Desa Tembok, kisah ''benteng'' ekonomi di masa pandemi
Desa Tembok menjadi semacam “suaka” bagi warga yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Ada aneka rupa program untuk bertahan.
Desa Tembok kini menjadi semacam “benteng” bagi warga yang pekerjaannya hilang dihajar pandemi. Terletak di ujung timur Kabupaten Buleleng, Kecamatan Tejakula, desa itu membuat gebrakan menarik. Sejumlah warga pencari kerja dirangkul, meski dengan upah yang tidak terlalu besar, setidaknya mereka tetap aktif bekerja dan kebutuhan makan terpenuhi.
Berjarak 43 kilometer arah timur Kota Singaraja, kita butuh waktu sekitar satu jam untuk bisa tiba di desa ini. Wilayah Tejakula selama ini dikenal daerah sulit air. Terutama pada musim kemarau. Tak ada sawah di kecamatan ini. Lahan pertanian hanya berupa kebun yang mengandalkan air hujan. Pada musim kemarau, tanah tandus. Debu mengepul di tiup udara panas.
Di Desa Tembok, tanaman yang tumbuh adalah yang bertahan di lahan kering. Sebagian besar berupa tanaman kacang mete, kelapa, mangga, dan pohon lontar.
Kami berkunjung ke desa itu pada awal September lalu. Kepala Desa Tembok, Dewa Komang Yudi Astara, 34 tahun, langsung menyambut di kantor desa. Dia mengarahkan kami ke balai desa, di sebelah timur bangunan kantor.
Di balai desa terlihat tujuh orang tengah bekerja. Sebanyak lima orang pemuda, dan dua lainnya pemudi. Direkrut melalui program pemberdayaan masyarakat, mereka kini membuat kursi berbahan dasar eco-brick. Program itu dikemas dalam skema program padat karya tunai.
Pekerjaannya tampak gampang-gampang susah. Eco-brick yang terkumpul direkatkan dengan selotip hingga berbentuk segitiga sama sisi. Lalu bentuk itu dilapisi spons, dan kerja selanjutnya adalah membungkus eco-brick dengan kain pesanan dari penjahit di desa setempat. Jadilah eco-brick itu sebagai kursi yang bisa diduduki pria dewasa. Kursi itu masih mampu menahan beban hingga 150 kilogram.
Pembuatan kursi dari eco-brick itu adalah salah satu program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan desa ini. Program ini berjalan sejak akhir Agustus lalu. Para pemuda digandeng membuat kursi. Mereka hanya bekerja dari pukul 08.00 pagi hingga pukul 12.00 siang. Untuk durasi pekerjaan selama 4 jam, mereka diupah Rp 30 ribu sehari.
Ide proyek kursi itu sederhana. Dewa Komang Yudi bercerita, awalnya kursi plastik di balai desa sudah rusak. Akibatnya jika ada pertemuan maupun rapat-rapat di desa, warga terpaksa berkumpul dengan cara lesehan. Akhirnya dia memutuskan membuat kursi. Bahannya bersumber dari materi yang ada di desa itu.
Eco-brick, misalnya, bersumber dari Bank Sampah Tembok Kedas Mesari. Sampah plastik yang masuk diolah menjadi eco-brick. Spons untuk alas duduk, dibeli dari warga setempat. Begitu pula dengan kain penutup, juga diproduksi penjahit di Desa Tembok. Pembuatannya, diserahkan pada pemuda-pemuda di Desa Tembok yang kehilangan mata pencaharian akibat pandemi.
Sebenarnya, Yudi bisa saja membeli kursi jadi di pasar. Satu kursi harganya Rp125 ribu. Tinggal dianggarkan saja di APBDes, beres. “Tapi dampak untuk ekonomi desa kan tidak ada, karena harus beli ke luar desa. Makanya saya buatkan skema padat karya saja. Bahannya dari sampah, kain ambil di penjahit di desa, yang mengerjakan pemuda desa. Ada dua dampak yang dirasakan. Bisa daur ulang sampah plastik, ekonomi di desa tetap berjalan,” ujar Yudi.
