Melawan Bersama Kelor
Desa Cikadut, Kabupaten Bandung hidup di tengah ancaman gizi buruk, kemiskinan dan erosi. Melalui tanaman kelor, warga berjuang mengubah nasibnya.
![Melawan Bersama Kelor](https://assets.kanaldesa.com/2022-06/original_350/12ba66945841d0cd49c47b2c2d36ca1d94442408.jpg)
Hela napas Desa Cikadut, Kec. Cimenyan selalu diselingi ancaman erosi. Di samping itu, kesehatan seakan menjadi nomor dua. Keduanya dihadapi oleh masyarakat akar-rumput yang tersisihkan. Dengan penanaman kelor, masyarakat berupaya melampaui tiga pulau dalam sekali dayung.
Sebelum menjadi petani kelor, Yayan Hadian (26) sempat hidup di jalanan. Lulusan SMK otomotif itu sempat menggantungkan hidupnya pada kuda besi. Kemampuannya merakit sepeda motor menjadi modal hidup selama dua tahun lebih. Ia bongkar motor-motor 2 tak, dan menyulapnya menjadi tak terkalahkan.
Motor-motor dua tak rakitan Jajang siap beradu dengan siapa saja. Begitu juga dengan insting balapan Jajang, membuatnya ditakuti di jalur mana pun di Kota Bandung. Jajang sempat menjadi legenda dalam dunia balapan. Namun kini Yayan Hadian juga menjajal jalanan di desa. Bukan untuk balapan, tapi mengangkut hasil bumi Desa Cikadut.
Desa Asri Di Tengah Ancaman Erosi
Udara sejuk selalu menyelimuti Desa Cikadut, Kabupaten Bandung meski hanya berjarak 9 km dari Kota Bandung, Namun begitu, desa ini seakan terlepas dari ingar bingar kota Bandung yang terkenal dengan ragam wisata dan kulinernya.
Seperti kebanyakan desa di Indonesia, desa seluas 295 hektar itu, masyarakatnya mengandalkan sektor pertanian untuk bertahan hidup. Mereka menanam sayuran dan buah-buahan. Semuanya diangkut ke pasar tiap pagi, tak perlu menunggu lama, cuan pun datang.
Meski memiliki tanah yang subur, potensi Desa Cikadut tak hanya berasal dari sektor pertanian saja. Keberadaan Curug Cisanggarung bisa menjadi potensi lain, dengan menjadi tujuan wisata bagi turis lokal maupun nasional. Akan tetapi, di balik semua potensi itu, Desa Cikadut dibayang-bayangi ancaman bencana alam, erosi.
Berita-berita tentang banjir di kawasan Bandung Timur tak pernah absen menyeret nama Cikadut. Saat musim hujan, lelehan lumpur dari Cikadut dan daerah lain di Kecamatan Cimenyan terus meluncur menuju Bandung Timur.
Masalah erosi ini menjadi kompleks, karena erosi di Desa Cikadut berpangkal pada lahan monokultur. Semua lahan di Desa Cikadut ditanami sayuran sejenis. Sayuran, yang mayoritas berupa tumbuhan pendek, tak mampu menahan arus air saat musim penghujan.
“Pola pertaniannya kan salah arah. Banyak menanamnya modelnya monokultur. Semuanya sayuran terus, pohon-pohon ditebangi terus. Orang-orang kota yang datang ke sini memanfaatkan lahan itu untuk bangunan, tidak diimbangi dengan penanaman pohon,” ungkap Faiz Manshur, ketua Yayasan Odesa Indonesia.
Upaya mungkin akan dilakukan jika perhatian pemerintah terfokus pada pangkal masalah erosi di Desa Cikadut. Jarak yang sangat dekat dengan jantung Kota Bandung mestinya berikan akses mudah kepada pemerintah untuk memerhatikan Desa Cikadut. Kenyataan berbicara lain. Lahan monokultur tetap dipertahankan.
“Lahannya banyak yang kosong, kalau ditanami sayuran terus kan jadi problem. Pohon besar semua juga jadi problem, kan ekonominya jadi lambat. Intinya tanaman itu harus banyak macamnya, jadi semuanya seimbang,” kata Faiz.
Jika petani gagal panen sayuran, pemerintah memberikan bibit sayuran lain tanpa pertimbangan dari para petani di sana. Petani menanam seadanya dan secara tidak langsung melanggengkan erosi yang sedang menjadi. Sesungguhnya para petani telah sadar akan model lahan polikultur yang memadukan tanaman pendek dan tanaman tinggi. Tetapi suara itu seakan tak ada, karena mayoritas petani tidak mengenyam pendidikan hingga tinggi.
