Talukung: lumbung padi masyarakat Seko
Masyarakat Seko masih melestarikan lumbung padi Talukung sebagai benteng ketahanan pangan di Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Menjelang sore, Hopni, 60 tahun, duduk di samping talukung, beristirahat; menyandarkan badan pada tiang bangunan talukung. Ia baru saja beres memperbaiki talukungnya. Mengganti sebuah papan tempat duduk yang sudah rapuh agar aman saat menyimpan gabah hasil panen.
Letak talukungnya berada di samping rumah, sekitar tujuh langkah dari badan rumah. Sementara, di bagian depan rumah, talukung milik sepupunya berdiri kokoh di samping kolam ikan. Di bagian sudutnya, tiga orang perempuan duduk mengobrol diiringi suara lesung istri Hopni yang sedang menumbuk kopi.
Hopni adalah ayah tiga orang anak. Sehari-harinya bekerja sebagai petani di Tanete, Desa Hono, Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Ia mengelola sawah, kebun kakao dan kopi. Karena panen telah selesai, ia lebih banyak di rumah, beristirahat sebelum kembali menghadapi masa tanam padi.
Sebagian gabahnya telah disimpan di dalam talukung yang dibangun di dekat sawahnya. Karena tak muat menampung seluruh hasil panen, ia memperbaiki talukung yang ada di samping kiri rumahnya.
Dua talukung miliknya berbeda bentuk, yang di dekat sawah berbentuk lingkaran yang merupakan warisan mendiang orang tuanya dan yang di samping rumah berbentuk persegi, model baru karya tangannya sendiri.
Talukung adalah lumbung padi masyarakat Seko, tempat mereka menyimpan gabah hasil panen untuk kebutuhan konsumsi sampai masa panen selanjutnya termasuk ketersediaan untuk antisipasi ketika terjadi gagal panen.
Talukung Lumbung Padi Masyarakat Seko
Hampir setiap rumah tangga di Seko memiliki talukung, baik yang di bangun terpisah dari bangunan rumah maupun yang disimpan di bawah kolong rumah panggung. Tapi, kebanyakan talukung dibangun terpisah dari rumah, didudukkan di atas bangunan kayu serupa rumah kebun tanpa dinding dengan atap yang terbuat dari potongan bambu atau seng yang membuat gabah terlindung dari air hujan dan paparan matahari langsung.
Talukung berbahan dasar pohon banga (pigafetta elata) atau masyarakat Seko menyebut pohon banga sebagai salihua. Pohon jenis ini masih mudah dijumpai, tumbuh menjulang di kebun masyarakat atau di hutan yang jaraknya masih dekat dari perkampungan. Pohon ini sengaja dipelihara, selain menjadi bahan utama untuk membangun talukung, tunas muda pohon banga menjadi bahan sayur yang menjadi sayur wajib setiap acara syukuran panen.
Pohon banga berusia minimal 7 tahun yang bisa digunakan, yang dapat menghasilkan 7 sampai 9 potong yang cukup untuk membuat satu talukung.
Untuk membuatnya, pertama-tama, pohon banga ditebang dengan kapak atau mesin pemotong kayu. Setelah itu, pohon dipotong disesuaikan dengan ukuran talukung yang akan dibuat.
Kulit dan bagian isinya dipisahkan. Ada dua acara untuk memisahkannya, pertama dengan menggunakan tembilang untuk menggaruk bagian dalam hingga terpisah antara isi dan kulitnya. Kedua, mengiris bagian kulit hingga terpisah dengan isinya dengan parang yang tajam. Kulit harus benar-benar bersih, agar tak mudah lapuk.
Kulit luar banga dipukul-pukul dengan punggung kapak agar mudah mengeluarkan isinya. Ketika dipukul-pukul, kulit banga bisa menjadi lebih lunak dan berongga hingga mudah dibentuk. Rongga ini menjadi sirkulasi udara sehingga gabah bisa bertahan lama di dalam talukung.
Kulit yang sudah terpisah diregangkan, dijepit dengan bambu agar bentuknya bisa rata serupa papan. Proses selanjutnya menjemur kulit banga selama seminggu agar kering. Setelah itu, kulit ini bisa digunakan untuk membuat talukung.
Di Desa Hono, Seko kebanyakan masyarakat masih membuat sendiri talukung. Prosesnya terbilang mudah. Tapi, terdapat pula pengrajin yang menawarkan jasa membuat talukung.
Butuh waktu sehari untuk membuat talukung. Prosesnya tak terlalu rumit, hanya menjahit potongan-potongan banga dengan rotan hingga berbentuk lingkaran. Setelah itu, dibagian bawah dan atasnya diberi anyaman bambu agar bentuknya kokoh. Di bagian samping, dibuat pijakan yang terbuat dari kayu seukuran lengan yang berfungsi menjadi pijakan saat akan memasukkan atau mengambil gabah.
Talukung terbagi dari empat bagian, dinding berupa kulit pohon banga setebal 1 sampai 2 cm, yang dijahit dengan rotan sehingga tersambung rapi sampai berbentuk lingkaran. Di bagian bawah dan atas, terdapat bambu yang berbentuk pipih yang diikat melingkar mengikuti bibir talukung yang disebut dengan pipihei.
Di bagian tengah, diikat dengan rotan agar bentuknya kokoh dan tidak melebar yang disebut hangko. Agar terlindung dari tikur dan kotoran, talukung memiliki penutup dari anyaman bambu yang sebut dengan samma.