Keluarga pemimpin
Dewa Komang Yudi terlahir dari keluarga pemimpin. Bahkan bisa dibilang lahir dari keluarga yang menjadi kepala desa. Buyutnya adalah seorang demung – sebutan pemimpin wilayah setingkat desa – pada masa kolonial. Hal itu berlanjut pada kakeknya yang juga seorang demung.
Selama puluhan tahun, tongkat kepemimpinan itu selalu berpindah tangan. Dari satu orang ke orang lain. Hingga kembali lagi ke keluarga mereka pada tahun 1990-an.
Ayah Yudi adalah Dewa Putu Tjakra, yang menjabat sebagai kepala desa sejak tahun 1994 hingga 2002. Selanjutnya pada 2002-2008, jabatan kepala desa diisi oleh seorang pejabat sementara yang ditunjuk kecamatan. Pada 2009, Tjakra memilih melanjutkan karirnya di DPRD Buleleng. Dia terpilih sebagai anggota dewan untuk dua kali periode hingga tahun 2019.
Pada 2008, jabatan kepala desa jatuh pada Luh Padmawati yang adalah ibu Yudi. Jabatan itu berakhir pada 2014 dan dilanjutkan oleh seorang pejabat sementara. Lalu pada 2015, giliran Dewa Yudi yang menjadi kepala desa. “Saya waktu itu sudah pulang kampung, setelah resign kerja di Denpasar. Buka usaha di rumah. Menjelang pemilihan ada beberapa orang tokoh yang menyarankan saya maju. Awalnya saya nggak kepikiran. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, mencalonkan diri. Ternyata terpilih. Tanggal 16 Desember 2015, saya dilantik,” ujarnya.
Berasal dari keluarga kepala desa, tentu ada banyak pro dan kontra, namun Yudi pun tak ambil pusing. Dia menyatakan kepercayaan pada dirinya menjadi kepala desa, adalah titipan dan amanah warga. Jabatannya akan selesai sekitar akhir 2021, dan Yudi sudah ancang-ancang tak akan maju lagi menjadi kepala desa jika masalah sampah plastik belum selesai di Desa Tembok. Dia sudah berbicara perihal itu kepada para tokoh dan keluarga.
Berbagai cara pun ia lakukan untuk mengurangi sampah plastik. Mulai dari pengurangan penggunaan plastik di kantor desa, memberikan insentif babi hitam pada pasangan yang berkomitmen tidak menggunakan plastik saat resepsi pernikahan, menjadikan sampah sebagai premi jaminan kesehatan desa, hingga melakukan daur ulang.
“Ini semacam test case bagi saya. Kalau akhirnya sampah di desa ini tertangani, itu artinya desa lain juga bisa. Itu berarti hanya butuh komitmen saja,” ujarnya.
Pandemi dan padat karya
Pada masa pandemi, Yudi jadi makin kreatif. Berbagai program disiapkan menyambut warga yang pulang kampung. Alhasil Desa Tembok langsung menjadi buah bibir. Sejak awal April, Yudi secara terbuka mengajak warganya kembali ke desa, karena pekerjaan tak lagi tersisa di kota. Masa pandemi membuat kondisi ekonomi di Bali porak poranda. Sektor pariwisata yang menjadi tumpuan ekonomi Bali anjlok. Tak ada wisatawan mancanegara yang berlibur ke Bali. Wisatawan domestik pun terbatas.
Data Bank Indonesia Perwakilan Bali menunjukkan, pada kuartal pertama 2020 perekonomian Bali telah mengalami kontraksi sebesar 1,14 persen. Pada kuartal kedua 2020, kondisinya menjadi lebih parah. Perekonomian Bali mengalami kontraksi hingga 10,98 persen.
Kondisi pariwisata yang porak poranda, berdampak pula terhadap kondisi di Desa Tembok. Data demografi penduduk Desa Tembok menunjukkan, hingga akhir 2019 tercatat ada 2.350 kepala keluarga di Desa Tembok. Dari ribuan kepala keluarga itu, lebih dari setengahnya atau 1.236 kepala keluarga mencari penghidupan dengan cara merantau ke wilayah Bali Selatan.
“Hampir semuanya di sektor pariwisata. Ada yang di hotel, restoran, pegawai art shop, sopir freelance, macam-macam,” Yudi menjelaskan.
