Penyintas kusta melewati batas lewat ecoprint
Kampung ini dihuni oleh warga yang kebanyakan penyintas kusta. Berbekal ikatan solidaritas yang kuat, mereka berkarya melalui pembuatan kain ecoprint. Inilah kisah Kampung Ecoprint di Singkawang, Kalimantan Barat.

Sedari pagi Sukimah gelisah. Ia memegang beberapa lembar catatan. Sesekali mulutnya komat-kamit membaca tulisan. Sukimah dengan jari-jari yang kaku sedang bersiap menjadi instruktur membuat kain ecoprint. Di ruang itu, tampak juga ibu-ibu lainnya yang menyiapkan berbagai peralatan. Seperti jenis daun, dandang kukusan, kain, plastik, baskom, dan juga kompor.
Gerak mereka tidak ada yang cepat. Bahkan, melangkah pun tertatih-tatih. Bukan lantaran lelet, tapi karena memang kondisi tubuh mereka yang memaksa bergerak seperti itu. Kondisi serupa juga terjadi pada kalangan pria. Namun mereka selalu tampak sigap membantu. Semangat mereka sudah seperti panasnya matahari pagi.
Saat itu, ada beberapa orang yang tak terlihat lantaran terkena batuk flu yang mengganas. Entah Covid 19 entah bukan. Namun mereka mengisolasi diri di rumahnya masing-masing. Satu diantara warga yang sakit itu adalah Jatim, Ketua RT. Ditambah dengan asma yang lagi kumat, Jatim hanya bisa berdiam diri di rumah.
“Demam flu, kepala berat, badan remuk, dan susah bangun,” kata Asmuri. Sejak mengisolasi diri di rumah selama 3 hari, Asmuri baru berani keluar. Meski wajahnya masih terlihat kuyu. Ia memaksakan diri untuk membantu persiapan workshop kain ecoprint. Saat itu, mereka kedatangan tamu dari Pontianak. Ada sekitar 10 orang yang kebanyakan perempuan. Mereka berasal dari komunitas Crafttulistiwa Pontianak yang berkarya lewat seni kriya.
Sukimah pun langsung mengenalkan diri dan menyampaikan proses pembuatan ecoprint. Tamu yang hadir terlihat fokus dan menyimak dengan seksama. Meski cuaca lagi panas, ibu-ibu terlihat semangat. Memilih daun lalu menatanya di kain putih. Sesekali Sukimah dan memberikan penjelasan tentang teknik dan proses ecoprint. Teknik mencipta motif dengan daun-daun inilah yang membuat Gang Liposos, Desa Pakunam kini dikenal menjadi Kampung Ecoprint Singkawang, Kalimantan Barat.

Ecoprint Wajah Baru Liposos
Pengenalan ecoprint dimulai pada tahun 2019 ketika seorang seniman muda dari Bandung bernama Yohanes Arya Duta dalam program “Seniman Mengajar” yang berkolaborasi dengan warga Liposos menciptakan karya seni yang mengandalkan potensi kawasan. Sebelumnya, warga Liposos hidup dari bercocok tanam seperti lobak, pisang, kacang tanah, kakao, dan sayur-sayuran.
Di sinilah warga penyintas kusta selama 20 tahun lebih menyambung hidup mereka. Hidup mereka terkucilkan. Jauh dari keramaian. Kampung ini tersembunyi di balik pohon-pohon rindang. Tapi para penyintas kusta ini tak pernah patah semangat. Meski anggota tubuh mereka tak lengkap, tanah-tanah dapat tergarap dengan baik. Hasil pertanian menjadi andalan mereka. Liposos adalah rumah terbaik sekaligus tanah air mata mereka.
Kegigihan mereka membuat Arya jatuh hati sekaligus tertantang untuk bersama-sama menciptakan kegiatan selain bercocok tanam dengan harapan ada nilai lebih bagi warga Liposos.
“Awalnya saya mencoba merespon lingkungan Liposos berupa material alam yang gampang diperoleh, seperti daun untuk membuat ecoprint. Dari dua kali workshop bersama warga, ternyata mereka sangat antusias untuk mempelajari ecoprint,” ungkap Arya.
