Desa dan Indeks Desa
Pemerintah sejak 2014 telah memulai era baru dalam mengawal pembangunan ekonomi. Pada isi Nawacita sekurangnya tafsir itu terpapar dalam tiga cita: membangun dari pinggiran, peningkatan produktivitas ekonomi rakyat, dan kemandirian ekonomi
Pemerintah sejak 2014 telah memulai era baru dalam mengawal pembangunan ekonomi. Pada isi Nawacita (visi pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla periode 2014-2019) sekurangnya tafsir itu terpapar dalam tiga cita, yakni membangun dari pinggiran, peningkatan produktivitas ekonomi rakyat, dan kemandirian ekonomi.
Jika direlasikan dengan konsep ekonomi pembangunan, “Tricita” tersebut berteduh dalam pohon teori ”struktural”. Salah satu alas yang dipakai untuk mengeksekusi Tricita di atas adalah UU Desa No. 6/2014. Undang-undang ini mendapatkan perhatian luar biasa dari khalayak karena dipandang sebagai cakrawala baru pembangunan. Desa diletakkan sebagai titik tumpu pembangunan, bukan lagi semata lokus keberadaan sumber daya (ekonomi) yang dengan mudah disedot oleh wilayah lain (kota) untuk beragam kepentingan. Kepedulian kian hebat ketika pemerintah meneruskannya dengan membentuk kementerian pengawal desa, yakni Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Gemuruh pembangunan desa yang terjadi pasca-terbitnya UU Desa No. 6/2014 dan afirmasi fiskal dalam wujud Dana Desa (DD) telah mengubah banyak tatanan “politik” desa. Pertama, politik kedaulatan desa. Perangkat desa dan warga desa berdaulat merumuskan dan memutuskan masa depannya karena kewenangan hak asal usul (rekognisi) dan kewenangan lokal berskala desa (subsidiaritas).
Kedua, politik pembangunan desa. Desa mulai melek bahwa urusan pembangunan bukan hanya bikin jalan, jembatan, irigasi; tetapi juga perkara terkait menganyam mutu warga (pemberdayaan), kemandirian ekonomi yang bertumpu kepada partisipasi dan sumber daya ekonomi desa, dan meletakkan sistem nilai (budaya) lokal sebagai basis gerakan pembangunan.
Ketiga, politik literasi desa. Kesadaran warga terhadap pengetahuan strategis desa hidup kembali, dari mulai soal transparansi anggaran, kesehatan reproduksi, demokrasi ekonomi, pengarusutamaan perempuan, jejaring informasi, basis data, hingga kesadaran ekologis.
Teknokratisme pembangunan desa yang bersandar kepada konstitusi dan ideologi bangsa berdiri tegak di atas tiga pilar (Trimatra Pembangunan). Direktorat Jenderal PPMD (Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa) Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi (Kemendesa) mendesain matra tersebut (di mana penulis saat itu sebagai Dirjen pertama, 2015) dengan perspektif sebagai berikut.
Pertama, mengarusutamakan penguatan kapabilitas manusia sebagai inti pembangunan, sehingga mereka menjadi subyek-berdaulat atas pilihan-pilihan yang diambil (Jaring Komunitas Wiradesa/Jamu Desa). Literasi warga pada semua aspek kehidupan merupakan sumber keberdayaan yang hakiki.
Kedua, mendorong gerakan ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik dan partisipan (Lumbung Ekonomi Desa/Bumi Desa). Penguasaan sumber daya ekonomi, penguatan organisasi ekonomi, dan advokasi kebijakan ekonomi desa merupakan tulang punggung dari matra ini.
Ketiga, mempromosikan pembangunan dan pemberdayaan sebagai kerja budaya (juga kesadaran ekologis) dan meletakkan partisipasi komunitas sebagai akar gerakan sosial-ekonomi (Lingkar Budaya Desa/Karya Desa). Sehingga, secara utuh isu sosial, ekonomi, dan ekologi menjadi jangkar pembangunan desa; persis seperti konsep “triple bottom line: people, planet, profit” yang didesain oleh John Elkington (The Economist, November 2009).
