Desa

Merdeka belajar di Kampoeng Batara

Anak-anak di kawasan Papring, Kelurahan Kalipuro, berikhtiar mengangkat kebanggaan dan pendidikan di kampungnya dengan inisiatif pembelajaran komunitas Kampoeng Batara. Anak-anak diajarkan untuk belajar secara bebas, mandiri dan merdeka sesuai dengan kearifan lokal.

Muhammad Ulil Albab
Merdeka belajar di Kampoeng Batara
Anak-anak di Kampoeng Batara memulai pembelajaran, membuat lingkaran untuk menyepakati pembelajaran. Belajar dengan merdeka, menyenangkan dan sesuai lokalitas. Muhammad Ulil Albab / Kanal Desa

Sebelum tahun 2015, masyarakat yang tinggal di Papring, Kelurahan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi malu menyebut nama kampung halamannya sendiri kepada kenalan baru, di luar kampungnya. Kesan terpelosok, masyarakat pinggir hutan, akses jalan sulit, pemuda suka tawuran, jadi alasan kurangnya rasa percaya diri ini. Padahal wilayah Papring, secara administrasi sebenarnya masih masuk kawasan perkotaan Banyuwangi, karena bagian dari wilayah kelurahan.

Jarak Papring (setara dusun) dengan kantor pemerintah Kabupaten Banyuwangi, sejauh 11 kilometer dengan waktu tempuh menggunakan kendaraan selama 24 menit. Kesan terpelosok tidak hanya soal jalan yang sebagian besar terjal berbatu. Titik lokasi yang bersebelahan dengan hutan milik Perhutani (KPH Banyuwangi Utara) memperkuat stigma itu. Akses komunikasi lewat telepon seluler juga terhambat akibat sinyal jaringan yang lemah. Masyarakatnya banyak yang menggantungkan hidup sebagai buruh di pabrik setelah pasar produk kerajinan anyaman bambu (besek) kalah saing dengan plastik di tahun 1990-an. Sebagian masih bertahan menebang bambu di hutan untuk kerajinan dan berkebun.

Kini, keadaan berangsur berbalik setelah lahir Kampoeng Batara (Baca Taman Rimba) yang secara tidak sengaja, didirikan sosok pemuda Kampung Papring, Widie Nurmahmudy (42) pada 2015. Warga lulusan SMA ini tidak pernah membayangkan jika Kampoeng Batara bisa mengubah mentalitas, tidak hanya anak-anak yang belajar di sana, namun orang dewasa bahkan orang tua. Widie hanya menaruh perhatian pada nasib pendidikan anak-anak pinggir hutan karena kasus putus sekolah. Kondisi yang membuat anak-anak ikut berburu di hutan, bekerja, dan menikah di usia dini.

Widie tidak menyadari bahwa perhatiannya pada pendidikan, ternyata kelak bisa memikat banyak relawan, komunitas, tokoh adat, pemerintah, artis, akademisi dan sederet nama lain datang ke kampungnya. Widie menyebut, siapapun yang datang ke Papring adalah atas dasar keinginannya sendiri, untuk mendukung kegiatan pendidikan di Papring. "Kampoeng Batara Lahir dari beragam persoalan yang terjadi di kampung ini. Misalnya, tingginya angka putus sekolah, tingginya pernikahan anak, termasuk rendahnya kebanggaan terhadap kampung sendiri, sehingga perlu adanya materi atau edukasi yang memang lebih humanis," ujar Widie saat ditemui di rumahnya (2/11/2021).

Pendidikan belajar sambil bermain anak-anak di Kampoeng Batara secara tidak langsung menjadi ruang Widie menyerap beragam persoalan di kampungnya. Semua hal yang ada di lingkungan sekitarnya ia serap untuk menjadi materi pendidikan untuk anak-anakn. Di Kampoeng Batara, pendidikan dikemas dengan santai, tidak ada sistem kelas, seragam, iuran SPP, dan kurikulum seperti di sekolah formal. Persoalan rasa malu anak kepada orang tua yang berprofesi sebagai petani misalnya. Widie justru menjadikan orang tua Anak-anak itu sebagai guru cara bercocok tanam. Bila orang tua penyadap getah pinus, juga menjadi sumber pengetahuan cara kerja dan kegunaan getah pinus.

