Rambut Palsu Purbalingga Yang Mendunia
Terpukul akibat pandemi. Namun, sentra pengrajin bulu mata dan wig Purbalingga tetap bertahan dan menghidupi masyarakat pengrajinnya.
Sepanjang kepala masih ditumbuhi rambut, orang akan senantiasa memangkas atau merapikannya. Wajar usaha cukur rambut tak pernah ada matinya. Limbah rambut pun melimpah di tempat usaha salon setiap harinya. Namun jangan salah, potongan rambut manusia itu tidak terbuang percuma. Rambut yang sudah lepas dari kepala pemiliknya itu sejatinya amat berharga.
Setidaknya bagi masyarakat Desa Karangbanjar, Kecamatan Bojongsari, Purbalingga dan sekitarnya. Mereka bisa menyulap limbah itu menjadi produk bernilai jual tinggi, misal wig dan bulu mata palsu.
Bagi sebagian orang, profesi seperti yang dilakukan oleh Jatmo Sasongko mungkin kurang populer. Ia pernah bertahun-tahun merantau ke Jakarta. Bukan menjadi buruh pabrik atau bangunan seperti umumnya perantauan dari desa. Jatmo tiap hari hanya blusukan ke salon-salon yang ada di Jakarta.
Ia memunguti potongan rambut yang sudah ditinggal pemiliknya. Meski hanya limbah, ia tak mendapatkannya gratis rupanya. Ia harus menukarnya dengan lembaran rupiah ke pemilik salon.
“Saya di Jakarta kerjanya hanya ngumpulin rambut di salon-salon, "katanya
Para pemilik salon pun sudah paham, oleh pengrajinnya, limbah rambut bisa diolah menjadi barang berharga. Meski jasa salon betebaran dimana-mana, Jatmo ternyata tidak mudah mendapatkan limbahnya. Ia harus bersaing dengan para pengepul rambut lain yang memiliki profesi sama.
Setelah terkumpul banyak, Jatmo baru membawa rambut yang didapatkannya ke kampung halaman. Di Desa Karangbanjar, ia menawarkan barangnya ke pengrajin atau pengusaha untuk diolah jadi bahan wig dan rambut sambung (hair extension).
Beberapa tahun belakangan, Jatmo memutuskan fokus mengais rizki di kampung halaman. Namun ia tak melepas profesinya. Hanya ia tak lagi berburu rambut di tempat salon.
Ia memilih bekerjasama dengan warga atau pengepul rambut di kampung. Jatmo tinggal mengambil dan membayarnya saat rambut sudah terkumpul. Ia juga mengambil dari tukang rongsok yang kerap menemukan bekas rambut orang tua di rumah-rumah.
Di banding potongan rambut dari salon, rambut bekas sisiran itu justru lebih mahal karena panjangnya maksimal.
“Biasanya kalau orang tua kan suka nyisir rambut, rambut yang ketarik atau rontok itu biasanya masih panjang, "katanya
Di sudut pelataran rumah, Eni, warga Desa Karangbanjar telaten memilah rambut yang disuplai dari pengepul. Ia adalah buruh yang bekerja dengan sistem borongan. Tugasnya sederhana, namun butuh ketelatenan. Ia hanya diminta memisahkan rambut yang hitam dengan yang putih atau beruban. Dilihat dari fisiknya, jelas rambut yang ada di tangannya itu milik perempuan tua, umur kisaran 40 tahun ke atas, karena ubannya sudah cukup merata.
Eni dibantu putrinya untuk mempercepat pekerjaan. Uban yang sudah terpisah tidak lantas dibuang. Rambut putih itu nantinya akan diwarnai oleh pengrajin lain sehingga masih punya nilai jual. Tentunya dengan harga yang berbeda dengan rambut hitam asli.
Setiap beberapa hari sekali, pengepul akan pengambil hasil pekerjaannya, sembari menyuplai rambut beruban yang baru untuk disortir.