Sejak awal pandemi, Yudi telah mengira akan terjadi gelombang kembali desa. Penyebabnya warga yang merantau kehilangan pekerjaan. Dia pun bersiap menyambut gelombang kedatangan itu. Caranya, menyiapkan berbagai macam pekerjaan di desa lewat program padat karya tunai.
Lewat musyawarah desa, dia mengusulkan agar menunda proyek fisik. Dana agar dialihkan untuk pemberdayaan masyarakat melalui skema padat karya tunai. Usulan itu disetujui. Sejumlah pekerjaan pun disiapkan. Mulai pembersihan jaringan irigasi, penyapu desa, juru pendataan potensi desa, pengelolaan kebun dan pertanian, pemetaan potensi bahari, budidaya lele, pembuatan garam, pemberantasan sarang nyamuk, dan pembuatan eco-brick.
Pemetaan potensi bahari misalnya. Yudi menggandeng instruktur diving yang kehilangan pekerjaannya. Instruktur itu memiliki kemampuan menyelam hingga kedalaman 50 meter lebih. Mereka diminta melakukan pemetaan potensi bahari. Mulai dari jenis dan lokasi terumbu karang, hingga jenis ikan yang dapat ditemui di sana.
Menurut Yudi, itu adalah bagian dari persiapan. Jika data telah dimiliki maka, jika nanti pandemi berakhir, melalui BUMDes akan dibuat dive centre. Selanjutnya tinggal menyiapkan sarana bilas dan penyewaan alat-alat. “Kalau data sudah punya, kita kan bisa pemetaan. Mana spot untuk snorkeling, mana untuk pemula, mana untuk yang advance. Kalau penghobi fotografi makro dimana spot-nya, kalau yang suka lihat ikan dan karang dimana spot-nya. Sudah sempat jalan programnya, tapi sudah sebulan ini rehat karena kondisi laut sedang tidak memungkinkan,” ujar Yudi.
Upaya Desa Tembok memberdayakan masyarakat lewat program padat karya tunai ini yang menjadi pemberdayaan di masyarakat. Desa-desa lain selama ini hanya meluncurkan program Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD). Program padat karya hanya lebih banyak digunakan pada proyek-proyek fisik.
Sejak program padat karya diluncurkan pada Mei 2020 lalu, program ini telah berhasil menyerap 171 orang pekerja. Dana yang dihabiskan pun terbilang minim. Hingga 31 Agustus 2020, dana yang digunakan baru Rp 140 juta. Tak sampai 10 persen dari total APBDes Tembok yang sebesar Rp 2,2 miliar.
Yudi lebih suka menerapkan program pemberdayaan masyarakat dengan padat karya tunai sebab dampak ekonominya lebih besar. Hal ini berbeda bila ia menerapkan padat karya tunai untuk fisik.
“Bisa saja sih rabat beton jalan pakai padat karya tunai. Tapi dampaknya tidak signifikan. Kalau saya hitung, untuk infrastruktur itu 60-70 persen anggaran itu sudah habis untuk material. Jadi kalau kita alokasikan program rabat beton Rp100 juta, dana sebesar Rp60 juta itu sudah pasti untuk beli material. Sisanya baru untuk tenaga. Ini kan tidak signifikan untuk menggerakkan ekonomi desa saat pandemi,” ujarnya.
Peran penting BUMDes
Pelaksanaan program padat karya tunai itu tak lepas dari peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sejak 2015, pemerintah desa memutuskan membentuk BUMDes Giri Artha. Pembentukan itu dilakukan melalui Peraturan Desa (Perdes) Tembok Nomor 4 Tahun 2015.
Pada awalnya BUMDes berdiri hanya mengandalkan unit usaha simpan pinjam. Namun kini saat pandemi, unit usaha itu mati suri. Para debitur memilih mengajukan relaksasi. Akibatnya pergerakan unit usaha ini vakum sejak April lalu.
Direktur BUMDes Giri Artha, Dewa Ketut Wily Asmawan pun menyadari hal itu. Dia berniat unit simpan pinjam itu dirombak sedemikian rupa. Program kredit akan diserahkan pada lembaga keuangan lain. Entah itu Lembaga Perkreditan Desa (LPD), koperasi, maupun lembaga perbankan.
