Desa

Geliat dan peluang lain setelah sukses industri di Kudus

Hampir 80 persen ekonomi Kabupaten Kudus ditopang industri pengolahan. Sektor lain bisa memanfaatkan hal itu dengan jeli melihat peluang dan pasar serta kerjasama antar industri besar, sedang, hingga skala mikro kecil menengah.

Afthonul Afif Islakhul Muttaqin Noor Syafaatul Udhma
Geliat dan peluang lain setelah sukses industri di Kudus
Bendungan Wilalung atau bendungan pintu Sembilan di Desa Babalan, Undaan, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (8/1/2020). Bangunan bersejarah peninggalan kolonial Belanda yang beroperasi sejak 1918. Berfungsi sebagai pengendali banjir dan irigasi pertanian di Kabupaten Kudus, Demak dan Grobogan juga sebagai jalur transportasi alternatif warga dari kabupaten Kudus ke Demak atau sebaliknya. Yusuf Nugroho / ANTARA FOTO

Kudus adalah salah satu kabupaten di kawasan pantai utara Jawa Tengah yang memiliki tradisi kewirausahaan yang menonjol. Berbagai jenis pabrik dan usaha rumahan menjamur. Semua itu memberikan corak tersendiri pada Kabupaten Kudus sebagai kota industri dan perdagangan.

Hingga tahun lalu, terdapat 181 perusahaan besar dan sedang di Kudus yang mampu menyerap sekitar 98.890 tenaga kerja. Sedangkan jumlah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) mencapai 25 ribuan yang tercatat di Dinas Koperasi dan UMKM Kudus.

Menariknya, tradisi kewirausahaan yang kuat itu bisa hanya dilihat sebagai gejala ekonomi semata. Namun juga mencerminkan perjalanan pembentukan Kudus itu sendiri sebagai entitas spasial dengan sejarah, budaya dan perkembangan sosialnya yang khas.

Di masyarakat Kudus sendiri berkembang sebuah adagium kultural yang dikenal dengan istilah Gusjigang atau akronim dari bagus, ngaji, dagang. Dari istilah itu sudah terasa kuatnya nilai-nilai keluhuran, agama, dan etos kewirausahaan.

Dari sisi capaian ekonomi, kurun empat tahun terakhir (2017-2020) Kudus merupakan tiga besar wilayah penopang ekonomi Jawa Tengah, setelah Kota Semarang dan Kabupaten Cilacap. Baru tahun lalu, dalam laporan “Provinsi Jawa Tengah Dalam Angka 2021” (halaman 913) menempatkan Kudus pada posisi kedua menggeser Cilacap dalam hal persentase kontribusi terbesar jumlah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Berikut urutannya: Kota Semarang sebanyak 14,05 persen, Kabupaten Kudus mencapai 8,10 persen dan Kabupaten Cilacap sebanyak 7,80 persen. Tiga wilayah yang memegang peranan penting ekonomi Jawa Tengah itu hampir mayoritas ekonominya ditopang oleh sektor industri pengolahan.

Dalam “Kabupaten Kudus Dalam Angka 2021” PDRB tahun 2020 sebesar Rp109,15 triliun atau turun sebesar 1,3 persen dari tahun 2019. Capaian ekonomi Kudus mayoritas ditopang sektor usaha industri pengolahan sebanyak 79,92 persen. Sisanya sumbangan dari sektor usaha perdagangan besar dan eceran dan reparasi kendaraan sebanyak 5,11 persen.

Kontribusi sektor usaha lainya di bawah itu seperti pertanian, perikanan, kehutanan sebesar 2,30 persen, konstruksi 3,2 persen, keuangan 1,79 persen, sektor penyedia akomodasi dan makan minum 1,11 persen.

Wisatawan memotret diorama pekerja melakukan proses penjemuran tembakau dan kelobot di Museum Kretek, Kudus, Jawa Tengah, Senin (28/9/2020). Museum tersebut menyimpan koleksi mengenai sejarah terciptanya rokok kretek hingga proses produksi secara manual sampai menggunakan teknologi modern dan merupakan satu-satunya museum rokok yang ada di Indonesia.
Wisatawan memotret diorama pekerja melakukan proses penjemuran tembakau dan kelobot di Museum Kretek, Kudus, Jawa Tengah, Senin (28/9/2020). Museum tersebut menyimpan koleksi mengenai sejarah terciptanya rokok kretek hingga proses produksi secara manual sampai menggunakan teknologi modern dan merupakan satu-satunya museum rokok yang ada di Indonesia. Yusuf Nugroho / ANTARA FOTO

Pandemi Covid-19 menghantam seluruh sektor ekonomi global termasuk Indonesia. Di Kudus sendiri sektor industri pengolahan di Kudus mengalami penurunan berdasarkan laju pertumbuhan PDRB harga konstan. Dalam laporan BPS Kudus per 2020 penurunannya mencapai -3,03 persen. Sebelumnya pada 2015-2019, distribusi persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut lapangan usaha sektor industri pengolahan rata-rata di atas 80 persen.

Tak heran bila sektor industri pengolahan dalam “Kabupaten Kudus Dalam Angka 2020” disebut sebagai sektor yang stabil. Kestabilan akibat suksesnya proses industrialisasi di Kudus. Dari sana memicu meningkatnya perdagangan dan berakibat pada penurunan aktivitas pertanian.

Atas semua itu Liputan Khusus ini membahas Kudus. Kami tidak membahas sektor industri pengolahan besarnya, namun skala di bawahnya. Kami melihat keunggulan sektor industri pengolahan saat ini bisa dimanfaatkan sektor-sektor lain. Terutama infrastruktur pendukung di Kudus yang relatif memadai. Mulai kawasan industri, infrastruktur sarana dan prasarana, sampai jalur distribusi barang.