Workshop di bidang kerajinan ini memang hal baru bagi warga Liposos yang hidupnya dari pertanian. Kedatangan Arya memberikan angin segar. Membawa hal baru yang sama sekali tak pernah mereka lakukan.
“Waktu pertama kali bikin, masih acak-acakan. Kainnya terlihat kusam. Saking penasaran semua kain warna putih habis kami bikin ecoprint. Kami coba semua daun-daun yang ada di sekitar rumah,” kenang Jatim sambil tertawa. Saat penulis menemui Jatim di rumah, ia masih harus beristirahat karena asmanya belum sembuh benar. Pak Jatim telah kehilangan seluruh jari-jari tangannya.
Semangat yang tertempa selama puluhan tahun menjadikan mereka kuat menghadapi berbagai persoalan. Kekompakan dan kerjasama membuat keterbatasan tak menjadi penghalang.
Setelah program Seniman Mengajar dari Kemendikbud usai, Arya melanjutkan program yang lebih berdaya dengan mengajak Gaby, Emily, dan Wisnu. Mereka tergabung dalam Sepatokimin Initiative yang membuka peluang kolaborasi dengan berbagai komunitas di pelosok Indonesia. Selain di Singkawang, Sepatokimin Initiative juga berkolaborasi dengan komunitas di Wakatobi dan Pankase Kupang.
Di Liposos, mereka membentuk kelompok dengan nama Ruang Terampil. Kali ini komandonya di tangan Felicia Emily Widjaja, seorang dosen kampus swasta di Bandung. Menurut Emily, Ruang Terampil merupakan wadah bagi warga penyintas kusta untuk mendapat pelatihan keterampian ecoprint serta pendampingan pemasaran produk agar bisa semakin mandiri dan percaya diri.
Tugas lain dari dosen muda ini adalah merancang desain produk ecoprint. Emily jugalah yang membuat naskah untuk Sukimah saat menjadi fasilitator pelatihan ecoprint bersama Craftulistiwa Pontianak.
“Ecoprint dipilih sebagai respon keragaman tanaman Kota Singkawang yang dapat digunakan untuk mencetak motif dan pewarna alami, sesuai dengan kondisi keterbatasan fisik warga Ruang Terampil di Liposos,” kata Emily.
Tahun 2021 mereka mendapatkan kepercayaan dari Astra International untuk mengembangkan eco print di Liposos. Program ini bergerak serentak di ratusan kampung di Indonesia dengan nama Kampung Berseri Astra (KBA). Selain di Liposos, KBA juga membantu program pengembangan kampung batik yang diinisiasi oleh Priska Yeniriatno. Program-program CSR seperti ini sangat membantu kelompok-kelompok warga yang sedang mengembangan potensi kawasan.
Program seperti ini memberikan akselarasi lebih cepat agar kelompok dapat terus melakukan perubahan. Tapi tetap saja inti dari perubahan itu berawal dari keinginan kuat warga.
Untunglah zaman sudah canggih. Meski berjarak ribuan kilometer di seberang lautan, upaya pendampingan Sepatokimin Initiative tidak begitu berarti. Emily selalu memantau perkembangan mereka lewat smartphone. Video call bahkan zoom meeting sering mereka lakukan untuk bertukar pikiran. Dalam setahun 2-3 kali tim ini datang ke Liposos untuk melihat langsung.
Sementara Chantal Noviyanti, yang mengenalkan orang-orang penyintas kusta kepada Sepatokimin Iniative, bertugas mendampingi warga Liposos saat tim tidak berada di Singkawang. Begitu pula ketika Ruang Terampil mendapat orderan maka tanggung jawab proses produksi kain didampingi oleh Chantal Noviyanti.
Teknik ecoprint adalah cara mencetak kain bermotif menggunakan daun atau benda alam di atas kain. Tahap awal kain harus dicuci dulu untuk menghilangkan zat kimia. Selanjutnya daun direndam dengan air tunjung selama kurang lebih 2 jam. Proses perendaman ini berfungsi agar warna daun keluar sehingga bentuk bisa tercetak dengan baik. Hanya daun jati yang tidak direndam karena memiliki warna yang kuat.