"Pengepul kesini ngambil, lalu ngasih lagi beberapa kilogram rambut, nanti saya kerjanya memisah yang uban dan yang masih hitam, " katanya
Pasar Ekspor
Seni menata rambut sejatinya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Wig dan rambut sambungan (hair extension) selalu diburu, khususnya oleh pemuja penampilan. Hanya dalam perkembangannya, seiring meningkatnya kebutuhan maupun ketatnya persaingan pasar, produk itu kian beragam. Bukan hanya modelnya, namun juga jenis bahan bakunya.
Produk rambut yang diproduksi di Purbalingga, baik wig, sanggul maupun bulu mata palsu bukan hanya berbahan dari rambut asli, namun juga sintetis. Di Desa Karangbanjar, bermacam produk itu ada semua. Produk rambut sintetis lebih banyak terserap pasar lokal. Sementara bahan rambut asli banyak diekspor ke negeri luar.
Tatag Saputra adalah salah satu pengusaha rambut asal Desa Karangbanjar. Ia fokus memproduksi barang setengah jadi dari rambut asli untuk dikirim ke perusahaan.
Tatag dibantu sembilan karyawannya memproses bahan rambut dari pengepul seperti Jatmo menjadi produk setengah jadi. Harga rambut asli untuk satu kilogramnya cukup fantastis, bisa mencapai Rp 5 juta. Dari potongan rambut asli itu, pekerja akan memilah berdasarkan ukuran panjangnya, misal 9-10 cm. Ukuran itu yang paling banyak terpakai sesuai permintaan pasar untuk wig dan hair extension.
Di tempat lain, baik di PT maupun industri kecil, rambut ukuran lebih pendek dari itu akan dipakai untuk membuat bulu mata palsu. Tatag, tak membedakan jenis rambut lurus, ikal atau keriting sekalipun ia terima. Semua model rambut bisa terpakai asal ukurannya masuk kriteria. Selain dipilah ukurannya, pekerja akan meluruskan rambut itu dengan alat. “Semua tipe rambut masuk, asal ukurannya panjang, minimal kira-kira sejengkal,”katanya
Produk setengah jadi berupa rambut yang telah diluruskan dan diikat berdasarkan ukuran itu dijual ke perusahaan langganannya. Oleh perusahaan, bahan itu akan diolah kembali menjadi aneka produk jadi berbahan rambut asli. Di luar Tatag, sebagian pengrajin atau pengusaha lain bahkan mampu menjual langsung bahan rambut ke pengusaha dari luar negeri, antara lain Tiongkok dan Turki.
Tidak sulit pelaku UMKM di Karangbanjar mendapatkan pasar di tengah penetrasi media digital. Mereka bisa berkomunikasi dan bertransaksi langsung dengan pembeli, baik domestik maupun luar negeri. “Biasanya ke China dan Turki, "katanya
BUMDes Beri Akses Modal
Memasuki Desa Karangbanjar, pemandangan yang terlihat adalah deteran rumah-rumah permanen mirip komplek perumahan kota. Jalan desa untuk lalu lintas kendaraan pun mulus. Sejumlah mobil mewah terparkir di pinggir jalan maupun garasi rumah. Menariknya, suasana pedesaan masih kental dengan pemandangan sawah yang menghampar.
Keberadaan industri kecil atau UMKM rambut yang menjamur di desa itu menjadi sumber kemakmuran warga. Tatag yang juga Kepala Desa Karangbanjar ini, mengatakan, ada ratusan UMKM rambut di desanya, dari yang skala kecil hingga besar. Rata-rata, setiap industri rumahan itu memiliki 4-6 karyawan, bahkan ada yang belasan orang. Banyaknya industri rumahan itu telah berhasil membuka lapangan kerja bagi warga sekitar.
Pengangguran di desa itu dapat ditekan. Perekonomian di desa menjadi lebih hidup. Di antara bukti kesejahteraan warga, menurut Tatag, dapat dilihat dari bentuk fisik rumah serta kendaraan yang ada di dalamnya.