"Yang menjadi guru dan tutor adalah orang tua mereka yang punya memiliki potensi bidang masing-masing, seperti petani, penyadap pinus, pengrajin. Jadi kami fokus memanfaatkan materi pembelajaran itu yang berkaitan dengan lingkungan sekitar," jelasnya. Aktivitas tersebut, rutin Widie lakukan setiap hari Minggu, sejak 2015 hingga saat ini. Dari setiap kegiatan, ia selalu aktif membuat dokumentasi foto, video, lalu menyebarkannya ke media sosial, sebagai ruang ekspresi dan penyimpanan dokumentasi. Tidak ia sangka, kegiatannya menarik minat banyak orang untuk menjadi relawan mengajar.

"Sederhana sebenarnya, tapi dari kesederhanan itu ternyata juga menarik perhatian banyak orang, karena persoalan ini bukan hanya di Papring. Karena ini juga jadi persoalan di beberapa kampung, sehingga mereka terpanggil dan peduli, bahwa dunia pendidikan itu dimulai dari kampung. Karena kampung adalah sumber dari segala ilmu pengetahuan," terangnya.

Sejauh ini, Widie hanya terus menjaga kepercayaan kepada masyarakat, dengan tidak menerima bantuan dalam bentuk uang, apalagi mengajukan bantuan. Ia juga tidak menjadikan Kampoeng Batara sebagai destinasi pariwisata. Solidaritas pun justru terus mengalir .Banyak pihak yang menjadikan Widie sebagai pemateri di lingkungan pendidikan, sejumlah perusahaan BUMN juga mendirikan rumah bambu, galeri, gudang kerajinan masyarakat. Warga pun berinisiatif membangunkan ruang belajar dari kayu secara swadaya.

Kampoeng Batara juga terdaftar sebagai sekolah adat dari total 56 sekolah adat yang diakui Kemendikbud. Di Jawa, sekolah adat juga tercatat ada di Kampung Ciptagelar, Sukabumi. Model pendidikan di Kampoeng Batara juga diadopsi oleh Kemendikbud untuk pembelajaran di sekolah formal. "Bagi saya pendidikan itu bukan ladang untuk mencari penghasilan. Dasarnya pendidikan itu hak kita dan hak mereka, bukan hanya hak mereka, jadi kita perlu juga belajar bersama. Dan pendidikan jadi kebutuhan seperti nyawa, tidak bergerak kalau kita hanya diam," ujarnya.

Belajar lintas usia di Kampoeng Batara: tidak ada pengelompokan berdasarkan usia. Semua menjadi murid, semua menjadi guru.
Belajar lintas usia di Kampoeng Batara: tidak ada pengelompokan berdasarkan usia. Semua menjadi murid, semua menjadi guru. Muhammad Ulil Albab / Kanal Desa

Bermula dari empati

Rasa empati Widie terhadap dunia pendidikan, berawal dari kasus putus sekolah yang dialami salah satu anak tetangganya, Rudi, pada 2013. Orang tua Rudi meminta agar anaknya berhenti sekolah saat kelas 3 SD dan membantunya berburu hewan di hutan.

"Awalnya di 2013, saya memperjuangkan Rudi agar mau sekolah lagi. Dan ternyata dia juga tidak bisa baca, padahal sudah kelas 3 SD," katanya. Rudi pun, akhirnya mau melanjutkan sekolah dengan berbagai dorongan, baik dari Widie dan ketua Rukun Tetangga (RT) setempat. Ia juga melakukan pendampingan agar Rudi tidak lagi mendapatkan diskriminasi di sekolahnya, hanya karena ia memelihara anjing di rumahnya. "Orang tuanya kan bekerja di hutan, berburu. Jadi memelihara anjing. Dan itu jadi bahan guyonan bahkan oleh tenaga pendidiknya sendiri," katanya.

