilayah provinsi hingga kabupaten/kota di Indonesia.

Bappenas menerjemahkan program SDGs ini dalam seluruh dokumen resminya menjadi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TBP). Program ini juga memiliki Dashboard SDGs yang terbuka dan bisa diakses untuk publik. Situs resmi badan itu juga didukung oleh sejumlah lembaga dan kementerian lainnya.

Situs itu juga memuat video pengantar, yang bisa dilihat di menu “Tentang”, dengan menampilkan artis-artis kenamaan yang menjelaskan tentang SDGs. Artis yang terlibat antara lain Chelsea Islan, Slank, Riri Riza, Nadine Chandrawinata, Ferry Salim, Alm. Glenn Fredly, dan Najwa Shihab. Video itu, saat diluncurkan, cukup mencuri perhatian warganet dan tayang di sejumlah televisi nasional.

Dengan memperhatikan arti penting SDGs itu, maka pada pertemuan di bulan berikutnya, kami mempelajari lebih dalam tentang SDGs dan bertemu para ahli di bidang itu. Ditemukan satu soal penting bahwa pengukuran SDGs dari sisi data pengukurnya ternyata hanya sampai level kabupaten/kota, dan belum mencapai desa. Persoalan itu kami ajukan dalam pertemuan, namun bukan jawaban yang kami dapat, malah tantangan untuk mengulik cara mengukurnya hingga level desa.

Dari diskusi itu kami mencatat sistem tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia selama ini belum mengarah ke sana. Memang banyak bantuan yang diturunkan melalui berbagai program CSR (corporate social responsibility) setiap tahun. Tentu akan sangat membantu jika ada yang membuat data desa itu lebih terintegrasi, berdampak, terukur, dan berkelanjutan sehingga memudahkan penataan dan perbaikan sistem serta program CSR.

“Pemerintah meminta kami menerapkan SDGs sampai level desa, minimal desa-desa area operasional kami. Kita harus dukung SDGs, selain pengukurannya jelas juga berkelanjutan. Jadi jenis program apapun yang akan kami buat harus memiliki dampak, bisa diukur, dan berkelanjutan. Itu fair. Semua perusahaan akan bantu negara kalau ada alat ukur seperti itu. Apakah kalian punya solusinya?” demikian pertanyaan yang diajukan pihak Djarum Foundation kepada kami.

Kami hanya bisa menjawab, “Akan mencari tahu hal itu terlebih dahulu.” Kami paham apa yang diminta: Semacam alat ukur “resmi” yang dibuat oleh negara dan sifatnya terbuka, bisa dilihat, diakses, dan diuji oleh publik. Mirip sebuah “penggaris ukur” yang diakui oleh negara dan sudah ada serta sudah digunakan oleh lembaga/kementerian di Indonesia.

Itulah awal dari petualangan kami. Mulanya berangkat dari sebuah gambar besar dan terkesan elite, kini kami “dipaksa” untuk membumi dan belajar tentang desa. Baru sekitar April 2018, setelah semua tim riset dan berburu informasi ke berbagai jaringan, muncul dua rekomendasi untuk data level desa.

Pertama, Indeks Pembangunan Desa (IPD) dikembangkan oleh Bappenas dan BPS pada pertengahan 2015. Kedua, Indeks Desa Membangun (IDM) 2015 yang disusun dan dikembangkan oleh Kemendesa (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi).

Sekilas sepertinya solusi sudah di depan mata namun segera saja kami disergap oleh perasaan bingung. Sebelumnya kami percaya pasti ada alat ukur tentang desa yang disusun oleh negara, dan kini kami bahkan menemukan ada dua. Keduanya dari dua lembaga/kementerian yang berbeda.

Ada apa dengan desa? Mengapa ada dua lembaga yang menyusun pengukurannya?

Bentang desa dalam dua alat ukur

Dalam penelusuran, kami terkejut dengan temuan bahwa ada dua “alat ukur” dalam menilai sebuah desa. Pertama Indeks Pembangunan Desa (IPD) dikembangkan oleh Bappenas, BPS, dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia & Kebudayaan pada pertengahan 2015. Kedua, Indeks Desa Membangun (IDM) 2015 yang disusun dan dikembangkan oleh Kemendesa (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi).

