Pundi-pundi uang di Panggungharjo
Bermula dari usaha desa bidang pengelolaan sampah, kemudian minyak jelantah, minyak nyamplung, hingga konsep desa wisata Kampoeng Mataraman.
Terletak di sebelah selatan Yogyakarta, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, jauh dari gemerlap cahaya Kota Yogya. Tapi desa ini punya sinar yang lain, keunggulan potensi desa dan juga modal sumber daya manusia. Wahyudi Anggoro Hadi (41 tahun), yang terpilih menjadi kepala desa punya visi yang menarik. Dia ingin desanya mandiri, dan potensi desa dapat memakmurkan warga.
Kini Panggungharjo menjadi desa percontohan nasional. Dengan Pendapatan Asli Desa (PADes) di atas Rp1 miliar rupiah per tahun, ia disebut juga sebagai desa unicorn. Pendapatan itu bersumber dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Panggung Lestari, lini usaha bisnis dan sosial yang dirintis sejak 2013, atau sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
Dari laporan tahunan BUMDes Panggungharjo, sejak tiga tahun terakhir semua unit usaha BUMDes mengalami peningkatan pendapatan signifikan. Pada 2016 pendapatan desa itu tercatat Rp1,3 miliar, dan melonjak menjadi Rp6,2 miliar pada 2019. Kontribusi badan usaha desa itu ke PADes Panggungharjo mencapai Rp180 juta setiap tahun.
Direktur BUMDes Panggung Lestari, Panggungharjo, Eko Pambudi mengatakan hasil yang dicapai adalah berkat kerja keras dan proses yang panjang. Bisnis badan usaha itu, kata Eko, bahkan bermula dari masalah sampah yang dibuang sembarangan.
Sekitar Maret 2013, mereka mendirikan Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah (KUPAS). Tugasnya, mengelola sampah warga, semacam bank sampah. “Dari sana kemudian muncul lini usaha lain sesuai dengan potensi dan kebutuhan kami di sini,” kata Eko kepada Lokadata.id akhir Mei lalu.
Kini BUMDes Panggung Lestari memiliki delapan lini usaha yang terdiri dari: (1) Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah (KUPAS) sejak 2013; (2) Pengolahan jelantah (minyak goreng bekas) sejak 2016; (3) Pengolahan minyak nyamplung (tamanu oil) sejak 2017; (4) Unit usaha agro (penjualan pupuk dan sayuran organik); (5) Swadesa (kios penjualan kerajinan dari PKK); (6) Kampoeng Mataraman (kuliner khas Jawa dan wisata desa) sejak 2017; (7) Inovasi desa (Lembaga inovasi dan konsultasi desa) sejak 2020; (8) pasardesa.id (pasar online desa yang menghubungkan semua pedagang kelontong desa penjual makanan jadi dari warga) sejak 2020.
Lini usaha BUMDes ini, menurut Eko, terus berkembang dan punya tantangan tersendiri. Terutama komitmen untuk transformasi kelembagaan dalam membangun kemandirian desa, menghadirkan layanan lebih profesional, berintegritas, dan berjiwa kewirausahaan.
Jumlah PADes tahunan yang diberikan ke desa kata Eko, rata-rata mencapai Rp180 juta setiap tahunnya. Menurutnya jumlahnya jumlah terhitung kecil bila dibandingkan BUMDes lainnya, “Kami mengejar benefit atau dampaknya ke masyarakat yang utama. Ada perputaran dan ekosistem ekonomi yang dibangun di dalamnya,” kata Eko.
Sedangkan menurut Wahyudi, selain memberikan PADes setiap tahunnya, BUMDes Panggung Lestari juga turut membuka lapangan kerja bagi warga. Hingga saat ini total warga desa yang bekerja di semua lini usaha mencapai 98 orang. Anggaran gaji setahun mencapai Rp1,3 miliar. Itu di luar biaya operasional semua lini usaha bisnisnya.
“Kami sadar, bentang alam kami tidak sebagus desa yang memiliki kawasan indah, namun kami menyadari atas potensi sumber daya manusia di dalamnya. Asal bisa diolah dan diajak maju bersama, pasti selalu ada peluang,” kata Wahyudi.
