Kongres Desa dan 21 buku di masa pandemi
Paket buku yang memuat serial panduan bagaimana menyusun tatanan arah Indonesia Baru dari Desa.
Selama dua pekan bergumul dengan beragam topik di Kongres Kebudayaan Desa (KKD), dua puluh satu buku itu pun lahir. Tentu ini pencapaian penting, jika menimbang situasi pandemi dan suasana muram yang kini menggerus banyak sektor. Tepuk tangan harus diberikan kepada Yayasan Sanggar Inovasi Desa, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Berkat inisiatif yayasan itu, segepok solusi alternatif bagi desa menghadapi pagebluk Covid-19 kini menjadi catatan penting.
Kongres itu berlangsung dalam bentuk rangkaian kegiatan dengan bentangan waktu lumayan panjang, dari 1 Juni hingga 15 Agustus 2020. Kepala Desa Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi dengan bangga mengatakan Kongres itu bak sebuah pasar ide dari desa untuk Indonesia di masa Covid-19. Desa, kata dia, telah lama punya mekanisme pertahanan kebudayaan yang kokoh menghadapi krisis multidimensional sejak zaman kolonial hingga kemerdekaan.
“Covid-19 mendekonstruksi semua tatanan tanpa teriakan revolusi,” ujar Wahyudi. Dia lalu menyebut pandemi mengembalikan kesadaran publik bahwa puncak relasi sosial adalah kekeluargaan. Puncak dari relasi ekonomi adalah kerjasama, dan puncak dari relasi politik adalah musyawarah. “Rebut kesempatan untuk membangun tatanan yang lebih bermartabat, lebih berkeadilan dan lebih berkesetaraan”.
Kongres itu sungguh menjadi pasar ide yang dinamis. Ketua Pelaksana Kongres, Ryan Sugiarto mengatakan, mereka mengelola rangkaian serial webinar dan riset, yang akhirnya dikumpulkan menjadi 21 buku. Paket buku itu memuat serial panduan bagaimana menyusun tatanan arah Indonesia Baru dari Desa. Tak semua buku bicara konsep, ada satu buku berisi panduan praktis bagi desa untuk membangun sesuai kondisi Kenormalan Baru di masa Covid-19.
Ada juga panduan teknis menyusun RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) sesuai karakter desa masing-masing. “Jadi, ‘Buku Putih: Arah Tatanan Baru Indonesia dari Desa’ adalah simpul utamanya, panduan praktisnya. Jika ingin bahasan lebih mendalam untuk semua tema, bisa mengakses 20 buku tematik lainnya,” kata Ryan kepada Lokadata, Jumat, (28/08/2020).
Teknis penyusunan buku itu, kata Ryan, tidak sekadar mencomot dan menata ulang makalah para narasumber. Ada tim khusus yang melakukan kurasi, dan membahas lebih lanjut dengan pembicara untuk menajamkan setiap tulisan. Ada juga riset dan survei dari pemerintahan desa se-Indonesia, dan dari warga desa dari berbagai tempat.
Ryan menjelaskan, semua buku versi digital bisa diakses oleh publik dalam situs resmi Yayasan Sanggar Inovasi Desa. Sedangkan untuk versi cetak bisa dipesan langsung ke Yayasan. “Konsep 21 buku ini kami bingkai dalam bentuk peta Indonesia dan endemi yang dimiliki. Jadi bentuk peta dan endemi itu akan menyatu jika 21 buku digabungkan menjadi satu,” ujar Ryan.