Kami lalu membagi kerja dalam dua tim. Tim pertama mempelajari data Indeks Pembangunan Desa (IPD) tahun 2014. Tim kedua mempelajari Indeks Desa Membangun (IDM) 2015. Bukan hanya memahami komposit pengukurnya tapi juga latar belakang variabel yang digunakan.

Hasilnya, kami menemukan dua alat ukur itu menggunakan sumber yang sama yakni Potensi Desa (Podes) 2014 milik Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam sejarahnya pendataan Podes digelar BPS sejak 1980 yang saat itu bersamaan dengan Sensus Penduduk 1980.

Dengan kata lain Podes adalah data induk desa terlengkap yang dimiliki oleh negara. Ia menjadi fakta penting pemantauan negara secara berkala atas potensi dan perkembangan infrastruktur desa di Indonesia. Ia adalah satu-satunya sumber data kewilayahan yang beragam dan memuat gambaran tentang situasi pembangunan suatu wilayah. Pola serupa masih berjalan hingga kini. Dalam 10 tahun pengumpulan data Podes dilakukan tiga kali dan pelaksanaannya bersamaan dengan Sensus Penduduk, Sensus Pertanian, dan Sensus Ekonomi.

Pada dekade 1990-2003 pengumpulan data Podes dilakukan bersamaan dengan penyelenggaraan sensus. Namun pada 1994 dan 1995 dilakukan kembali pendataan untuk kebutuhan program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Program itu sangat populer pada masa Orde Baru terutama tentang pembangunan sekolah Inpres di berbagai pelosok Indonesia.

Sejak 2008, pendataan Podes mengalami perubahan dengan adanya penambahan kuesioner suplemen kecamatan dan kabupaten/kota. Tujuannya adalah meningkatkan manfaat data Podes bagi para konsumen data dan pemerintah daerah untuk perencanaan pembangunan wilayah. Proses pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung oleh petugas terlatih dengan narasumber yang relevan.

Dengan sumber yang sama, maka cukup mudah melihat perbedaan antara IPD dan IDM. Hasil kedua pengukuran itu bersifat terbuka dan bisa diakses publik. Dokumen IPD 2014 diunggah dalam situs Bappenas sedangkan IDM diunggah dalam situs mini Kemendes.

Bahan baku utama yang digunakan IPD dan IDM sama yakni Podes 2014. Namun perbedaan metodelogi perhitungan membuat hasilnya berbeda.
Bahan baku utama yang digunakan IPD dan IDM sama yakni Podes 2014. Namun perbedaan metodelogi perhitungan membuat hasilnya berbeda. Lokadata / Lokadata

Perbedaan keduanya terletak pada indikator penilaian yang digunakan sedangkan sumbernya sama yakni Podes 2014. Jika IPD 2014, terdiri dari 12 variabel dan diturunkan menjadi 42 indikator, maka IDM 2015 memiliki 22 variabel yang terdiri dari 52 indikator.

Adapun dimensi ukur yang digunakan oleh IPD 2014 mencakup 5 dimensi yakni; 1) Pelayanan dasar; 2) Kondisi infrastruktur; 3) Aksesibilitas/Transportasi; 4) Pelayanan Umum; 5) Penyelenggaraan Pemerintahan. Sedangkan IDM 2015 menggunakan 3 dimensi utama yang juga istilah yang digunakan dalam SDGs yakni; 1) Dimensi sosial; 2) Dimensi Ekonomi; dan 3) Dimensi lingkungan (ekologi).

Keduanya sama-sama mengeluarkan status desa di semua wilayah. IPD 2014 menggunakan istilah Desa Tertinggal (sebanyak 20.432 desa), Desa Berkembang (sebanyak 50.763 desa), dan Desa Mandiri sebanyak (2.898). Sedangkan istilah yang digunakan IDM 2015 yakni, Desa Sangat Tertinggal (sebanyak 13.453 desa), Desa Tertinggal (sebanyak 33.592 desa), Desa Berkembang (22.882 desa), Desa Maju (sebanyak 3.608 desa), Desa Mandiri (sebanyak 174 desa). Hanya istilah dan jenis status desa yang berbeda, jika ditotal keduanya, jumlah desanya mencapai 73.709 desa.