Program pinjaman hanya disisakan untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan, serta upacara adat. Untuk pendidikan misalnya, warga dapat mengajukan pinjaman lunak pada BUMDes. Sementara untuk upacara adat, warga dapat mengajukan pinjaman untuk berbagai kebutuhan. Entah itu upacara kematian, pernikahan, maupun upacara kelahiran anak.
“Kalau di desa ini, upacara adat itu sudah praktis. Kalau dulu orang yang datang itu kan bawa kado. Sekarang sudah dikonversi dalam bentuk uang. Jadi kalau ada acara adat, bisa pinjam dulu di BUMDes, nanti dikembalikan setelah acara selesai,” Willy menjelaskan.
Sementara untuk sektor kesehatan, diperuntukkan bagi warga yang kehilangan jaminan kesehatan. Dulunya warga mendapat jaminan kesehatan dari pemerintah kabupaten. Namun belakangan ada pemegang kartu jaminan kesehatan yang kondisi kartunya nonaktif.
“Kalau ini mau diaktifkan, butuh waktu 14 hari. Itu kan sudah pasti biaya. Kami akan siapkan pinjaman lunak untuk itu. Jadi nanti pendekatan utama unit simpan pinjam ini bukan untuk profit. Tapi membantu masyarakat. Kalau selama ini kan semua jenis pinjaman masuk, kecuali KPR (Kredit Pinjaman Rumah). Nanti kami ubah jenis kreditnya,” kata dia.
Pada awal 2016, BUMDes membentuk unit usaha baru, yaitu pengelolaan air bersih. Total ada 635 keluarga yang berlangganan air bersih dari BUMDes. Untuk harga air di desa ini, terbilang mahal. Warga harus membayar antara Rp7 ribu hingga Rp10 ribu per kubik. Biaya operasional untuk pengelolaan air bersih rupanya cukup mahal.
Sumber air bersih di desa ini terdapat di wilayah hilir. Cenderung dekat dengan pantai. Total ada 4 sumber mata air dengan debit total 20 liter per detik. Air yang didapat disedot menggunakan pompa air. Kemudian air dialirkan ke bak di hulu. Mulai dari bak pertama, hingga bak kelima. Untuk mengalirkan air itu, BUMDes harus memanfaatkan pompa listrik maupun pompa dengan energi minyak solar.
Beban operasional unit usaha ini jadi bengkak. Mencapai Rp30 juta per bulan. “Ini penyebab harga air di desa kami tinggi. Kalau di desa lain kan lebih banyak gravitasi. Jujur saja unit saja unit usaha ini lebih sering tidak tutup operasional. Biasanya ditutup unit usaha lain. Kalau kami mau menambah pelanggan juga belum bisa, karena debit airnya terbatas,” ujar Wily.
Selanjutnya pada 2018 BUMDes membentuk unit usaha sampah. Unit usaha ini lebih banyak bergerak pada bidang pengangkutan, pengelolaan, dan pengolahan sampah. “Ini juga bukan unit usaha yang profitable. Kami tidak cari untung di unit ini, tapi unit ini penting keberadaannya untuk desa,” kata Wily.
Kemudian pada tahun 2019, BUMDes membentuk unit usaha yang bernama Tembok Rumah Pangan. Unit usaha ini bergerak pada bidang produksi dan pemasaran. Produk potensial di desa ini diserap, diolah, dan dipasarkan lewat BUMDes. Sehingga memiliki harga yang layak. Produk yang disalurkan pun beragam. Mulai dari garam, minyak goreng dari kelapa, body oil, gula lontar, maupun kacang mete.
Produk yang dipasarkan lewat unit usaha ini salah satunya ialah kacang mete. Hasil perkebunan mete masyarakat, diserap BUMDes. Mete dari petani kemudian dijemur, dikupas, dikeringkan, dilakukan kupas kulit air, dilakukan penyortiran, dilakukan pengolahan, pengemasan, baru dilakukan pemasaran. Untuk satu pak kacang mete seberat 85 gram, BUMDes Tembok menjualnya dengan harga Rp25 ribu.