Dari kasus Rudi, Widie pun coba menanyakan hal-hal mendasar kepada Anak-anak di sekitar rumahnya, tentang nama-nama pohon. Lagi-lagi Anak-anak tidak tahu bahwa mereka tinggal di antara belantara hutan pinus. "Tahun 2014, saya mulai mengakrabkan diri dengan anak-anak lebih dekat. Keliling kawasan hutan, mengenalkan nama-nama tanaman. Sedihnya, mereka tidak tahu nama tanaman di sekitar," katanya. Baru pada 2015, Widie meniatkan diri untuk konsisten membuat kegiatan belajar sambil bermain di kampungnya tiap pekan. "Sejarah dimulai pada Oktober 2015. Bermula dari empat anak: Fendi, Humaira, Litta, Firman. Saya memperkenalkan buku, menemani membaca, dan mereka menyampaikan ceritanya," katanya.

Setiap kegiatan, Widie selalu rajin membuat dokumentasi foto kegiatan. Setelah kegiatan, mengunggah ke media sosial secara berkala, dengan "turun gunung" untuk mencari warung internet. Widie sendiri, saat itu bekerja sebagai reporter salah satu radio lokal, Banyuwangi FM. Paruh waktu ia juga menjadi kuli panggul di Pelabuhan Ketapang. Saat ini, ia tidak lagi menjadi seorang jurnalis. Widie memilih fokus di rumah, mengabdikan dirinya menjadi penggerak di Kampoeng Batara. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi istri dan satu anaknya, ia sandarkan dari berdagang anyaman bambu bersama para pengrajin yang bermitra dengannya.

Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, letak dari Kampoeng Batara dalam tangkapan layar Dashboard Lokadata.
Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, letak dari Kampoeng Batara dalam tangkapan layar Dashboard Lokadata. Muhammad Ulil Albab / Kanal Desa

Merdeka belajar di Batara

Sayup-sayup suara musik angklung, gendang, kluncing dan gamelan terdengar dari kejauhan kawasan pinggir hutan, kawasan Papring, Minggu pagi. Antara pukul 06.00-07.00 WIB, anak-anak yang sudah datang ke tempat belajar Kampoeng Batara, langsung memainkan ragam alat musik tradisional. Alat musik itu jadi tanda, agar teman-temannya segera datang menyusul, bahwa kegiatan belajar sambil bermain di Batara akan dimulai. Pola belajar masih sama hingga saat ini, yakni memerdekakan anak-anak bermain sambil belajar senyaman mungkin. "Tabuhan jadi kunci memanggil anak-anak. Kalau ada musik berarti ada pertanda kegiatan," ujarnya.

Dari 4 anak pada 2015, saat ini jumlahnya terus bertambah hingga 56. Aktivitas belajar tersebut, terus berjalan konsisten setiap pekannya di hari Minggu. "Mereka datang tanpa paksaan. Tidak ada registrasi, tidak ada iuran ini itu. Kami coba memerdekakan pola pendidikan agar tidak terjebak pada hal-hal yang berbau finansial. Karena materi pelajaran itu bisa didapat tanpa harus membeli ini dan itu. Kami memanfaatkan media yang ada di sekitar sebagai materi pembelajaran," paparnya.

Setelah semua anak-anak berkumpul usai mendengarkan musik, Widie akan mengumpulkan Anak-anak membuat lingkaran sambil saling bergandengan tangan. Selanjutnya masing-masing anak secara bergantian menyebut nama teman di sampingnya. Widie lantas maju ke tengah lingkaran untuk menawarkan materi belajar yang sesuai dengan keinginan anak-anak hingga muncul kesepakatan.

"Kegiatan itu sesuai dengan keinginan mereka. Ada yang ingin bermain, bercocok tanam, ada yang ingin berkesenian, calistung (membaca,tulis, hitung) dan sebagainya. Tapi 5-10 menit sebelumnya ,diawali dengan membaca buku bebas. Setelah itu, kami melakukan diskusi kecil, menyerap aspirasi mereka," jelasnya.

Setelah muncul kesepakatan, anak-anak terlebih dahulu diwajibkan membaca buku yang diinginkan. Selanjutnya, Widie bakal membentuk 3-5 kelompok belajar lintas usia. "Kemudian membuat kelompok dengan jenjang usia yang berbeda, inilah yang saling mendukung sebenarnya," katanya. kelompok lintas usia yang terdiri dari 4-6 anak. Sesuai kesepakatan, salah satu akan ditunjuk sebagai ketua kelompok. Ketua ini, kata Widie, tidak harus yang paling tua. Ini dilakukan untuk memberi nilai kesetaraan dan belajar percaya diri.