Pemerintah Desa Karangbanjar turut berperan untuk memajukan usaha rambut warganya. Pemdes melalui Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes Bina Desa Mandiri membantu pengrajin atau pengusaha rambut yang kesulitan mengakses modal. Anggaran itu bersumber dari dana desa yang dikelola BUMDes ini. Namun karena anggaran terbatas, pihaknya memprioritaskan program itu ke pelaku usaha kecil dengan nilai pinjaman di bawah Rp 10 juta.
Bunga yang dibebankan ke peminjam pun relatif ringan, yakni 7 persen pertahun. Ini sekaligus solusi bagi warga agar terhindar dari jerat rentenir dengan bunga mencekik.
“Biar pedagang kecil terbantu karena bunganya ringan,”kata
Ujian Pandemi
Di dunia industri rambut, Maryoto (82) warga Rt 1 Rw 1 Desa Karangbanjar, Purbalingga termasuk senior. Dia mulai merintis usaha rambut sejak sekitar 48 tahun silam. Hampir setengah abad menekuni usaha itu, Maryoto kini sudah banyak menuai hasilnya. Putra-putranya sudah hidup mapan.
Awal-awal menggeluti profesi itu dulu, hari-harinya penuh perjuangan. Saat itu ia termasuk generasi awal yang merintis usaha tersebut. Belum ada pengepul rambut yang banyak seperti sekarang. Ia harus mencari sendiri rambut bekas rontokan usai disisir dari rumah-rumah warga.
Kebiasaan perempuan desa, mereka biasa menyisir (serit) rambut panjangnya hingga banyak yang rontok. Rambut yang rontok itu justru banyak dicari pengepul karena masih utuh panjangnya, bukan potongan seperti dari salon. Selain itu, ia juga berburu rambut ke tempat-tempat pangkas rambut di daerahnya. Di rumah, istrinya memproses bahan rambut itu menjadi sanggul.
"Dulu saya mencari sendiri rambut. Di rumah dibuat sanggul, " katanya
Sebelum mengenal bahan sintetis, sanggul berbahan rambut asli memang sempat menjadi primadona. Maryoto tak susah mencari bahan rambut asli karena saat itu belum ada pesaing pengepul rambut seperti saat ini. Usahanya pun terus berkembang. Hingga warga lain mulai melirik usaha itu. Jumlah industri rumah di desanya terus bertambah seiring prospeknya yang menjanjikan. Dalam perjalanannya, bahan rambut asli mulai diminati masyarakat luar negeri. Hasilnya juga lebih menjanjikan.
Ini membuat para pengrajin di Karangbanjar beralih dari memproduksi sanggul menjadi pemasok bahan rambut asli ke luar negeri. Produksi sanggul dari rambut asli mulai ditinggalkan. Jikapun ada, pengrajin beralih memproduksi sanggul dari bahan sintetis yang lebih murah. Rambut sintetis juga mulai ramai digunakan untuk membuat rambut palsu (wig).
"Dulu sanggul masih pakai rambut asli. Kalau sekarang sintetis, " katanya
Namun dua tahun belakangan ini, Maryoto merasakan usahanya sepi karena pandemi Covid 19. Ia terpaksa merumahkan beberapa karyawannya karena permintaan rambut dari luar negeri sepi. Saat ini, Maryoto kembali fokus memproduksi sanggul. Bukan sanggul berbahan rambut asli seperti produksinya puluhan tahun silam, melainkan sanggul berbahan sintetis yang lebih murah dan mudah didapat. Terlebih pasarnya adalah warga lokal, misal untuk rias pengantin dengan harga terjangkau.
Meski demikian, ia tetap melayani permintaan untuk wig dan sanggul berbahan rambut asli, dengan harga lebih mahal tentunya. Masalahnya, karena faktor usia, Maryoto tak mampu memanfaatkan teknologi untuk memasarkan produknya di masa pandemi.