Bermula dari sampah
Wahyudi adalah kepala desa yang sadar data. Dalam soal usaha bank sampah misalnya, data menunjukkan adanya peluang ekonomi di sana. Pada 2013, ketika ia hendak mulai lini usaha itu, penduduk tercatat masih sekitar 27 ribu jiwa. Sampah warga mencapai 56 meter kubik per hari, atau setara enam truk sampah. Ongkos mengelola sampah sebanyak itu sekitar Rp4,1 juta per hari, mulai dari pengangkutan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), biaya sewa kendaraan, tenaga kerja, bahan bakar, dan retribusi ke TPA.
Dengan data itu, pada 25 Maret 2013, Wahyudi lalu mendirikan badan usaha desa pengelolaan sampah. Modal awalnya Rp37 juta, dan tugas badan usaha itu mengambil dan mengolah sampah di tiap dusun yang punya bank sampah. Uang operasional dan pengelolaan sampah berasal dari retribusi warga. Sesuai jenis sampah dan volumenya, tarif berkisar antara Rp20 ribu hingga Rp25 ribu per bulan.
Pada 2013, ada lebih dari seribu pelanggan. Sampai akhir 2017 jumlah pelanggan mencapai 1.013, lalu meningkat menjadi 1.067 pada 2018, dan 1.092 pelanggan pada 2019. Hingga tahun lalu rata-rata pendapatan dari retribusi sampah mencapai Rp25 juta per bulan. Itu belum pendapatan hasil jual sampah yang sudah dipilah menjadi rosok. Rata-rata hasil penjualan rosok sekitar Rp7,8 juta per bulan, dan ada juga tambahan pendapatan dari pengolahan sampah menjadi sampah organik.
Usaha sampah itu lumayan berkembang, dan kini memiliki 16 orang karyawan. Mereka terdiri dari penarik sampah, pemilah sampah, pemilah rosok dan petugas loading sampah. Status karyawan beragam, dari pekerja kontrak hingga harian. Para pengambil sampah ini juga punya peran khusus. Mereka, kata Wahyudi, menjadi mata dan telinga desa saat mengambil sampah. “Kami minta mereka untuk menyapa warga dan mendengar keluhannya.”
Dari hasil “dengar curhat” itu, misalnya, ada ide pembuatan pupuk organik. Hingga tahun 2019, lini usaha itu menghasilkan sekitar 5 kwintal pupuk organik padat dan ratusan liter pupuk organik cair. Pupuk organik itu digunakan untuk keperluan sendiri, khususnya mendukung unit usaha agro, dan selebihnya dijual untuk umum.
Minyak jelantah
Pada 2018, usaha lain berdiri di Panggungharjo. BUMDes Panggung Lestari mendirikan PT. Sinergi Panggung Lestari, yang bergerak dalam pengelolaan minyak goreng bekas menjadi minyak jelantah (Used Coconut Oils -UCO) dan pengelolaan minyak nyamplung (tamanu oils).
Menurut Eko, lini usaha minyak jelantah bermula dari limbah minyak goreng bekas warga yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Selain terbuang sia-sia pembuangan jelantah juga dilakukan warga dengan sembarangan, dan akibatnya dapat merusak lingkungan dalam jangka panjang.
Inilah yang mendasari pengelolaan minyak goreng bekas untuk menjadi UCO atau bahan bakar mesin untuk industri. Hasil minyak olahan itu ternyata mendapat sambutan baik. Kerjasama pertama adalah dengan PT Tirta Investama (Danone Aqua) di Klaten. Sebetulnya penjajakan kerjasama sudah dilakukan tiga tahun sebelumnya, berupa riset mesin pengolah minyak jelantah, yang sesuai dengan mesin milik PT. Tirta Investama. Proses filtrasi minyak jelantah itu menggunakan mesin dengan kualitas penyaring 5 mikron.
Pada 2016, BUMDes Panggung Lestari mengirim UCO ke Danone Aqua Klaten sebanyak 34 ton. Lalu setahun berikutnya naik menjadi sebanyak 41 ton. Pada 2018, kapasitas produksi meningkat menjadi sekitar 8.000 liter (1 kilogram minyak setara 1,11 liter minyak) filterisasi jelantah per bulan. Rata-rata pengiriman ke pihak Danone Klaten mencapai 2 ton setiap bulannya.
