Desa

Mengenal IDM, sang penentu jumlah anggaran dana desa

Dalam IDM (Indeks Desa Membangun) ada pola dan kecenderungan, desa-desa yang nilainya bagus secara ekonomi, namun nilai lingkungannya buruk.

Islahuddin
Mengenal IDM, sang penentu jumlah anggaran dana desa
Ringkasan tiga pilar utama dalam penilaian IDM (Indeks Desa Membangun) yakni dimensi ekonomi, dimensi sosial, dan dimensi lingkungan. | Kemendesa/idm.kemendesa.go.id Kemendesa / idm.kemendesa.go.id

Penyusunan Indeks Desa Membangun (IDM) 2015 ditujukan sebagai alat bantu teknokrasi dalam mengukur perkembangan status desa di Indonesia. Juga sebagai rujukan pengentasan jumlah desa tertinggal dan meningkatkan kapasitas menuju kemandirian desa.

Dasar hukumnya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (bagian pembangunan desa). Aturan teknisnya dijelaskan dengan Permendesa Nomor 2 tahun 2016 Tentang Indeks Desa Membangun.

Selain itu status desa dalam IDM digunakan Kementerian Keuangan untuk menentukan jumlah alokasi dana desa setiap tahunnya, paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (Pasal 72 Ayat 4, UU No. 6 Tahun 2014).

Bambang Waluyanto, pegiat desa yang juga salah satu anggota tim penyusun IDM menjelaskan, secara garis besar IDM dibangun untuk tujuan pembangunan berkelanjutan dan mempertahankan keberagaman Indonesia. Baik itu keragaman sosial, keragaman sumber ekonomi, dan bersama-sama menjaga lingkungan.

“Secara konsep IDM sepenuhnya dibangun dari fondasi pengukuran kesejahteraan yang disusun oleh Amartya Sen, Joseph Stiglitz dan Jean-paul Fitoussi,” kata Bambang saat diundang khusus Lokadata untuk menjelaskan konsep dan teknis pengukurannya pada awal Mei 2018.

Lebih lanjut, Bambang menjelaskan, pembangunan itu sendiri berarti keberlanjutan, hal yang juga termuat dalam UU Desa. Definisi itu juga telah disepakati oleh dunia internasional sejak era 1980-an dan diadopsi dalam program MDGs (Millennium Development Goals) hingga SDGs (Sustainable Development Goals).

Dalam IDM terdapat tiga pilar utama pengukuran kesejahteraan dalam pembangunan desa yaitu, ketahanan sosial, ketahanan ekonomi, dan ketahanan ekologi. Tiga hal itu saling terkait satu sama lain dan dalam IDM menggunakan 52 indikator untuk total komponen pengukuran. Sedangkan bahan baku yang digunakan dalam membuat pengukuran itu bersumber dari Potensi Desa (Podes) 2014 milik Badan Pusat Statistik (BPS).

Dari tiga dimensi ukur itu, menurut Bambang, dalam IDM 2015 terdapat sejumlah pola, desa dengan indeks sosial dan ekonominya maju, namun indeks lingkungannya buruk. Ia mencontohkan, bagaimana suatu desa yang ekonominya banyak ditopang oleh galian pasir dengan mengeruk bukit, secara ekonomi ada pergerakan dan ada dampak bagi masyarakat. Namun nilai lingkungannya buruk.

“Dalam IDM, pembagi untuk pilar lingkungan itu paling tinggi dibandingkan sosial dan ekonomi. Artinya, IDM ini juga memikirkan dampak lingkungan yang tidak bisa dianggap sepele, walaupun kondisi ekonomi dan sosial desanya baik,” ujar Bambang lebih lanjut.

Dari sisi variabel ukur yang digunakan, meski IDM mengadopsi sistem SDGs, unsur keberagaman yang menjadi khas Indonesia tetap dimunculkan dalam setiap pilar utama ukurnya. Baik itu keragaman sosial, keragaman sumber ekonomi, dan bersama dalam menjaga ekologi

Menurut Bambang, setiap variabel ukur yang digunakan dalam IDM memiliki maksud, tujuan, hingga filosofinya. Seperti variabel ukur dalam ketahanan sosial, contohnya menilai jumlah bahasa yang digunakan penduduknya, jumlah agama keyakinan, “Hal itu untuk melihat heterogenitas sebuah desa dan digunakan dalam memetakan dan menyelesaikan konflik sosial di masyarakat.”

Sedangkan contoh pengukuran ketahanan ekologi, memuat pengukuran jumlah kejadian bencana, jenis bencana. Konteks bencana yang diukur dalam IDM adalah bencana karena akibat sebuah kebijakan atau akibat ulah manusia, bukan bencana dari “langit”.

Dari 52 indikator yang digunakan IDM, hampir 60 persennya mengukur fasilitas dasar yang bersifat fisik. Misal keberadaan pasar, bank, jasa pengiriman, jalan raya, Puskesmas, keberadaan PAUD hingga sekolah, kepemilikan jamban, keberadaan tower pemancar komunikasi, dan jenis fasilitas dasar lainnya.

Sayangnya IDM belum bisa memotret dan mengukur dampak keberadaan semua fasilitas dasar yang ada di masing-masing desa. Baik itu dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan, seperti tiga dimensi utama yang digunakan.

“Butuh proses panjang untuk mencapai itu, BPK saja auditnya masih pada tata kelola peruntukan anggaran, belum pada dampak program,” kata Bambang lebih lanjut.

Bambang mengakui, indikator IDM 2015 tidak sempurna, namun bisa memetakan desa yang memiliki dan yang belum memiliki fasilitas dasar. Dari sana diasumsikan melalui dana desa pemerintah desa bisa menjadikan apa yang akan dijadikan prioritas utama pembangunan dari dana desa yang dialokasikan pemerintah dan diharapkan ke depan akan ada perkembangan indikator pengukurannya pada tahun berikutnya.

Dari sisi teknokrat, menurut Bambang, intervensi membutuhkan pengukuran yang jelas dan membutuhkan tools yang jelas. Sedangkan pengukuran dampak akan sulit dan banyak perdebatan, selain itu dampak dan outcome sudah masuk ranah kajian dan tafsir.

Kini hasil penilaian IDM sudah dipublikasikan secara terbuka dan bisa diakses publik. Untuk melihat nilai masing-masing desa di Indonesia dengan alamat URL https://idm.kemendesa.go.id/idm_data.

Baca juga artikel terkait:

Desa dalam agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Teknis perhitungan Indeks Desa Membangun

Desa dan Indeks Desa

Baca Lainnya