Manis Gula Semut Purbalingga Mendunia
Kunci keberhasilan Desa Bumisari, Purbalingga dalam menghasilkan gula merah kualitas ekspor.
Ahmad Sujianto dan Karsih, pasangan suami istri dari Desa Bumisari Kabupaten Purbalingga selalu berbagi tugas untuk mencari nafkah. Saat matahari masih merangkak, Sujianto sudah pergi menuju kebun kelapa, sembari menenteng pongkor (wadah nira). Satu persatu, ia panjat puluhan pohon kelapa yang menjulang ke langit.
Di pucuk pohon kelapa itu, Sujianto mengais nira. Angin besar boleh saja menggoyahkan pohon itu. Tapi tubuhnya harus tetap kokoh mencengkeram. Hujan petir lebih mengancam. Saat menaiki pohon, ia kerap dilanda dituasi mencekam . Sedikit saja lengah, nyawanya jadi taruhan. Meski rasa takut ada, Sujianto tetap naik menyadap nira.
“Takutnya pas ada kilat. Meski hujan tetap dipanjat karena nira harus diambil tiap hari,”katanya
Di rumah, istrinya, Karsih sudah menunggu hasil sadapan. Ia menyiapkan tungku dan membakar kayu. Sampai di rumah, Sujianto meletakkan pongkor berisi nira di lantai dapur. Ia menyerahkan pekerjaan selanjutnya ke istrinya. Karsih lebih dulu membersihkan nira sebelum menuangkannya ke wajan panas.
Memasak gula adalah pekerjaan yang ramah bagi ibu rumah tangga sepertinya. Sembari memproduksi gula, ia bisa mengerjakan urusan rumah tangga lainnya. Pasangan itu sudah lama memproduksi gula kelapa cetak (padat). Hanya beberapa tahun belakangan, mereka beralih membuat gula kelapa serbuk atau gula semut.
Proses membuat gula semut diakui Karsih lebih repot. Nira yang sudah masak harus digilas kemudian diayak. Tapi bagi Karsih tak masalah. Asal cuan lebih banyak.
“Dulu saya jual gula cetak Rp 13 ribu perkilogram. Terus ganti buat gula semut dihargai Rp 17 ribu perkilogram, lebih mahal,”katanya
Sejak bermitra dengan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Central Agro Lestari Desa Bumisari, pasangan penderes itu merasa lebih beruntung. Gula kelapa mereka dihargai lebih mahal dari sebelumnya. Tapi itu ada konsekuensinya. Mereka harus mengubah cara memroduksi gula yang sudah puluhan tahun membudaya.
Umumnya, ruang dapur warga desa tak begitu diperhatikan. Bagian yang dipoles biasanya ruang depan karena lebih dipandang orang. Namun pemandangan beda terlihat di dapur rumah Karsih.
Dapur dan peralatan memasaknya cukup mewah untuk ukuran keluarga di pedesaan. Tidak terlihat ada perabot yang berantakan. Meski masih memakai tungku manual, asap sisa pembakaran kayu tidak mengendap di dalam. Asap (kukus) itu langsung terbuang ke udara melalui cerobong yang dipasang keluar.
“Sekarang lebih bersih, karena asapnya langsung keluar,”katanya
Karsih harus menyulap dapurnya menjadi demikian. Ia harus memastikan produk gula sesuai kebutuhan pelanggan. Karena segmen pasarnya sekarang beda. Bukan lagi konsumen lokal, melainkan masyarakat internasional yang sangat memerhatikan higienitas dan mutu produk. Agar produknya diterima pasar, keluarga penderes itu harus bisa menyesuaikan.
Hasil dari usaha itu tiap hari berbeda. Tergantung ketersediaan bahan bakunya. Kuantitas dan kualitas nira di pohon sangat bergantung dengan kondisi cuaca. Dari 24 pohon kelapa yang dideres, rata-rata ia bisa memproduksi gula sekitar 7 kilogram tiap harinya.