Hal yang mungkin bisa memanfaatkan itu adalah industri pengolahan makanan dan minuman dan industri furniture yang masih didominasi skala UMKM. Keberadaan UMKM dua sub sektor itu menandakan adanya potensi. Minimal tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang dibutuhkan. Selain itu perlunya kerjasama pasokan bahan mentah dan setengah jadi antara industri besar, sedang dengan UMKM. Perlu diingat, industri besar dan sedang tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan UMKM.

Lokadata bersama Anima Mundi, sebuah perkumpulan riset di Kudus ingin memotret aktivitas usaha yang mungkin berpotensi bahkan sedang berjalan dan muncul akibat pandemi ini. Sehingga kami membaginya dalam tiga klaster komoditas ekonomi: pangan, non-pangan, dan rintisan potensial. Total hasil peliputan ini sebanyak 10 tulisan dan akan dipublikasikan bertahap setiap hari.

Klaster komoditas pangan meliputi kopi, alpukat dan jambu citra, non-pangan meliputi batik, bordir, dan produk pahat kayu, sementara komoditas rintisan potensial meliputi produk olahan parijoto, pot beton minimalis, dan biola bambu. Dilihat dari skala usahanya, ketiga klaster bidang usaha ini secara umum tergolong usaha mikro dan kecil.

Bidang-bidang usaha tersebut secara sejarah dan antropologis secara umum mewakili perkembangan Kudus sebagai sebuah ruang kultural yang khas, yang terekam lewat mitos dan beragam cerita tutur setempat. Dengan kata lain sebagian dari produk-produk yang dihasilkan oleh bidang-bidang usaha tersebut merupakan materialisasi dari geliat kehidupan masyarakat Kudus secara lebih luas dari masa ke masa.

Ambil contoh produk seni pahat Kudus. Menurut tradisi lisan di Kudus, seni pahat Kudus berkembang sejak kedatangan imigran dari Tiongkok berabad-abad lalu. Namun terabadikan lewat sosok bernama The Ling Sing pada abad 15 M. Ciri khas seni ukir Kudus terletak pada motif tiga dimensinya, motifnya kecil-kecil dan detail, halus, dan kaya akan filosofi hidup.

Demikian pula dengan produk olahan parijoto. Parijoto adalah tanaman endemik pegunungan Muria yang sering dikaitkan dengan Sunan Muria, salah seorang wali penyebar agama Islam di Jawa. Tanaman ini dipercaya mampu menyuburkan rahim perempuan yang mengkonsumsinya sehingga memudahkan memiliki keturunan. Mulanya, tanaman ini hanya dijual di sekitar kompleks peziarahan Sunan Muria dalam bentuk tangkai buah. Seiring perkembangan waktu, ditunjang berbagai riset ilmiah, kini produk olahan dalam bentuk sirup, teh, kombuca, manisan, dan lain-lain.

Wisatawan mengunjungi Museum Jenang di jalan Sunan Muria, Glantengan, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (29/10/2020). Museum tersebut berisi diorama yang menggambarkan aktivitas masyarakat Kudus pada masa lampau, seperti proses produksi jenang, pembuatan batik dan produksi rokok serta terdapat miniatur tempat bersejarah seperti omah kapal, stasiun kereta api tahun 1936, gedung teater era 1929an serta Alun-alun Kudus pada tahun 1926. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/nz
Wisatawan mengunjungi Museum Jenang di jalan Sunan Muria, Glantengan, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (29/10/2020). Museum tersebut berisi diorama yang menggambarkan aktivitas masyarakat Kudus pada masa lampau, seperti proses produksi jenang, pembuatan batik dan produksi rokok serta terdapat miniatur tempat bersejarah seperti omah kapal, stasiun kereta api tahun 1936, gedung teater era 1929an serta Alun-alun Kudus pada tahun 1926. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/nz

Produk lainnya yang juga merekam geliat sejarah Kudus adalah batik. Bila dilihat dari motifnya, batik Kudus tergolong sebagai batik peranakan. Dalam sejarahnya, batik Kudus sudah berkembang sejak abad ke-19, dan seiring peralihan zaman telah mengalami perkembangan corak motifnya, yang secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, motif lawasan dan kontemporer.

Secara historis, perjalanan kopi Muria juga telah membentang lintas generasi, dimulai sejak era kolonial Belanda hingga era di mana kopi telah menjelma, bukan sekedar sebagai komoditas ekonomi dan minuman konsumsi, namun juga menjadi simbol gaya hidup.

Namun demikian, belum banyak pihak yang membicarakan kopi Muria. Kami ingin mengenalkan dan mengabarkan perkembangannya. Meski selama ini namanya tenggelam bila disandingkan dengan kopi Priangan, kopi Gayo, kopi Kintamani, atau kopi Toraja.

Bagi masyarakat penghasil kopi di kawasan Pegunungan Muria, kopi bukan hanya komoditas perdagangan. Namun tergambar pertalian erat antara praktik kolonialisme dan ketundukan, antara manusia dan alam, antara tradisi dan kemodernan.

Meski begitu tidak semua siasat ekonomi masyarakat Kudus bisa dijelaskan dengan semua argumen itu. Sebab dalam perkembangannya muncul dan berkembang jenis-jenis usaha lain yang hanya bisa dijelaskan dalam kerangka ekonomi.

Artinya, jenis-jenis usaha ini merupakan bentuk adaptasi dan kemampuan membaca peluang pasar dari para pelakunya. Contohnya budidaya tanaman buah alpukat, jambu citra, dan pembuatan pot beton minimalis yang geliat usahanya lebih banyak ditentukan oleh pesatnya permintaan pasar terutama berbarengan dengan mewabahnya pandemi Covid-19 sejak awal 2020.

Baca Lainnya