Penting pula dipahami bahwa seluruh cakupan di atas harus sensitif terhadap kesinambungan lingkungan dan partisipasi perempuan. Pembangunan yang terlalu memberi bobot kepada aspek ekonomi mungkin menjadi eskalator untuk mempercepat pencapaian ketinggian kesejahteraan, namun juga punya risiko terhadap destruksi lingkungan. Keduanya tentu tak boleh dikorbankan, meski kerap kali tak mudah mencapainya secara bersamaan. Demikian pula, banyak kasus inisiasi pembangunan yang dilakukan dan menyertakan kaum perempuan secara eksesif lebih punya potensi keberhasilan, seperti dalam model pengelolaan lembaga keuangan. Ekspansi kapabilitas manusia/komunitas harus menyasar perempuan sebagai target utama akibat warisan konstruksi sosial yang tak berpihak kepada mereka selama ini.
Pembangunan desa juga harus jelas tujuan dan pengukuran keberhasilannya. Seperti telah dibahas di atas, pembangunan desa tidaklah tunggal, tetapi memiliki dimensi yang luas (bukan hanya ekonomi). Kesejahteraan ekonomi merupakan salah satu indikator penting pencapaian pembangunan, tetapi itu bukanlah satu-satunya. Dua aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah kelekatan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Kelekatan sosial dimensi pokoknya adalah pemberdayaan warga/komunitas, kohesi sosial, dan penguatan organisasi lokal. Sementara itu, keberlanjutan lingkungan berisi aspek terkait ketersediaan sumber daya ekonomi, keseimbangan lingkungan, dan penataan kelembagaan. Selanjutnya, penguatan ekonomi tak lain berhubungan dengan promosi ekonomi lokal, pemenuhan kebutuhan dasar, dan akses kepada faktor produksi.
Dengan cara pandang semacam itu, maka keberadaan indeks pembangunan desa yang terukur dan komplet menjadi penting. Direktorat Jenderal PPMD Kemendesa secara sigap telah merumuskan indeks tersebut dengan nama Indeks desa Membangun (IDM). Penamaan indeks tersebut menunjukkan komitmen kuat untuk menyantuni spirit UU Desa, di mana pembangunan desa adalah ikhtiar yang dilakukan oleh warga desa itu sendiri, bukan didikte oleh institusi atau kelompok di luar desa.
IDM bertumpu kepada tiga dimensi, yakni ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi (lihat Bagan). Ketiga dimensi mendeskripsikan ruh pembangunan dan pemberdayaan yang utuh dan koheren dengan Trimatra yang telah dibangun. Masing-masing dimensi terdiri dari banyak variabel (dan terus disempurnakan) untuk melihat perkembangan status desa dari waktu waktu. Pengukuran inipun pada saatnya akan bisa dilakukan oleh pihak desa sendiri.
Di dalam dimensi sosial, di dalam konteks kelekatan sosial, misalnya, pemberdayaan warga/komunitas bisa dihitung berdasarkan partisipasi dalam lapangan pekerjaan, merumuskan pemecahan masalah yang muncul, dan kepesertaan dalam proses pengambilan keputusan. Pola yang sama bisa dikembangkan untuk aspek kohesi sosial yang memiliki makna kekuatan sosial sebagai penyangga harmoni hidup di perdesaan. Beberapa indikator yang bisa dipakai adalah intensitas kriminalitas, angka perceraian, patologi sosial (misalnya masalah penyimpangan seksual dan narkoba), dan lain-lain. Sementara itu, variabel organisasi lokal adalah jumlah organisasi (formal maupun informal) yang hidup di perdesaan, partisipasi warga dalam organisasi, dan dukungan organisasi terhadap kegiatan ekonomi. Pemanfaatan tradisi budaya dan lembaga mediasi adat juga bagian pokok untuk menggambarkan kekuatan dimensi sosial di desa.
Berikutnya, pembangunan bukan hanya meletakkan pencapaian hari ini sebagai indikator keberhasilan. Pembangunan adalah proses antargenerasi yang tak boleh putus, selalu berkesinambungan dari masa ke masa. Di luar itu, pembangunan tak boleh mereduksi kelestarian lingkungan, termasuk kesanggupannya menjaga stok sumber daya (ekonomi) bagi generasi berikutnya. Pada aspek ketersediaan sumber daya, misalnya, jumlah mata air di suatu desa (jika ada) tak boleh berkurang atau lenyap setelah pembangunan dijalankan. Jika mata air berkurang, maka kegiatan ekonomi pasti terganggu, seperti kebutuhan air bagi sektor pertanian atau rumah tangga (air bersih).