Setelah kain kering dibentangkan. Daun hasil rendaman dilap lalu ditata sedemikian rupa di atas kain. Setelah daun tertata, kain dilapisi dengan plastik. Barulah diinjak-injak atau dipukul-pukul agar daun menempel di kain. Teknik menginjak ini khas Kampung Ecoprint Singkawang, mengingat saat berproduksi mereka sering bernyanyi dan berjoget sambil menginjak kain. Setelah itu digulung dengan lapisan plastik. Lalu selama kurang lebih 2 jam dikukus.
Nah waktu menunggu kukusan kain pun digunakan untuk bercengkerama. Suasana menjadi heboh. Giliran kain dibuka, mereka suka degdegan. Begitu pula ketika Craftulistiwa membuka gulungan. Suasana pun menjadi heboh melihat hasil proses ecoprint. Selalu ada kejutan dari hasil cetak daun itu. Ditambah dengan warna-warna alami membuat kain tampak lebih menarik dan unik. Inilah yang membuat kain ecoprint menjadi satu diantara kain yang diminati.
“Kalau menempel daun agak sulit karena tangan saya cacat, kalo menggulung saya bisa,” kata Kusimah. Kesulitan ini juga dialami oleh warga yang jari-jarinya sudah kaku atau tidak lengkap lagi.
Bakri, seorang penyintas kusta, juga mengisahkan hal yang sama. Cukup lama warga Liposos belajar ecoprint. “Kalo ndak salah 7 bulan kami belajar. Setiap daun dicoba, hasilnya kami jadi tahu daun-daun mengeluarkan warna apa saja. Semua kain putih atau baju dibikin ecoprint,” kata Abdul Bakri sambil tersenyum.
Tidak berbeda jauh dengan warga yang lain, sehari-hari Abdul Bakri berkebun serta menerima upahan mencangkul tanah meski kakinya tak utuh lagi. Bila tak ada orderan mengolah tanah, ia mencari rumput untuk kelinci peliharaannya. Saat cuaca panas tanah-tanah menjadi kering otomatis kegiatan perkebunan yang mengandalkan hujan ini terhenti. Sumber air terlalu jauh dan berada di bawah bukit. Bila persediaan air untuk mandi cuci kakus habis, mereka harus menuruni bukit. Pelan dan tertatih-tatih.
Dengan program pemberdayaan ini, warga Liposos merasa terbantu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebuah harapan yang nyata. Dan ini bukan hanya soal ekonomi tapi juga soal meraih penghargaan hidup sekelompok orang yang bertahun-tahun terkucilkan. Perlahan, lembar demi lembar kain tercipta dari tangan mereka yang tak sempurna.
“Lewat ecoprint, Liposos makin dikenal oleh banyak orang,” kata Yatim.
Jumat, generasi ke-2 Liposos, anak dari penyintas kusta, mengatakan kegiatan ecoprint ini membuka akses yang selama ini terkucilkan. “Dulu yang sering masuk selain pembeli sayuran, adalah suster yang membawa bantuan dari donatur.”

Karya pertama Ruang Terampil dipamerkan saat Singkawang Expo 2019. Memang tidak banyak hanya berupa tas kain (totebag) berukuran 40 x 30cm. Totebag dijual dengan harga 100 ribu rupiah. Namun ada juga yang membeli di atas harga. Arya tak menyangka hasil karya warga Liposos waktu itu mendapat respon yang baik. Penjualan lebih banyak dengan cara daring melalui instagram. Seluruh hasil penjualan itu diberikan untuk warga Liposos berupa sembako.
Arya Duta dan Chantal Novyanti bertanggung jawab memamerkan karya warga Liposos waktu itu. Saat pameran warga Liposos juga datang. Mereka terlihat terharu dan merasa senang. Baru pertama kali mereka bisa terlibat dalam acara besar di Singkawang. Sukimah terlihat memperhatikan satu demi satu foto-foto dan tulisan yang terpajang. Dia juga mengusap goody bag ecoprint buatan tangannya. Matanya berkaca-kaca. Dia Bahagia.