Dulu, sebelum pandemi melanda, unit usaha ini bisa melakukan ekspor 30 kilogram kacang mete mentah ke Jepang tiap pekan. Itu belum termasuk pesanan dari pihak ketiga. Seperti hotel hingga villa. Biasanya untuk hotel dan villa, BUMDes bisa menyuplai 5 kilogram kacang mete olahan tiap pekan.
Namun karena pandemi, pemasaran produk ini juga terbatas. Kini ekspor kacang mete mentah hanya sebanyak 10 kilogram per pekan. Sedangkan kacang mete olahan tak lebih dari 1 kilogram per pekan.
Dewa Willy pun menyebut BUMDes turut terdampak pandemi. “BUMDes juga terdampak sebenarnya. Ini sebenarnya unit usaha yang paling menguntungkan. Karyawan juga terpaksa kami berikan tugas lain. Misalnya di bidang pertanian. Tapi tetap kami gaji lewat dana BUMDes,” ujar Wily.
“Rural Experience”
Pada awal tahun 2020, Pemerintah Desa Tembok dan BUMDes Giri Artha kembali melakukan manuver. Mereka mengembangkan unit usaha baru. Yakni unit usaha di bidang pariwisata. Unit usaha ini dimulai pada pertengahan Januari 2020 lalu.
Kepala desa Dewa Komang Yudi menyebut, unit usaha ini merupakan unit dibentuk dengan biaya paling murah. Dana yang dikeluarkan hanya Rp850 ribu. Sebanyak Rp350 ribu digunakan untuk mencetak brosur. Namun brosur itu tak pernah dibagikan karena keburu pandemi. Sementara Rp500 ribu sisanya digunakan untuk membeli tikar, keranjang, dan cangkir untuk kopi. Meski dengan biaya murah, unit usaha ini mampu menarik tak kurang dari 100 wisatawan.
“Bahkan persiapannya sangat singkat. Hanya butuh waktu tiga hari dari pemetaan sampai pembuatan simulasi paket. Selanjutnya kami uji coba, langsung kami pasarkan, dan berjalan,” cerita Yudi.
Program yang awal dikenalkan ialah “Tembok Rural Experience”. Paket ini dijual seharga Rp325 ribu per orang. Lewat paket perjalanan ini, wisatawan diajak menelusuri Desa Tembok lewat 4 jam perjalanan. Mereka diajak melihat matahari terbit di Bukit Munduk Jaran.
Selanjutnya wisatawan diajak menuju rumah Bape Cablang. Dia adalah penduduk desa yang biasa membuat atap berbahan dasar ilalang. Bila beruntung, dalam perjalanan dari Bukit Munduk Jaran menuju rumah Bape Cablang, wisatawan juga dapat menyaksikan warga yang memungut kayu bakar dengan latar belakang matahari terbit yang eksotik.
Saat di rumah Bape Cablang, wisatawan akan diajak membuat atap berbahan dasar rumput ilalang. Mereka juga diajak menikmati kopi dan kue basah yang diproduksi warga setempat. Usai sarapan, mereka kemudian diajak ke rumah Dadong Ranggi. Ranggi merupakan warga yang biasa memproduksi anyaman berbahan dasar daun lontar.
Setelah dari rumah Dadong Ranggi, perjalanan berlanjut ke kebun mete. Wisatawan juga diajak menyaksikan proses pengolahan kacang mete, hingga menjadi panganan yang dipasarkan oleh BUMDes Giri Artha melalui unit usaha Tembok Rumah Pangan.
Yudi menyebut sudah ada 100 wisatawan yang mengikuti paket perjalanan itu. Saat awal paket dijual, Yudi yang sempat mengenyam pendidikan di Politeknik Pariwisata Bali, langsung turun tangan menjadi pemandu wisata. Setelah 3 kali perjalanan, tugas pemandu wisata didelegasikan pada staf yang memang dipekerjakan oleh BUMDes.
Respon terhadap penjualan paket itu pun sangat positif. Hasil kerajinan dari para artisan yang didatangi saat kunjungan, kerap dibeli wisatawan. BUMDes juga memberikan fee sebesar Rp15 ribu pada artisan, untuk satu orang wisatawan yang berkunjung. Bahkan hasil olahan mete yang dijual lewat unit Tembok Rumah Pangan, diborong wisatawan.