![Warga juga menjual bibit kelor untuk menambah penghasilan keluarga selain dari hasil kebun mereka.](https://assets.kanaldesa.com/2022-06/original_350/1280x853_91fed9fc0ec0a8f7688e1670216b67e72f5636e0.jpg)
Pendidikan Adalah Barang Mewah
Kecamatan Cimenyan tidak kekurangan sekolah. Tercatat pada tahun 2018, di Kecamatan Cimenyan terdapat 60 SD/Sederajat, 18 SMP/Sederajat, dan 4 SMA/Sederajat. Di Desa Cikadut sendiri ada 3 SD, 3 SMP, dan 1 SMK.
Tapi kontur jalan berliku di Kecamatan Cimenyan, khususnya Desa Cikadut menjadi problem. Tak ada angkutan umum yang mampu menelusuri Cimenyan hingga lubuk terjauh. Itu artinya para pelajar mesti menggunakan kendaraan pribadi untuk pergi ke sekolah.
Yang tidak memiliki kendaraan pribadi sudah mesti berjalan kaki. Namun berangkat sekolah beralaskan sepatu bukan perkara mudah. Tak ada sekolah dengan jarak tempuh ideal bagi para siswa. Rata-rata jarak rumah ke sekolah berjarak 4 kilometer, jarak yang tak dekat untuk ditempuh tiap hari.
“Untuk menyekolahkan SMP saja orang tua itu harus beliin motor. Padahal kan kita tahu sangat beresiko kalau anak masih SMP megang motor. SMA saja kan diutamakan pakai angkutan publik,” ungkap Faiz, “kalau soal kemungkinan mau sekolah ya mau. Tapi kalau tingkat kesulitannya tinggi kan repot. Mau sekolah di luar juga berat kan,” lanjutnya.
Namun masih ada cara lain untuk pergi ke sekolah, yakni berlangganan ojek. Tetapi ongkos yang diperlukan untuk berlangganan ojek bukan hal yang mampu dijangkau buruh tani. Karena itu, sekolah menjadi sarana mewah bagi masyarakat Desa Cikadut.
“Jadi Desa Cikadut ini merupakan contoh ketertinggalan desa yang paling jauh. Masyarakatnya putus sekolah, pendapatannya rendah, dan ada ancaman bencana alam,” kata Faiz.
Untuk memperbaiki pendidikan di Desa Cikadut, Yayasan Odesa Indonesia menggelar Sekolah Samin (Sabtu Minggu) ke kampung-kampung yang kesulitan akses tersebut. Beberapa relawan dari berbagai kalangan menyempatkan hadir untuk mengajarkan baca-menulis-berhitung. Perlahan, buta huruf di Desa Cikadut mulai menurun.
![Kelor mengandung berbagai vitamin yang membantu kesehatan masyarakat Desa Cikadut dalam mengatasi gizi buruk.](https://assets.kanaldesa.com/2022-06/original_350/1280x853_53d3088fc9ba5acf98e21b2f8c3b928c1a31fe97.jpg)
Kelor, Kunci Pas Tiga Permasalahan Kendor
Permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan di atas terbaca oleh Yayasan Odesa Indonesia (selanjutnya disebut Odesa). Di tengah ancaman erosi, masyarakat minim pendidikan, serta ekonomi yang rendah, Odesa berupaya memantik kesadaran di tengah masyarakat.
“Beberapa masalah, keterbelakangan pendidikan, kerusakan lingkungan, degradasi ekonomi rumah tangga, yang efeknya juga ke masalah pengembangan SDM masyarakat di sini,” kata Faiz.
Odesa menggagas penanaman kelor sebagai solusi mustajab bagi tiga permasalahan utama yang ditemukan di Desa Cikadut. Tanaman bernama latin Moringa oleifera itu memiliki sumber gizi yang mampu mencukupi kebutuhan gizi harian masyarakat, mencegah erosi, sekaligus menambah pendapatan keluarga.
Odesa mengomunikasikan gagasan-gagasan tersebut melalui Yayan. Pemuda yang bergabung dengan Odesa tiga tahun lalu itu termasuk dalam daftar pendek masyarakat yang menyelesaikan sekolah menengah. Ia sadar kampungnya tertinggal. Ia pulang kampung dan bergabung dengan Odesa untuk membangun kampungnya.
“Harus ada tanaman yang sifatnya permanen, yang merawatnya itu ala kadarnya, tidak selalu keluar modal seperti sayuran, tetapi nanti pas panen jadi duit,” papar Faiz, “kelor ini tanaman baru, tujuannya utamanya untuk memperbaiki gizi,” lanjutnya.
Kelor pun dipilih karena tanaman yang tahan hama ini menjadi satu komoditas yang bisa tumbuh di mana saja. Baik di perkebunan, di pegunungan, di pinggir jalan, bahkan di pekarangan rumah. Tanaman ini pun memiliki khasiat, sehingga masuk ke dalam tanaman obat.
“Dengan kelor, memenuhi kebutuhan nutrisi. Lingkungan yang rusak juga teratasi. Tambah lagi, target selanjutnya tentu ini nanti untuk menghasilkan nilai ekonomi,” terang Faiz.