Saat itu, muncul pertanyaan dari pengunjung pameran, apakah tas-tas ini sudah disterilkan. Apakah tidak memiliki bakteri yang menyebabkan penyakit kusta?
Tentu saja tidak. Bakteri Mycobacterium leprae sudah tidak ada lagi di tubuh mereka. Warga Liposos sudah lebih 20 tahun lalu dinyatakan sehat. Itulah kenapa mereka bisa hidup selama ini. Bisa berkeluarga. Dan anak-anak mereka semuanya sehat walafiat. Yatim, Sukimah, atau Bakri, telah melalui proses panjang pengobatan di Rumah Sakit Alverno Singkawang.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang wajar. Mengingat informasi mengenai penyakit kusta masih awam di masyarakat. Apalagi bagi mereka yang tak pernah berhadapan langsung, tentulah akan berjaga jarak. Dengan penjelasan yang baik, para pengunjung menjadi lebih paham mengenai penyakit ini. Sehingga tak perlu takut untuk bersentuhan langsung atau memegang benda-benda yang pernah dipegang oleh penyintas kusta.
Dari keberhasilan pameran, Sepatokimin Initiative mempercepat program dan meluaskan kerjasama. Selanjutnya berkolaborasi dengan penjahit dari Kabupaten Bandung, Kamal, untuk membuat lebih banyak varian produk diantaranya taplak meja, sarung bantal, poch (kantong kecil), sarung laptop, dan baju. Setelah produk jadi, mereka mulai mengikuti berbagai pameran yang digelar oleh komunitas-komunitas di luar Singkawang. Satu diantaranya adalah berasal dari Bali, yakni di Rumah Sanur.
Usaha itu membuahkan hasil. Kerja kolaborasi makin meluas. Kali ini pihak produsen sepatu seperti Brodo, Panna, dan Prabu lewat Footwear ForumID tertarik untuk mengolah kain ecoprint menjadi produk sepatu. Prosesnya, Ruang Terampil membuat kain ecoprint di Singkawang, setelah jadi dikirim ke Jawa. Di tangan para ahli pembuat sepatu, kain kanvas bermotif daun dengan warna alami itu menjadi sepatu kekinian. Cocok buat anak muda bergaya. Tidak ada yang sama bila mengenakan produk ecoprint dan itu menjadikannya unik.
Satu diantara pembeli adalah Najwa Shihab yang dengan senang hati memamerkan sepato ecoprint lewat akun instagram. Unggahan Najwa memberikan dampak luas terutama perhatian terhadap para penyintas kusta yang tengah berupaya bangkit kembali di masyarakat.
Karya Ruang Terampil pun selalu hadir di tiap kesempatan pameran yang digelar di Singkawang Creative Hub (SCH). Setidaknya ada 4 kali pameran bersama komunitas selama pandemi Covid19. Produk ecoprint olahan penyintas kusta makin dikenal. Dampaknya tidak hanya itu, Liposos pun mulai ramai dikunjungi. Pejabat kota Singkawang yang telat ngeh mulai melirik Liposos.
Saat ini telah berdiri sebuah gerbang besar. Warga kampung menyebutnya gerbang “Batalyon Liposos”. Kampung orang-orang yang tak pernah menyerah dengan keadaan. Tak bersedih hati meski terkucilkan. Kini mereka lebih percaya diri. Seperti kata Kusimah,”Kami senang saat orang datang ke sini, mau makan bersama dari masakan kami, seperti ibu-ibu Craftulistiwa.”
Tantangan hidup memang tak pernah lebih mudah, akan selalu membutuhkan pengorbanan dan kesungguhan. “Ruang Terampil saat ini harus mulai mengambil inisiatif buat bisa maju. Berani mengambil tanggung jawab yang lebih untuk mengembangkan usaha bersama mereka,” kata Emily.
Warga Liposos tak pernah menyerah pada hidup. Kini, mereka menjalani hidup lebih bergembira. Melalui karya ecoprint, mereka membuktikan bahwa keterbatasan, bukan sebuah halangan.