Hampir semua rumah tangga memiliki talukung sebagai lumbung padi, yang membedakan hanya penempatan, ukuran dan bentuk. Kebanyakan talukung masih berbentuk lingkaran mirip seperti tandon penyimpan air. Bentuk ini adalah bentuk asli.
Talukung yang berbentuk lingkaran biasanya berusia puluhan tahun, bahkan masih warisan keluarga. Sementara talukung berbentuk persegi adalah model baru yang sengaja dimodifikasi agar bisa menampung gabah jauh lebih banyak. Pintu samping ditambahkan agar memudahkan saat mengambil gabah dari dalam talukung.
Ukuran talukung disesuikan dengan luas lahan dan jumlah panen. Talukung dengan ukuran besar bisa menampung hingga seratus karung gabah dan yang terkecil bisa menampung 60 karung gabah.
Dari segi penempatan, talukung dibangun di samping, depan atau dibelakang rumah. Penempatannya terpisah dari bangunan rumah bertujuan untuk mengantisipasi jika terjadi kebakaran rumah, gabah tidak ikut terbakar.
Terdapat pula masyarakat yang membangun talukung di dekat sawah, tujuannya agar memudahkan mereka menyimpan ketika penen telah selesai. Jika mereka butuh gabah, mereka akan datang mengambil dan membawa pulang untuk persediaan sebulan lebih. Jarak antara rumah dan talukung yang berada di dekat sawah tak menjadi masalah, karena hampir setiap hari mereka datang ke sawah.
Talukung Wujud Kedaulatan Pangan Masyarakat Seko
Obaja Ambong, 58 tahun, memiliki enam orang anak, dengan bertani ia menghidupi keluarganya, begitu pun mendiang orang tuanya. Seperti masyarakat Seko pada umumnya, ia memiliki sawah dan talukung.
Obaja membangun talukung di dekat sawahnya, berdampingan dengan rumah kebun yang dibangun sebagai tempat beristirahat. Terdapat dua bilik talukung yang telah diisi penuh, satu diantaranya tak pernah ia kosongkan.
Ia berprinsip tak boleh lumbung kosong, sebagai bentuk antisipasi ketika gagal panen.
“Tidak boleh kosong, karena ini pengalaman. Begitu kosong, terus gagal panen, kelaparan.” Ungkap Obaja.
Hampir setiap hari ia berada di kebun dengan beragam aktivitas seperti mengurus sawah, menyadap aren, memberi makan ayam dan membersihkan kebun kakao.
Jika persediaan beras di rumah habis, ia tinggal mengambil dari dalam talukung, mengeluarkan 1 sampai dua karung untuk kebutuhan selama sebulan. Jika ada hajatan, jumlah gabah yang dikeluarkan jauh lebih banyak. Sebelum dibawa ke pabrik untuk diolah menjadi beras, gabah dijemur seharian.
Seumur-umur Obaja tak pernah membeli beras. Sawah yang dikelola keluarganya cukup memenuhi kebutuhan pangan. Setiap selesai panen, ia selalu menyimpan gabah untuk persedian konsumsi sampai panen selanjutnya, termasuk persiapan jika terjadi gagal panen.
Kebiasaan itu dirawatnya dan diwariskan pada anak-anaknya. Bahwa tak boleh hasil panen dijual semua hingga mereka terpaksa harus membeli beras.
Talukung adalah bentuk ketahanan pangan, tempat mereka menyimpan padi dan menjaga kecukupan pangan sampai masa panen selanjutnya.
Semua gabah yang telah dipanen dimasukkan ke dalam karung dan dimasukkan ke dalam talukung. Setelah semua berada di dalam talukung, sebagian akan dikeluarkan untuk dijual, sisanya disimpan untuk kebutuhan pangan sampai panen selanjutnya.
Di Seko, panen padi hanya sekali dalam setahun, dengan jenis padi khas yang disebut dengan tarone. Jenis padi ini hanya ada di Seko, dibudidayakan dari zaman nenek moyang mereka dan bertahan hingga saat ini.
Jika dihitung dari proses penyiapan bibit sampai panen, butuh waktu sekitar 8 bulan dengan rincian 2 bulan untuk persiapan benih, persemaian dan pengolahan lahan dan 6 bulan untuk penanaman sampai panen tiba.
Di penghujung masa panen, acara syukuran menjadi hajatan wajib baik untuk setiap keluarga maupun kampung. Syukuran keluarga dilaksanakan setiap keluarga yang mengundang para tetangga, sedangkan acara syukuran kampung dilakukan di rumah ibadah sesuai dengan kepecayaan masing-masing, di masjid untuk muslim dan di gereja untuk Nasrani.
Menurut Tubarak Hono (Pemimpin adat Hono), keberadaan talukung ini sudah lama dan dipertahankan sampai sekarang ini. Tujuannya sebagai tempat menyimpan padi hasil panen yang bisa bertahan dua sampai tiga tahun.
“Di Seko ini padi dipanen sekali dalam setahun, tapi tidak ada kelaparan, karena ada lumbung, tempat mengamankan pangan. Itulah berkahnya.” Jelas Tubarak.
Keberadaan talukung masih tetap terjaga. Talukung yang telah renta diperbaiki kembali. Namun yang berbeda sekarang, masyarakat sudah tak terlalu lama menyimpan gabah, kebanyakan dijual dan disimpan untuk kebutuhan sampai panen selanjutnya.