Paket yang paling fenomenal adalah paket hari raya Galungan. Paket itu baru dirancang pada tengah Februari 2020 dan dijual keesokan harinya. Paket itu terbilang sederhana. Wisatawan memiliki kesempatan mengobrol dengan Kepala Desa Dewa Komang Yudi selama 1,5 jam, dan melihat aktivitasnya saat melakukan persembahyangan hari raya Galungan di Pura Desa Adat Tembok dan Pura Dalem Desa Adat Tembok. Total durasi yang dijual hanya 3 jam. Untuk paket itu wisatawan dikenakan tarif Rp400 ribu. Ternyata ada 2 orang wisatawan mancanegara yang membeli paket itu.
“Mereka malah bilang murah dan ngasih tip lagi Rp600 ribu ke pemandu. Mereka juga repeat order untuk paket lain. Bagi kami, ini pariwisata yang berpihak pada masyarakat. Masyarakat tetap beraktifitas seperti biasa, ketika ada wisatawan datang, itu bonus bagi mereka. Tapi karena pandemi, terpaksa break dulu unit usaha ini,” Yudi menuturkan.
Merujuk data di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Buleleng, hingga akhir 2019 BUMDes Giri Artha telah membukukan omzet sebanyak Rp523 juta dengan laba Rp101 juta. BUMDes juga memberikan kontribusi sebesar Rp25,5 juta pada Pendapatan Asli Desa serta kontribusi bantuan sosial sebanyak Rp6 juta.
Pertanian
Pandemi memaksa desa dan BUMDes menjadi kreatif. Kini mereka tengah merintis unit usaha pertanian. Pada awal pandemi, pemerintah desa melakukan program pemberdayaan masyarakat di bidang pertanian dengan mekanisme padat karya tunai. Hingga kini program pertanian telah menyerap 13 orang warga. Mereka dibayar dengan upah variatif. Antara Rp900 ribu hingga Rp1,2 juta per bulan.
Tahap awal pemerintah desa mengembangkan lahan pertanian seluas 12,5 are yang terletak sekitar 50 meter arah selatan Kantor Kepala Desa Tembok. Lahan itu dulunya adalah tanah tandus yang digunakan untuk menanam kelapa dan mangga. Lahan disulap sedemikian rupa untuk tanaman sayur mayur dengan mekanisme tumpang sari.
Saat kami berkunjung pada Senin, akhir Agustus lalu, terlihat seorang warga yang sedang sibuk menyiram tanaman sayur mayur. Tanaman seperti terong, kangkung, pare, pepaya, dan cabai, tumbuh dengan subur. Selain itu ada 4 orang lain yang sedang sibuk menggali lubang untuk ditanami pisang lokal.
Salah seorang warga yang terlibat dalam proyek pertanian itu adalah Dewa Tomi Wahyudi. Dia dulunya adalah supervisor di Restoran La Brisa yang terletak di Canggu, Kuta Utara. Pandemi membuat dia kehilangan pekerjaan. Pada Maret lalu, dia menerima surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga ia memilih pulang kampung.
Tomi mengaku pada awal pandemi ia sempat stres karena kehilangan pekerjaan. Dia berusaha berjuang mendapatkan BLT-DD sebesar Rp 600 ribu per bulan, agar keluarganya bisa menyambung hidup. Namun dirinya gagal masuk dalam daftar penerima bantuan. Dari 111 keluarga penerima BLT-DD, seluruhnya merupakan lansia dan penyandang disabilitas.
“Kalau mau dapat BLT harus lumpuh dulu atau jadi lansia dulu. Karena ada peluang program bertani ini, ya saya coba daftar. Lumayan dapat upah Rp 900 ribu sebulan. Daripada nol, tidak ada penghasilan,” ujar Tomi.
Sebenarnya upah dari menggarap lahan pertanian itu sangat jauh bila dibandingkan dengan gaji kala ia menjadi supervisor restoran. Saat itu ia bisa mengantongi pendapatan hingga Rp9 juta per bulan. Tapi, pandemi mengubah segalanya. Kini ia rela bekerja apa saja, agar keluarganya bisa makan.