Harga jualnya lumayan, mencapai Rp 7.250 per liter ke Danone. Sedangkan BUMDes Panggung Lestari membeli minyak goreng bekas dari masyarakat dan pengepul seperti PKK, pengepul swasta, warung-warung makan dan lainnya sekitar Rp 4.000 sampai Rp 5.000 per liter.
Sayangnya, kerjasama itu berakhir pada Oktober 2018, lantaran ada surat edaran dari Kementrian ESDM yang ditujukan kepada Danone Aqua terkait aturan standar filtrasi minyak UCO yang digunakan industri.
Nilai lebih minyak nyamplung
BUMDes Panggung Lestari juga melirik potensi bisnis lainnya: industri minyak nyamplung (tamanu oils). Pada Februari 2018, badan usaha itu menjalin kerjasama dengan Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Kampus itu diminta menciptakan sejumlah produk unggulan untuk industri obat tradisional, dalam hal ini menggunakan minyak nyamplung.
Minyak Tamanu yang sudah melalui proses penyaringan lalu diproses packaging ke dalam wadah khusus untuk didistribusikan. Dalam kesepakatan itu, UNS Surakarta membeli minyak nyamplung dengan harga Rp75.000/liter. Sejak dilakukan kerjasama antara BUMDes Panggung Lestari dengan UNS Surakarta, pengiriman minyak nyamplung telah mencapai 3.700 liter.
Sebagai gambaran, untuk dapat menghasilkan 1 liter tamanu oils dibutuhkan bahan baku 9-10 kg buah nyamplung kering. Buah nyamplung dibeli dari pengepul dengan harga Rp 5.000 per kilogram. Untuk produksi per 1 liter minyak, maka dibutuhkan bahan baku senilai Rp 50.000.
Produk minyak tamanu ini dipasarkan ke seluruh Indonesia melalui platform e-commerce seperti bukalapak, shopee, tokopedia, dan yang lainnya.
Selain bekerjasama dengan pihak luar, BUMDes Panggungharjo juga terus berinovasi membuat produk turunan tamanu oils. Misalnya produk kosmetik mulai sabun padat, sabun cair, hand body lotion, scrub hingga masker wajah.
Pencapaian lini usaha itu juga membanggakan. Pada awal 2020, usaha pengelolaan minyak nyamplung ini lolos menjadi salah satu peserta dalam sayembara yang dibuat The Royal Academy of Engineering, Prince Philip House, Inggris. Kumarati Tamanu Oil, produk BUMDes Panggungharjo itu menyisihkan 1.200 peserta lainnya melalui penjurian ketat oleh Newton Fund, Kemenristek, dan Kedutaan Besar Inggris.
Selama pekan di Inggris, peserta yang lolos akan mengikuti sesi pengembangan bisnis dan kepemimpinan.
Kampoeng Mataraman
Kampoeng Mataraman adalah salah satu unit usaha BUMDes Panggung Lestari yang bergerak di bidang jasa wisata desa. Unit usaha itu berdiri sejak 2017, dengan program eksplorasi desa yang dipadu dengan bisnis kuliner dalam konsep wisata desa. Idenya bermula dari kian macetnya Yogya oleh wisatawan setiap akhir pekan. Eko Pambudi, selaku direktur badan usaha desa itu berpikir memanfaatkan peluang untuk menjadikan wilayah selatan Yogyakarta sebagai alternatif wisata. “Kita membuat tempat nongkrong gaya Mataraman Abad 19. Ini jadi value ‘ndeso’ dari Unit Kampoeng Mataraman,” kata Eko Pambudi.
Wisata desa Kampoeng Mataraman menggunakan lahan seluas 6 hektare tanah kas desa. Biaya pembangunannya melibatkan pihak ketiga. Jualan utama adalah paket makanan minuman, dan tamasya bangunan Jawa Mataraman Abad 19. Mereka juga menjual jasa sewa ruang pelatihan dan penginapan.
Pada September 2018, Kemendes memberi apresiasi usaha yang dibuat oleh BUMDes Panggungharjo itu. Bahkan agar menambah semangat, Kemendes memakai Kampoeng Mataraman untuk melantik sejumlah pejabat eselon satu.