Dimensi, variabel, dan indikator yang digunakan dalam IPD 2014 dalam menilai sebuah desa.
Dimensi, variabel, dan indikator yang digunakan dalam IPD 2014 dalam menilai sebuah desa. Lokadata / Lokadata

Perbandingan kedua alat ukur itu bukan mencari mana yang terbaik atau terburuk. Namun untuk memilih mana yang menjadi acuan tetap oleh negara dan pemerintah dan digunakan lembaga/kementerian lain. Hal ini penting, sebab sebaik apapun alat ukur, jika tidak ada yang mengakui dan tidak ada yang menggunakan, maka ia menjadi sia-sia.

Dengan berbagai pertimbangan itu akhirnya kami memilih menggunakan IDM 2015 sebagai acuan dalam melihat kondisi desa. Ini sebetulnya baru sebuah awalan. Alasan utama memilih IDM 2015 adalah karena diakui dan digunakan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai salah satu sumber utama penentuan jumlah dana desa.

Hal itu termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 226/PMK.07/2017 Tentang Perubahan Rincian Dana Desa Menurut Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2018 yang berbunyi, “…Data Dana Desa terdiri dari: a) Jumlah Desa, yang bersumber dari Kementerian Dalam Negeri; b) Jumlah Penduduk (JP) Desa, yang bersumber dari data kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) Kementerian Dalam Negeri; c) Jumlah Penduduk Miskin (JPM) Desa, yang bersumber dari Kementerian Sosial; d) Luas wilayah (LW) Desa, yang bersumber dari BPS; serta, e) Status Desa, yang bersumber dari data Indeks Desa Membangun Kementerian Desa dan PDTT.”

Dimensi, variabel, dan indikator yang digunakan dalam IDM 2015 dalam menilai sebuah desa.
Dimensi, variabel, dan indikator yang digunakan dalam IDM 2015 dalam menilai sebuah desa. Lokadata / Lokadata

Itulah yang menjadi dasar awal Rubrik Desa Lokadata. Ia adalah jawaban kami ihwal pengukuran SDGs hingga level desa dengan menggunakan IDM. Dari segi pengukuran dan variabel, serta berdasarkan komentar para pakar, IDM bisa dikatakan relevan dengan SDGs. Semangat dan dimensi ukurnya hampir sama yakni, pembangunan berkelanjutan dimensi sosial, dimensi ekonomi, dan dimensi lingkungan (ekologi).

Proses ini juga mengantarkan kami untuk menyusun Dashboard Lokadata, yang kini bisa Anda akses dan dapat digunakan sesuai kebutuhan pembangunan desa secara berkelanjutan. Selama dua tahun kami bekerja dan merancang teknologinya, dan kami diminta agar pengetahuan dan teknologi ini bisa digunakan oleh publik. Terutama untuk pembangunan berbasiskan data, potensi, dan kondisi desa.

Pada akhirnya, setelah melalui pencarian itu, kami menyadari bahwa untuk memahami Indonesia lebih baik, salah satunya adalah dengan belajar dan menyelami elemen paling bawah dalam struktur pemerintahan yaitu: desa. Sebab gugusan desa inilah yang membentuk bentang wilayah dari apa yang kita sebut Indonesia.

Baca juga artikel terkait:

Mengenal IDM, sang penentu jumlah anggaran dana desa

Teknis perhitungan Indeks Desa Membangun

Desa dan Indeks Desa

Baca Lainnya

Pembangunan desa dan perbedaan data
Analisis Kebijakan

Pembangunan desa dan perbedaan data

Pengukuran desa bertujuan menghasilkan data obyektif kinerja pembangunan desa hingga efektifitas kebijakan. Perbedaan perkembangan desa berpengaruh pada saran intervensi yang akan dilakukan bagi setiap desa.

Bambang Waluyanto