Cerita yang mirip juga disampaikan oleh Dewa Ketut Artha. Pria yang berusia 42 tahun ini, sudah 20 tahun malang melintang di dunia pariwisata. Ia sempat merasakan perlambatan ekonomi saat Bom Bali I pada tahun 2002 lalu, maupun saat Bom Bali II pada tahun 2005.
Lelaki yang sehari-harinya bekerja sebagai sopir freelance itu menyebut, kondisi pandemi covid jauh lebih parah ketimbang Bom Bali. “Kalau dulu domestik dan mancanegara yang nggak peduli isu bom itu masih masuk. Tapi kalau sekarang, sama sekali nggak ada. Kalau sekarang ini, pariwisata nafasnya bukan hanya di leher saja, tapi sudah nggak ada nafasnya,” kata Artha.
Dulunya saat pariwisata masih jadi primadona, ia dengan mudah mengumpulkan uang Rp5 juta sebulan. Namun kini, ia harus bertahan hidup dengan pendapatan yang pas-pasan.
“Paling tidak beras saya aman. Sayur tidak beli, bisa minta di kebun. Sementara saya merasa aman kerja di kebun, karena makan sudah pasti ada. Kalau balik ke pariwisata, mungkin belum. Kalau menurut saya, kemungkinan sih awal 2022 baru mulai gerak pariwisata ini,” ujar Artha.
Kelumpuhan ekonomi di sektor pariwisata itu disadari Kepala Desa Dewa Komang Yudi. Kepala desa yang lahir pada 27 Juli 1986 silam itu, memilih melakukan program pemberdayaan masyarakat yang seminimal mungkin terkait dengan sektor pariwisata. Sehingga keberlangsungan program bisa berkesinambungan.
Program pertanian menjadi pilihan utama. Karena ia yakin pada masa pandemi ini masyarakat akan mengesampingkan segala hal. Kecuali masalah perut. “Kalau dia tidak bisa bayar listrik, bisa gelap-gelapan dulu. Tidak punya air, cari ke sungai. Tidak punya uang untuk sekolah, istirahat dulu barang setahun. Tapi kalau sudah urusan perut, ini kan tidak bisa ditunda. Makanya sekarang saya kembangkan pertanian. Paling tidak urusan perut kan selesai. Saya pernah coba, makan sayur-sayuran ini direbus, tambah labu siam sedikit, itu sudah mengenyangkan kok,” kata Yudi.
Pengembangan program pertanian itu pun berbuah manis. Hingga akhir Agustus 2020, pihak desa telah mengembangkan 6 bidang lahan pertanian dengan luas keseluruhan 2,5 hektare. Dari 6 bidang tanah itu, satu bidang dikhususkan untuk program pembibitan.
Program pembibitan itu mendapat dukungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kementerian menyuntikkan dana sebanyak Rp100 juta yang disalurkan lewat BUMDes Giri Artha Desa Tembok. Sebagai gantinya BUMDes harus menyediakan 40 ribu batang bibit tanaman, terdiri dari tanaman juwet, trembesi, indigofera, kelor, akasia, asem, secang, mete, apel futsa, nangkadak, kesambi, dan mangga.
Program pembibitan ini juga mendapat pendampingan berkala dari penyuluh kehutanan Neneng Anengsih. Hampir tiap hari Neneng mendampingi dan mengawasi proses pembibitan tanaman di kebun itu. “Kalau nanti ini tumbuh, bibitnya akan kembali ke desa. Bisa ditanam di hutan desa. Apalagi Desa Tembok kan dapat izin Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD),” ujar Neneng yang juga penerima Piala Kalpataru kategori Pengabdi Lingkungan pada 2016 silam.
Bukan hanya di bidang sayur mayur dan pembibitan tanaman keras. Desa juga tengah berkutat pada budidaya tanaman mangga. Pohon mangga yang dulunya diserahkan tengkulak, kini diambil alih oleh BUMDes. Badan usaha itu pun menyiapkan aneka rupa stimulan untuk menarik warga agar mau menyerahkan pengelolaan pohon mangga mereka pada BUMDes.
Program stimulan yang dirancang yakni menggandakan sewa pohon. Biasanya sebatang pohon mangga dikontrak seharga Rp85 ribu hingga Rp100 ribu per musim tanam oleh tengkulak. BUMDes siap menyewa dengan harga dua kali lipat yang dibayar tengkulak. Pemilik lahan juga berhak atas voucher sembako senilai Rp50 ribu per pohon yang dapat ditukarkan di BUMDes.