Masyarakat Desa Cikadut awalnya menghiraukan tanaman kelor, karena kelor bukan sayuran yang umum dikonsumsi masyarakat. Hal itu pun membuat kelor tidak bisa dijual begitu saja seperti sayuran komoditas lain yang umum dikonsumsi masyarakat. Masyarakat awalnya tidak mau menanam kelor dan hanya berfokus pada sayuran dan buah-buahan.
Odesa pun memberikan bibit sayuran dan buah-buahan yang dimiliki petani. Semua itu dibarengi dengan edukasi tentang kelor. Seluruh kandungan gizi yang terdapat dalam kelor memiliki manfaat yang baik bagi kesehatan, dan dalam beberapa kasus mampu meringankan beberapa gejala penyakit.
“Kalau ada orang sakit, kita kasih kelor. Kelor ini bukan obat, tetapi bahan pangan bergizi yang baik dikonsumsi tiap hari. Sudah banyak yang merasakan manfaatnya. Pas minta lagi daun kelor kita kasih bibitnya, kita suruh tanam di pekarangan,” jelas Faiz.
“Ada juga kasus warga sini yang stroke. Dia kerjanya buruh harian lepas. Ketika terkena stroke dia ga bisa ngapa-ngapain. Sambil berobat, kita kasih daun kelor buat dimakan. Setahun kemudian alhamdulillah dia sudah bisa kerja lagi,” tambah Jajang.
Hasil dari penelitian membuktikan bahwa kelor memiliki vitamin A 4x lipat lebih banyak dari wortel, vitamin B 4x lipat daging sapi, vitamin C 7x lipat jeruk, kalsium 14x lipat susu, kalium 3x lipat pisang, zat besi 3x lipat jamur, asam amino 1,5x lipat telur, dan antioksidan 37x lipat anggur.
Dengan edukasi yang telah diberikan, dan beberapa keajaiban kesembuhan masyarakat, para petani mulai menanam kelor di pekarangan rumahnya. Mindset yang ditanamkan kepada para petani adalah mereka harus mengonsumsi kelor untuk kebutuhan dapur sendiri. Jika kebutuhan dapur sudah terpenuhi, baru kelor bisa dikirimkan ke Yayan untuk didata dan dijual.
“Penanaman kelor dikonsep jadi tani pekarangan. Jadi masyarakat menanam di pekarangan rumah untuk tujuan konsumsi dulu. Di tani pekarangan itu juga diarahkan untuk menggarap pembibitan. Ada pohon kelor yang sengaja tidak dipanen daunnya agar bisa berbuah dan jadi bibit,” ungkap Yayan.
Contohnya di pekarangan milik Asep. Di sana berdiri pohon-pohon kelor berusia 2-5 bulan. Di lahan seluas 5 x 6 meter itu pembibitan kelor ditangani tiap hari. Asep mulai membibitkan kelor sejak tahun 2020. Ia yang merupakan buruh harian lepas tak mampu bertahan saat pandemi mengeringkan kantong secara perlahan.
“Awalnya tanah ini saya dapat dari orang tua, dari warisan. Ya tanah ini tanah kosong saja, tidak termanfaatkan. Saya awalnya kerja jadi buruh harian lepas. Tapi pas tidak ada proyek ya langsung jadi pengangguran,” papar Asep.
Di lahan milik Asep, pembibitan kelor merupakan wujud pemanfaatan lahan tak terpakai menjadi lahan produktif. Meski hanya menjadi pekerjaan sampingan, pembibitan kelor di pekarangan turut menambah penghasilan untuk keluarga.
“Pas usia kelor 6 bulan, kelor siap ditanam di media tanah. Odesa biasanya mengambil bibit usia 6 bulan. Alhamdulillah jadi ada pemasukan tambahan,” papar Asep.
“Kalau ada yang beli bibit, hasil penjualannya langsung ke petani. Tapi tetap kita catat semua barang yang keluar masuknya, jadi semua perkembangan tentang kelor terus tercatat,” jelas Jajang, “alhamdulillah, kebutuhan bibit kelor dan teh kelor terus ada. Yang beli online ada, yang datang langsung ke sini ada,” terusnya.
Tak hanya di pekarangan, kelor pun ditanam di kawasan perkebunan, tak jauh dari kantor Odesa. Di lahan tersebut ditanami juga sayuran dan pohon kopi robusta. Bedanya, kelor yang tumbuh di kebun ini terus dipanen daunnya untuk dikeringkan dan dijadikan teh kelor.
“Biasanya kalau tanah pekarangan terkena air, suka urug, tapi sekarang, setelah ditanam kelor dan tumbuhan lain, udah berkurang. Menanam kelor di pekarangan juga bisa mendapat penghasilan buat para warga, contohnya Mang Asep tadi,” pungkas jajang.
Di Desa Cikadut, kelor ibaratnya menjadi peluru untuk melawan berbagai permasalahan. Mulai dari gizi buruk, ekonomi masyarakat, dan ancaman erosi yang mengancam warga desa dan Kota Bandung.