Hal yang sama berlaku untuk aspek keseimbangan lingkungan. Gemuruh pembangunan tak memiliki arti bila menimbulkan polusi (air, udara, tanah, dan lain-lain) sebagai harga yang harus dibayar. Di samping itu, yang tak boleh dilupakan adalah lingkungan kelembagaan, termasuk di dalamnya tata kelola pembangunan yang menjamin seluruh warga memeroleh hasil secara adil. Empat tata kelola yang paling utama adalah: memperbaiki kinerja pemerintahan (desa), transparansi, akuntabilitas, dan pelaksanaan aturan hukum.
Akhirnya, aspek penguatan ekonomi merupakan bagian yang kerap diharapkan hasilnya dirasakan secara cepat oleh masyarakat. Promosi kegiatan ekonomi lokal merupakan pertarungan yang harus dimenangkan oleh masyarakat desa. Aktivitas ekonomi harus mengoptimalisasikan potensi ekonomi lokal, termasuk kesanggupannya untuk menciptakan nilai tambah dan menjadi sumber kesejahteraan warga. Demikian pula, pemenuhan kebutuhan dasar, khususnya pangan, sandang, kesehatan (air bersih, sanitasi, dan lain-lain), pendidikan, dan pemukiman layak merupakan kewajiban yang mesti dipenuhi oleh pemerintah (pusat dan daerah), tentu dengan dorongan partisipasi warga setempat.
Selebihnya, akses kepada faktor produksi, seperti tanah dan modal, adalah keniscayaan bila kesejahteraan ekonomi hendak ditingkatkan. Problem involusi pertanian dan penurunan kesejahteraan petani, misalnya, secara umum disebabkan oleh akses terhadap faktor produksi yang kian lemah seiring dengan pendalaman pembangunan.
Konsep ideal itu tadinya pesimis bisa dieksekusi di desa karena beberapa hal. Pertama, tidak mudah menyatukan dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi dalam satu tarikan napas pembangunan. Pencapaian ekonomi yang tinggi biasanya diikuti dengan pelapukan sosial dan destruksi ekologi. Jika ekologi bagus, biasanya kinerja ekonomi memburuk, demikian seterusnya. Kedua, tidak gampang dalam waktu yang singkat bisa membangun literasi terhadap pembangunan yang utuh kepada perangkat dan warga desa di tengah situasi kelangkaan pengetahuan dan informasi.
Ternyata, meskipun jauh dari sempurna, dalam 5 tahun (2015 – 2019) terdapat perkembangan yang lumayan bagus. Desa dengan status sangat tertinggal dan tertinggal turun drastis; sementara desa maju, berkembang, dan mandiri bertambah cukup banyak (lihat Tabel). Mencapai perkembangan status desa itu tidak, karena mesti menyelaraskan ketiga dimensi tersebut, yaki sosial, ekonomi, dan ekologi. Perkembangan ini tentu sangat melegakan.
Kerangka pembangunan desa dan indeks desa itulah yang selama lima tahun ini dijalankan sebagai pandu di lapangan. Perangkat desa, warga desa, pemerintah pusat dan daerah, pegiat desa, dan pemangku kepentingan yang lain (universitas, ormas, korporasi, masyarakat sipil, dan lain sebagainya) berpeluh dengan memanfaatkan bekal konsep tersebut. Hasil yang telah diraih lumayan membanggakan untuk sebuah program besar yang baru berusia lima tahun.
Namun demikian, capaian itu masih jauh dari lengkap, banyak kelemahan yang mesti ditutup di masa depan. Terlebih, sejak Maret 2020 Indonesia diguncang oleh Covid-19 yang melantakkan kehidupan, termasuk perekonomian desa. Kata kunci untuk menyempurnakan pembangunan desa ke depan adalah: stok pengetahuan, mempercayai (warga) desa, dan konsistensi. Tiga formula itu yang akan menyangga daya hidup pembangunan desa. Jika salah satu saja direnggut, maka nyala api pembangunan desa dipastikan akan redup kembali.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB; Ekonom Senior Indef