Desa

Menakar Kudus lewat IDM dan BUMDes

Sebuah upaya menggunakan data sebagai acuan pembuatan program kebijakan yang berkelanjutan, berdampak, dan terukur. Salah satu acuannya menggunakan IDM (Indeks Desa Membangun) dan survei lapangan. Kemudian hasilnya dijadikan bahan rekomendasi untuk program intervensi yang dibutuhkan.

Islahuddin
Menakar Kudus lewat IDM dan BUMDes
Sejumlah tokoh masyarakat melepas burung merpati sebanyak 485 ekor sebagai simbol perdamaian saat pembukaan Ta'sis atau perayaan hari jadi Masjid Al-Aqsha Menara Kudus ke-485 di Desa Kauman, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (10/3/2020). | Ilustrasi | Yusuf Nugroho/ANTARA FOTO. Yusuf Nugroho / ANTARA FOTO

Pemerintah telah menjadikan IDM (Indeks Desa Membangun) sebagai acuan penentuan jumlah dana desa, dengan kata lain, indeks itu layak digunakan dalam melihat sebuah kawasan desa. Terlepas dari kekurangannya, indeks itu juga menjadi acuan pemerintah dalam menetapkan dana desa. Indeks itu juga memiliki singgungan dengan SDGs.

Tapi keduanya punya perbedaan dalam fokus pengukuran. SDGs menekankan pada pengukuran manusia dengan beragam dimensi, termasuk pemangku kepentingan dan manfaat bagi kelompok rentan. Sementara porsi terbesar pada IDM adalah menilai ketersediaan sarana dan fasilitas fisik, lalu kebutuhan sosial dasar dan lingkungan.

Data SDGs juga punya keterbatasan. Ia tidak menjangkau pengukuran tingkat desa, dan hanya berhenti di level kabupaten atau kota. Banyak para stakeholders, misalnya korporasi, membutuhkan data lengkap dan terpercaya di tingkat desa, di mana lokasi usahanya berdiri. Dalam hal inilah IDM lalu menjadi pilihan. Ia memiliki irisan dalam pengukuran dan menjadi rujukan pemerintah dalam menentukan status desa dan jumlah dana desa yang diterima.

Sejak dua tahun lalu, Djarum Foundation meminta Lokadata.id untuk melihat kondisi sejumlah desa di Kudus dari sisi IDM, khususnya dari jumlah desa sangat tertinggal hingga jumlah desa maju. Selain menggunakan data IDM, Lokadata turun mengecek kondisi lapangan. Pengecekan dilakukan antara lain untuk melihat status desa, apakah sesuai seperti nilai yang tercantum di IDM. Tim survei menghubungi semua pihak terkait, mulai kepala desa, camat, hingga dinas di pemerintah kabupaten.

Data hasil survei akan dijadikan dasar bagi program intervensi Djarum Foundation. “Pengecekan kembali ke pejabat resmi adalah untuk meminimalisir bias,” kata pihak Djarum Foundation pada 2018 lalu. Bagi Djarum Foundation, data itu sangat penting untuk menilai kebutuhan pihak yang akan dibantu, jenis kerjasama dengan pihak desa, pendamping desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi, “Jadi bukan sebagai objek dan program tanpa dasar. Yang terpenting adalah semua pihak terlibat dalam menjalankan program".

Tujuan dari proses ini bagi Djarum Foundation adalah merumuskan indikator pencapaian program agar sejalan dengan SDGs. Lalu menetapkan indikator yang dibutuhkan untuk intervensi program yang tepat hingga tingkat desa. Terakhir, untuk membuat program dan mengukur dampak, serta perbandingan antar wilayah.

Kondisi sejumlah desa di Kudus dalam IDM 2015 terhitung baik dengan skor rata-rata IDM 0,6643. Dengan nilai itu, Kabupaten Kudus berada pada peringkat 24 dari 416 kabupaten/kota di Indonesia, atau peringkat 12 dari 86 kabupaten/kota di Pulau Jawa. Semenatara untuk Jawa Tengah masuk dalam peringkat 3 dari 29 kabupaten. Nilai rata-rata IDM 2015 adalah Kabupaten Bantul dengan nilai 0,7616.

Dari data rinci nilai rata-rata Kabupaten Kudus dalam indeks itu terdapat spektrum status desa yang terdiri dari 2 desa mandiri, 23 desa tertinggal, dan 28 desa maju. Ada 9 kelurahan yang tak masuk penilaian, karena IDM hanya mengukur desa. Total jumlah desa dan kelurahan di Kudus sebanyak 123. Status desa terendah sangat tertinggal tidak ada di Kudus.