Menurutnya, saat ini justru anak muda yang melek teknologi mampu memasarkan rambut ke luar negeri. Sehingga mereka bisa bertahan dan mengembangkan usahanya di tengah pandemi. "Sekarang menjadi ladang rizkinya anak-anak muda, bisa jual online, " katanya
Kepala Bidang UMKM Dinas Koperasi dan UKM (DinkopUKM) Purbalingga, Adi Purwanto mengatakan, keberadaan industri rambut di Purbalingga, khususnya di Desa Karangbanjar sangat membantu perekonomian masyarakat karena banyak menyerap tenaga kerja.
Terutama bagi mereka yang tak memiliki kualifikasi untuk bekerja di perusahaan. Bekerja di industri rumahan itu juga menjadi pilihan bagi sebagian warga. Sebab, jam kerja di UMKM lebih fleksibel, serta bebas dari aturan perusahaan atau PT yang mengikat.
Hanya beberapa tahun belakangan ini, industri rambut di Purbalingga cukup terpukul karena pandemi. Sebagian pelaku UMKM rambut terdampak dan hanya bisa mempertahankan usahanya. "Sangat membantu, terutama di sektor informal dengan jam kerja fleksibel, " katanya
Sementara itu, Kepala Bidang Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Purbalingga Budi Baskoro mengatakan, data terakhir di tahun 2017, pihaknya mencatat ada 201 unit industri kecil rambut di Desa Karangbanjar. Desa Karangbanjar menjadi desa yang memiliki industri rambut skala rumahan terbesar di Purbalingga.
Industri rumahan itu memproduksi bermacam produk, mulai bulu mata palsu, wig, sanggul hingga bahan baku rambut setengah jadi. Industri itu terus bertumbuh seiring meningkatnya permintaan dalam maupun luar negeri. Hanya beberapa tahun belakangan, Pandemi Covid 19 di tahun 2020-2021 berdampak besar terhadap jalannya industri rambut di Desa Karangbanjar. "Bahkan beberapa sampai tutup, " katanya
Ia mengatakan, kebanyakan industri rumahan di Karangbanjar memproduksi bahan rambut asli sebagai bahan baku pembuatan wig, rambut sambung dan bulu mata palsu. Bahan rambut asli yang sudah diluruskan oleh pengrajin itu biasa dijual ke mancanegara. Para pengusaha, khususnya pemuda yang melek teknologi bahkan biasa berjualan online ke luar negeri. Sebagian pengusaha ada yang memproduksi barang jadi, baik bulu mata palsu, wig dan sanggul dengan segmentasi pasar lokal.
Pemerintah Kabupaten Purbalingga melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga ikut andil dalam membantu mempromosikan produk bulu mata palsu dan wig dari industri kecil di Purbalingga. Caranya, dengan membawa produk itu pada even promosi atau pameran. Pihaknya juga menghubungkan industri kecil yang potensial ekspor dengan buyer luar negeri.
"Beberapa industri kecil yang potensial ekspor kita ikutkan bisnis matching dengan buyer luar negeri, " katanya
Di luar industri kecil yang menjamur di Desa Karangbanjar, Kabupaten Purbalingga juga menjadi pusat industri besar wig dan bulu mata. Pihaknya mencatat, terdapat 24 perusahaan menengah dan besar di Purbalingga yang memproduksi rambut dan bulu mata palsu. 17 di antaranya adalah Penanaman Modal Asing (PMA) dan 7 lainnya adalah perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Industri bulu mata palsu dan wig di Kabupaten Purbalingga adalah yang terbesar kedua di dunia setelah Guangzhou China. Produk bulu mata palsu dan wig dari Purbalingga telah diekspor ke berbagai belahan dunia, misal Eropa, Amerika hingga Afrika.
Pandemi Covid 19 pada tahun 2020-2021 cukup memengaruhi pasar ekspor rambut dan bulu mata palsu. "Nilai ekspor turun sekitar 31 persen, " katanya. Namun begitu, bisnis gaya hidup ini, tetap menghidupi masyarakat para penghasil rambut palsu ini.