Menurut Wahyudi, Kampoeng Mataraman dikelola penuh oleh warga desa. Semua pegawainya adalah warga yang tidak punya kesempatan bekerja di tempat lain, jumlahnya sekitar 49 orang hingga tahun lalu. “Ketika ada warga yang dianggap marginal, pemerintah desa harus turun tangan. Mereka harus diajak maju, dilatih, dan bimbing untuk menjadi lebih baik,” ujar Wahyudi.
Jumlah pengunjung Kampoeng Mataraman lumayan. Rata-rata 100-300 orang per hari, dan puncaknya pada akhir pekan. Tapi kini wabah pandemi Covid-19 memaksa Kampoeng Mataraman menutup semua layanannya. Kepala Desa dan Direktur BUMDes Panggung Lestari sedang mengupayakan cara untuk membuka tempat itu kembali sesuai protokol kesehatan yang diputuskan oleh pemerintah pada masa new normal.
Kampoeng Mataraman ini adalah tambang emas bagi BUMDes Panggungharjo. Dalam laporan konsolidasi badan usaha itu pada 2019, Kampoeng Mataraman memberi kontribusi pendapatan terbesar dibandingkan lini usaha lain, yakni mencapai Rp3,9 miliar. Sedangkan lini usaha sampah meraup pendapatan Rp392 juta, usaha Agro mencapai Rp21 juta, dan Akademi Komunitas berupa layanan pelatihan dan kunjungan desa mencatat pendapatan Rp1,4 miliar. Swadesa atau lini usaha yang mengelola semua aset desa berpendapatan Rp65 juta, sementara lini usaha layanan terkait manajemen berpendapatan Rp461 juta. Total pendapatan BUMDes Panggungharjo mencapai Rp6,3 miliar pada 2019.
Kini Desa Panggungharjo sedang menjajaki kolaborasi lebih luas dalam soal kerjasama dan investasi pengelolaan lini usaha BUMDes yang sehat secara keuangan. Wahyudi menjelaskan, nantinya saham kepemilikan desa akan dilepas ke publik untuk pendanaan pengembangan usaha BUMDes.
Hal itu penting agar pengelolaan oleh pihak internal desa tidak stagnan. Kerjasama dengan pihak luar dan pelepasan saham usaha BUMDes ke publik akan membuat usaha itu lebih gesit dan inovatif. “Maksimal kepemilikan saham dari pihak luar itu 40 persen, selebihnya tetap milik BUMDes dan desa sendiri,” kata Wahyudi melanjutkan.
Saat Lokadata berkunjung ke Panggungharjo, semangat inovasi desa itu seperti tidak pernah berhenti. Di tengah pandemi wabah Covid-19, muncul membuat sebuah marketplace digital yang diberi nama pasardesa.id. Selain itu situs itu juga sebagai pendukung BLT Dana Desa.
Sistemnya berjalan sebagai pasar online yang menghubungkan semua pedagang kelontong desa dan penjual makanan jadi dari warga desa sendiri. Kini situs itu tidak hanya digunakan pedagang kelontong di Panggungharo, juga di empat desa lainnya yaitu, Desa Ngestiharjo, Kasihan, Desa Guwosari, Pajangan, Desa Wirokerten, Banguntapan, dan Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Target para pengguna adalah warga keluarga harapan, yang jumlahnya sekitar 30 persen dari 28 ribu jiwa penduduk Panggungharjo saat ini. Keluarga harapan diminta membelanjakan bantuan langsung tunai lewat pasardesa.id. Di sana mereka bisa memperoleh semua jenis kebutuhan yang berasal dari pedagang kelontong desa dan makanan jadi.
Wahyudi mengatakan sistem itu bisa menjaga uang tidak keluar dari desa. Sekitar 30 persen keluarga harapan itu adalah sebagai perintis. Bantuan tunai yang mereka dapatkan, jika dibelanjakan di situs itu, maka secara tidak langsung akan menghidupkan para warga desa yang menjadi pedagang. Dia berharap, kelak 70 persen warga lainnya akan mengikuti langkah itu. “Konsepnya adalah gotong royong. Desa hanya sebagai penghubung,” ujar Wahyudi.