Dalam IDM 2015 itu, rata-rata desa dengan status desa tertinggal rendah dalam nilai lingkungan. Berdasarkan standar IDM, lingkungan adalah dimensi ukur paling berat dibandingkan dimensi ukur sosial dan ekonomi. Adapun komponen ukur dimensi lingkungan adalah jumlah fasilitas mitigasi/tanggap bencana, jumlah kejadian bencana (longsor, banjir, kebakaran hutan), dan pencemaran (air, udara, tanah, limbah di sungai) di desa.

Dengan hasil itu, Lokadata diminta melibatkan pakar atau pihak lain untuk menyusun konsep bagaimana intervensi yang tepat untuk menaikkan skor lingkungan ini. Setidaknya agar nilai IDM berikutnya bagi desa-desa tertinggal karena masalah lingkungan ini bisa teratasi. Sayangnya, IDM 2018 dan IDM 2019 muncul dalam waktu yang tak terlalu jauh, sehingga program lama belum selesai, pengukuran baru sudah dimulai.

Perbandingan status desa di Kabupaten Kudus dalam IDM 2018 dan IDM 2019. Sepanjang dua tahun pengukuran IDM di Kudus tidak ada desa dengan status tertinggal, paling banyak desa berkembang, maju, dan desa dengan status mandiri.
Perbandingan status desa di Kabupaten Kudus dalam IDM 2018 dan IDM 2019. Sepanjang dua tahun pengukuran IDM di Kudus tidak ada desa dengan status tertinggal, paling banyak desa berkembang, maju, dan desa dengan status mandiri. Lokadata / Lokadata

Dari hasil IDM 2018 dan IDM 2019, masalah desa di Kudus tampak berbeda. Jika 2015 terdapat desa tertinggal dan masalah utamanya pada lingkungan, maka dalam IDM 2018 dan 2019 tidak ada lagi desa dengan status desa tertinggal. Paling banyak desa berkembang, maju, dan desa dengan status mandiri.

Secara total dalam IDM 2018 terdapat 8 desa mandiri, 56 desa maju, dan 58 desa berkembang. Sedangkan pada 2019, indeks itu mencatat 12 desa mandiri, 48 desa maju, dan 62 desa berkembang. Berdasarkan nilai rata-rata desa berkembang sebagai status desa terendah di Kudus adalah kurang dalam nilai dimensi ekonomi.

Nilai ekonomi dalam IDM 2018 dan 2019 memang masih lumayan untuk status desa berkembang, namun posisinya rentan. Artinya, jika ada satu bagian yang jatuh pada pengukuran berikutnya, maka akan membuat status desa itu bisa menjadi desa tertinggal.

Lalu program intervensi apa yang tepat berdasarkan data, survei, dan komparasi? Pilihannya adalah mendukung pengembangan ekonomi desa melalui BUMDes. Program itu sejalan dengan target pemerintah yang ingin menciptakan kemandirian desa. Pemerintah menginginkan BUMDes menjadi soko guru ekonomi desa di masa mendatang.

Sejak 2019, Djarum Foundation yang melibatkan Lokadata, dan sejumlah kolega lainnya mengadakan pelatihan perihal BUMDes kepada pengurus desa. Sejumlah pihak terlibat dalam agenda ini. Untuk membantu pelatihan Lokadata menggandeng Penabulu, sementara Blibli.com diajak dalam soal membantu pemasaran dan penjualan produk desa. Para peserta terdiri dari pendamping desa, perangkat desa, kecamatan, dinas, hingga jajaran Pemda Kudus.

Program ini rencananya berlanjut untuk mendukung sejumlah desa di Kudus yang belum memiliki BUMDes. Antara lain mendampingi badan usaha desa yang telah menemukan potensi desa atau memiliki produk. Termasuk menghubungkan BUMDes dengan pihak swasta yang siap menampung komoditas desa dengan harga bersaing. Bagi badan usaha yang telah aktif dan berhasil memberikan pendapatan bagi desa, rencananya akan dilakukan scale up agar bisnisnya lebih berkembang.

Sejak wabah pandemi Covid-19, semua rencana itu tertunda sejenak. Saat ini, program bagi BUMDes itu sedang disesuaikan agar nantinya dapat terus berjalan dengan kondisi “new normal”.

Baca Lainnya

BUMDes Mijen: menambang rupiah lewat parkir pasar dan sampah
BUMDes

BUMDes Mijen: menambang rupiah lewat parkir pasar dan sampah

Kendati tak memiliki tempat wisata andalan, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sapto Karyo Manunggal tetap semangat mengembangkan potensi desanya. Terbukti, berkat usahanya mengelola pasar dan sampah, BUMDes mampu membuka lapangan pekerjaan dan menghasilkan Pendapatan Asli Desa (PADes).

Noor Syafaatul Udhma