Bila anggota kelompoknya ada yang belum bisa membaca, bermain musik, menari atau membuat kerajinan, maka teman yang sudah bisa harus bersedia mengajari. Kemauan mau mengajari temannya ini dipacu dengan kompetisi antar kelompok. Widie akan menilai kelompok siapa yang terbaik dalam hal presentasi karya. "Mereka yang bisa memberi pengetahuan kepada yang belum bisa, sementara yang belum bisa tetap merasa nyaman, tidak merasa harus begini begini, lebih humanis," jelasnya.

Sesekali Widie juga mengajak anak-anak belajar di luar kawasan pemukiman kampungnya. Dalam aktivitas bertajuk Jelajah Hutan, Widie mengajak anak-anak menyusuri kawasan hutan sambil mengenal beragam jenis tanaman, satwa dan segala potensi di hutan. "Jadi ini bukan sistem kelas seperti di sekolah formal, karena usianya beragam, mulai dari sekolah TK sampai SMK. Yang kami terapkan itu adalah menyesuaikan dengan kemampuan mereka, potensi mereka, dan membangun karakter dari mereka untuk mereka," tambahnya.

Menurutnya, pola pendidikan di Kampoeng Batara membuat anak merdeka dalam belajar. Tidak ada kurikulum baku yang ia tawarkan. Ia hanya memiliki metode bagaimana pendidikan yang ia bangun bisa membuat anak bisa belajar dengan senyaman mungkin. Kampoeng Batara menjadi ruang kebebasan anak-anak untuk belajar, setelah Senin hingga Sabtu belajar di pendidikan formal, dengan beragam peraturan. "Jadi prosesnya semua bersumber dari mereka, ide mereka, praktik bersama, menggali persoalan bersama, dan berupaya menyelesaikan materi itu secara bersama -sama. Tidak ada kurikulum," jelasnya.

Dari konsep tersebut, Widie juga menerapkan aturan setiap tamu yang datang ke Batara dilarang hanya menonton. Para tamu, harus turut serta terlibat memberikan edukasi sesuai potensi yang dimiliki. "Anak-anak yang belajar ini bukan tontonan. Jadi siapa pun tamu yang datang, dia harus ikut berbaur bersama anak-anak. Entah belajar bersama atau berbagi pengetahuan," jelasnya.

Widie juga menolak Kampoeng Batara dijadikan kawasan destinasi pariwisata. Ia tidak ingin terjebak menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis atau penghasilan. Ia sebenarnya sudah berulang kali mendapat penawaran kerjasama untuk menjadikan Batara sebagai destinasi pariwisata dari pemerintah dan agen perjalanan. "Bagi saya, pendidikan itu bukan ladang untuk mencari penghasilan." ujarnya.

Dalam pembelajaran, anak-anak di Kampoeng Batara bersama menyepakati apa yang akan mereka lakukan. Belajar sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dalam pembelajaran, anak-anak di Kampoeng Batara bersama menyepakati apa yang akan mereka lakukan. Belajar sesuai dengan kebutuhan mereka. Muhammad Ulil Albab / Kanal Desa

Mengalirkan bermacam dampak baik

Berbagai tamu yang hadir ke Kampoeng Batara, juga berdampak pada rasa percaya diri masyarakat dan sendi perekonomian. Motif kerajinan bambu semakin beragam, tidak hanya membuat besek dan gedek, tetapi juga tas, lampion, songkok dan lain sebagainya setelah mendapat beragam pelatihan. Kelompok pengrajin membuat pemasaran sendiri agar mandiri dari tengkulak.

Generasi mudanya, juga membentuk komunitas bisnis muda Kopi Brotoseno untuk meningkatkan potensi kampung. Ada juga komunitas Papring Kreatif yang memproduksi dokumentasi potensi kampung dengan pelbagai medium, dari foto, video dokumenter sampai podcast.

Riyan Hidayat (29) salah satu pemuda dalam Papring Kreatif mengatakan, setiap musim jagung, timnya melakukan dokumentasi kegiatan pertanian kampungnya. Tujuannya, mencari akar sejarah dan budaya masyarakat yang memiliki keunikan.