Belum berhenti di sana. Pemilik pohon dapat mengikuti program padat karya tunai bidang pertanian. Mereka bisa bekerja sebagai juru rawat pohon dengan upah Rp85 ribu per hari. Bahkan BUMDes menjanjikan bagi hasil sebesar 10 persen dari laba bersih.
Hingga akhir Agustus 2020, total ada 928 batang pohon mangga yang sudah diambil alih pengelolaannya oleh BUMDes. Selanjutnya BUMDes merawat pohon dengan asistensi Petani Muda Keren, organisasi nirlaba di bidang pertanian. Hasil panennya siap diserap oleh PT. Bali Organik Subak yang bergerak di sektor ekspor-impor produk pertanian.
Direktur BUMDes Dewa Wily mengatakan, seluruh pohon itu dirawat dengan pupuk dan pestisida organik. Hasil itu ternyata berbuah manis. Buah mangga, misalnya, akhirnya punya berat massa yang lebih besar. Biasanya mangga yang dirawat menggunakan bahan kimia hanya memiliki berat maksimal 200 gram per biji. Namun dengan organik bisa memiliki berat 300-400 gram per biji.
“Ini salah satu program revitalisasi pohon mangga yang dirancang desa, bekerjasama dengan komunitas Petani Muda Keren. Karena spiritnya menjaga mangga biar tetap ada. Kami tidak mau kepunahan jeruk karena penyakit CVPD terulang kembali pada mangga,” kata Wily.
Selain mengelola ratusan batang pohon mangga, BUMDes juga melakukan regenerasi pada 1.800 pohon mangga yang meranggas mati karena terlalu banyak menggunakan bahan kimia. Selain diberikan bibit pohon, petani juga diberikan 2 kilogram pupuk guano sebagai stimulan dalam proses pemeliharaan.
Hasil pertanian mangga itu menunjukkan tren positif. Pada Agustus 2020, dilakukan panen perdana dengan pengelolaan organik. Saat itu ada 300 kilogram mangga yang diserap PT. Bali Organik Subak. Mangga itu dibeli dengan harga Rp 15 ribu per kilogram. Mangga yang diserap merupakan produk yang dianggap layak untuk pasar ekspor.
“Masih ada sisa yang tidak masuk grade pasar ekspor. Rencananya ini kami jadikan produk olahan. Bisa jadi frozen fruit, selai, jus, dried mango, hingga asinan. Ini sedang kami persiapkan alat-alatnya,” ujar Wily menambahkan.
Wily menyebut potensi petani Desa Tembok bergerak di bidang pertanian mangga sangat menjanjikan. Bali Organik Subak membutuhkan suplai sebanyak 100 ton per pekan untuk diekspor ke Rusia. Itu belum termasuk permintaan dari negara-negara lain.
Sementara itu CEO PT. Bali Organik Subak (BOS) Anak Agung Gede Agung Wedhatama awal September lalu mengatakan, perusahaannya telah menyerap buah mangga petani pada musim panen tahun ini. Awalnya pihak desa bersama Komunitas Petani Muda Keren, berkomitmen melakukan program revitalisasi pohon mangga. Program itu disebut Nabung Tani. PT. BOS pun turut berpartisipasi dengan menyerap hasil panen.
Setelah melalui proses pendampingan selama setahun, hasilnya pun cukup bagus. Tanaman yang dirawat dengan pola organik, menunjukkan hasil lebih besar. Dampaknya positif, pohon mangga di Desa Tembok bisa terselamatkan. Sebelumnya cukup banyak pohon mangga meranggas mati. Rencananya, kata Wedha, produk itu awalnya mau diekspor. Apalagi permintaan terus datang dari Ceko dan Rusia.
“Tapi karena pandemi, belum bisa ekspor. Penerbangan masih ditutup. Paling kami kirim ke Jakarta. Bagi kami saat ini, bagaimana biar mangga di sana tidak punah, dan bagaimana pertanian itu bisa jadi aktivitas utama di desa,” ujar Wedha.