Berikut 21 buku hasil Kongres Kebudayaan Desa 2020 yang bisa diakses publik dalam situs https://buku.sanggarinovasidesa.id/:
- Arah Tatanan Indonesia Baru dari Desa (501 halaman)
- Arah Tatanan Baru: Hidup di Era Pandemi dan Sesudahnya (161 halaman)
- Ekonomi Berkeadilan: Perekonomian dan Kemandirian (175 halaman)
- Inklusi Sosial: Mewujudkan Masyarakat Inklusif (184 halaman)
- Kebhinekaan Desa-desa Nusantara: Perspektif Masyarakat Adat
- Pendidikan yang Membebaskan: Membalik Paradigma Pendidikan Urban (202 halaman)
- Kesehatan Semesta: Menghadirkan Kembali Kesehatan yang Setara (164 halaman)
- Keamanan dan Ketertiban: Menghadirkan Rasa Aman dan Perlindungan Masyarakat (130 halaman)
- Perempuan dan Anak: Pemberdayaan dan Perlindungan Masa Depan yang Inklusif (164 halaman)
- Kedaulatan Pangan: Merdeka Pangan, Sandang, dan Papan (198 halaman)
- Pemuda: Merekonstruksi Ulang Formasi Strategis Pemuda (136 halaman)
- Agama: Transformasi dari Ritus ke Substansi (158 halaman)
- Kebudayaan: Mengkonstruksi Ulang Alam Pikiran Nusantara Sebagai Basis Peradaban (184 halaman)
- Tata Ruang dan Infrastruktur: Negosiasi Ulang Peta Ruang dan Lingkungan Pemukiman (134 halaman)
- Reformasi Birokrasi: Merumuskan Tata Birokrasi yang Compatible (162 halaman)
- Hukum dan Politik: Regulasi yang Memuliakan Martabat Manusia (203 halaman)
- Antikorupsi dan Akuntabilitas: Sistem dan Habitus Transparansi (154 halaman)
- Datakrasi: Meningkatkan Kualitas Hidup Berbasis Data (150 halaman)
- Keluarga: Peran Strategis Keluarga dalam Pemuliaan Martabat Manusia (140 halaman)
- Kewargaan (Citizenship): Pola Relasi Baru Warga dan Negara (195 halaman)
- Komunikasi, Media, dan Influencer: Kebijakan Komunikasi Publik dalam Tata Pemerintahan (178 halaman)
Gagasan yang termuat di 21 buku itu tak berhenti di tataran ide. “Teman-teman desa lain bisa mempraktikkan gagasan itu sesuai kebutuhan masing-masing. Secara resmi kami di Yayasan Sanggar Inovasi Desa, Kemendes, KPK, dan 53 organisasi jaringan menyusun strategi bagaimana implementasinya di lapangan,” ujar Ryan yang juga menjadi pengajar di Fakultas Psikologi Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta.
Asal-usul Kongres
KKD 2020 adalah hajatan besar Desa Panggungharjo dan Yayasan Sanggar Inovasi Desa yang bekerja sama dengan Kemendes, KPK, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit GmbH atau GIZ.
Gerakan itu bermula dari tim Desa Panggungharjo Tanggap Covid-19 pada Maret 2020 saat menjalankan mitigasi kesehatan, memberi bantuan kepada warga yang terpapar virus korona saat itu. Kegiatan tersebut mendapat dukungan banyak pihak. Kelak banyak pelajaran bisa dipetik, dan menjadi contoh baik dari desa itu, dan semua pengalaman itu dicatat dalam buku bertajuk, “Panggung Tanggap Covid-19: Praktik Baik Desa Panggungharjo”. Buku itu bisa diakses publik melalui Google Playbook.
Mulai dari lingkup kecil itu, kata Ryan Sugiarto, yang juga pelaksana harian Yayasan Inovasi Desa, gerakan melebar. Banyak relawan dari luar desa bergabung. Kepala Desa Panggungharjo lalu mengusulkan agar dibuat dalam bentuk Yayasan dan terpisah dari pemerintahan desa. “Meskipun tetap ada bagian yang mengurusi internal desa,” kata Ryan.
Pengalaman tanggap Covid-19 di Panggungharjo itu, menurut Ryan, lalu berkembang menjadi gagasan untuk membuat Kongres Kebudayaan Desa. Pengalaman itu mengajarkan bahwa pandemi telah memaksa desa berubah dalam sebuah tatanan baru. Perubahan itu mencakup banyak hal, tidak hanya aspek sosial, hubungan antar warga, namun juga dalam hal strategi ekonomi, budaya, tata ruang, masyarakat adat, dan lainnya.
Maka puluhan relawan itu pun bergerak. Sebuah tim dibentuk guna menyusun konsep dan meriset kebutuhan desa dalam masa pandemi. Bergerak sejak April 2020, lalu tim riset Yayasan Sanggar Inovasi Desa mengusulkan 18 tema untuk dibahas dalam Kongres Kebudayaan Desa 2020. Kegiatannya aneka rupa; webinar, festival kebudayaan, call for papers, dan deklarasi kebudayaan. Ada 18 topik yang menjadi sorotan dan tiga tema khusus untuk diperdebatkan. Kongres itu pun menghadirkan lebih dari 100 lebih narasumber.
Kongres itu, kata Ryan, tidak hanya menghasilkan konsep dan buku, tapi juga menjadi wadah pertemuan praktik banyak kalangan. Ia mencontohkan, dalam tema kesehatan desa, ada pembicara berasal dari satu desa di Papua. Dia dengan bersemangat bercerita tentang pengobatan tradisional di desanya. Sehari kemudian, pembicara dari Papua itu mengatakan jika ceritanya tentang obat tradisional itu rupanya menarik perhatian sejumlah rekan dari desa lain. “Dia bahkan dikontak oleh pihak UGM dan UI untuk melakukan kerjasama,” ujar Ryan.