"Papring ini unik. Kalau saya bicara menggunakan Bahasa Madura, teman saya bisa membalas dengan Bahasa Using. Bisa sebaliknya. Jadi istilahnya tabrak bahasa," ujar Riyan. Dulu, kata Riyan, campur aduk bahasa di Papring juga menjadi rasa yang kurang percaya diri, karena dinilai sulit dipahami. Warga Papring memang biasa mencampur bahasa Using dengan Madura. Perbedaan itu lantas dikemas menjadi keunikan yang dimiliki kampung.

Selain itu, anak anak muda Papring juga aktif mengajak mengaktifkan kembali lumbung pangan jagung milik warga. Mereka juga bergerak untuk konservasi bambu dan sumber mata air. "Jadi kalau ada yang panen jagung kami ngobrol saja, setidaknya mereka tidak sampai beli benih dan tidak langsung menjualnya ke tengkulak, jadi masih punya simpanan di lumbung," katanya.

Riyan juga mengakui bahwa dirinya dulu juga malu menyebut nama kampung halamannya sendiri kepada kenalan baru. "Pemuda Papring ini dulu dikenal suka tawuran setiap ada acara pentas musik di kampung. Termasuk saya sendiri. Sekarang kondisinya sudah berubah. Papring semakin dikenal karena banyak tamu berdatangan ke Kampoeng Batara untuk saling belajar. Dan itu membuat saya sekarang lebih percaya diri tidak lagi malu menyebut nama kampung sendiri," jelasnya.

Riyan mulanya juga malu dengan kerajinan besek dari kampungnya. Alasannya karena harga jual yang rendah. Kini, ia tidak lagi malu setelah muncul beragam ide kreatif desain anyaman bambu yang bisa meningkatkan nilai jual. Saat ini Riyan bahkan sering menjadi kurir kerajinan bambu ke kawasan kota, mengantarkan pesanan beragam anyaman besek."Kami sekarang juga mengelola pariwisata Sewu Sambang, membuat film pendek untuk lomba, membuat kemasan dan olahan produk kopi Papring, dan banyak kegiatan positif lain," katanya.

Herfan Efendi (15), salah satu generasi pertama yang belajar di Kampoeng Batara mengaku lebih percaya diri saat berada di sekolah. Sebab, katanya, di Kampoeng Batara sudah biasa diajarkan presentasi di hadapan teman-temannya sendiri. Ia juga sudah biasa menjadi ketua kelompok, setiap kegiatan di Batara. "Bedanya kalau di sekolah saya lebih percaya diri, karena biasa tampil presentasi hasil baca, saling berbagi pengetahuan. Jadi biasa, nggak malu," kata Fendi.

Fendi saat pertama kali masuk ke Batara masih duduk di kelas 4 SD. Bahkan, ia meraih juara 1 di kelasnya secara terus menerus hingga kelas 6 SD. Sebelum aktif di Batara, ia dan teman-temannya hanya bermain di kawasan hutan. Ia menyebut kampungnya sangat sepi karena terpelosok. "Kalau dulu bermain di hutan, hanya teman sekitar. Di sini kayak kampung mati, sepi. Kampungnya pelosok, jalannya rusak. Sekarang bangga karena Papring sudah dikenal, banyak tamu datang," ujarnya.

Pada 2019, Widie sempat memikirkan siapa regenerasi yang bakal menggantikannya kelak, sebagai penjaga konsistensi kegiatan di Batara tiap hari Minggu. Ia sempat khawatir, ketika anak-anak sudah masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, akan melupakan kampungnya. Namun secara alami ternyata regenerasi terjadi. Enam anak Kampoeng Batara yang sudah lebih dulu duduk di bangku setingkat SMA sanggup menjadi fasilitator belajar secara bergantian. Widie sendiri saat ini hanya mendampingi dan mengarahkan proses kegiatan di Kampoeng Batara. Selama proses kreatif belajar, ia juga masih terlibat, meski tidak sepenuhnya.

Widie Nurmahmudy, pendiri Kampoeng Batara, saat ditemui Kanal Desa di kawasan Papring, Kelurahan Kalipuro (2/11/2021).
Widie Nurmahmudy, pendiri Kampoeng Batara, saat ditemui Kanal Desa di kawasan Papring, Kelurahan Kalipuro (2/11/2021). Muhammad Ulil Albab / Kanal Desa

Baca Lainnya