“Pohon kelapanya sebagian besar menyewa. Satu pohon, saya harus setor 1 ons gula ke pemiliknya,”katanya
Edukasi ke Penderes
Menurut Pengurus KUB Central Agro Lestari Pujo Prayitno, untuk menembus pasar ekspor, penderes harus mengubah kebiasaannya dalam memproduksi gula. Pihaknya memiliki tim khusus untuk mengontrol dan memastikan produk gula dari penderes sesuai standar.
Bukan hanya proses produksi gula di dapur yang diperhatikan. Bahkan, lahan tempat pohon kelapa tumbuh pun tak luput dari perhatian. Agar nira yang dihasilkan organik atau tidak terkontaminasi zat berbahaya, lahan atau tanaman tidak boleh disemprot menggunakan bahan kimia.
“Harus punya zona pembatas, antara lahan yang organik dengan yang tidak,”katanya
Ia mengaku tidak mudah mengubah kebiasaan penderes memproduksi gula yang telah mengakar puluhan tahun. Iming-iming harga lebih tinggi untuk pembelian gula semut saja tidak cukup. Pihaknya pun tak ingin, motivasi penderes mengubah kebiasaannya semata karena profit.
Karena itu, selain menawarkan pembelian gula standar ekspor dengan harga lebih tinggi, pihaknya sekaligus mengedukasi penderes akan manfaat lain ketika mereka mau mengubah kebiasaannya.
Pihaknya meyakinkan, kondisi dapur yang tak layak serta produksi gula yang tak higienis bisa ikut mengganggu kesehatan mereka. Misalnya, asap sisa pembakaran saat memasak bisa mencemari ruang dapur.
“Asap bukan hanya berpengaruh ke produk, tapi juga kesehatan mereka. Ada tim khusus dari kami (ICS) yang rutin mengontrol mutu ke penderes,”katanya
KUB bukan hanya mendorong penderes mengubah kebiasaannya tanpa solusi. Kelompok itu juga memberikan bantuan perbaikan peralatan dapur untuk meningkatkan mutu produk mereka.
Di antaranya, bantuan pongkor (wadah nira) baru kepada penderes yang lebih higienis. KUB juga berkomitmen memberikan tali asih kepada penderes yang jatuh sakit. Terlebih penderes berisiko mengalami kecelakaan kerja atau jatuh dari pohon kelapa. Bantuan itu berasal dari sebagian keuntungan usaha KUB yang bergantung kepada penderes.
Target Ekspor Mandiri
Kelompok Usaha Bersama (KUB) Central Agro Lestari Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Purbalingga tinggal selangkah menuju pasar ekspor. Upaya memasarkan gula semut organik buatan penderes ke pasar ekspor secara mandiri bakal terwujud tidak lama lagi. Namun pencapaian ini bukan tanpa kerja keras. Tim KUB Central Agro Lestari harus melalui berbagai rintangan untuk sampai pada posisi sekarang.
Upaya menembus pasar ekspor dirintis sejak 2017 silam. Sutomo, satu di antara pendiri KUB Central Agro Lestari, mengisahkan, pembentukan kelompok usaha ini dimulai dengan identifikasi potensi sumber daya alam dan manusia di Desa Bumisari.
"Pada 2017 sampai akhir tahun 2018 kami mengidentifikasi potensi, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia," kata dia saat ditemui di Kantor KUB Central Agro Lestari.
Dari hasil identifikasi, sumber daya yang tersedia sangat potensial untuk dikembangkan. Ada sekitar 500 penderes yang tersebar di berbagai pelosok Desa Bumisari. Pun jumlah pohon kelapa melimpah di desa itu.
Para penderes itu berproduksi rata-rata 7 hingga 10 Kg gula per hari. Namun, selama ini produksi gula masih ala kadarnya. Harga jual pun sekehendak pengepul.
Melihat potensi dan kenyataan ini, ia dan tim menggagas diversifikasi produk dari gula merah cetak yang harganya murah menjadi gula semut organik dengan harga lebih tinggi.
Maka pada 2019, KUB Central Agro Lestari mulai mengajukan standar organik untuk produk gula semut buatan penderes di bawah binaan kelompok. Permohonan ini diajukan ke lembaga sertifikasi.
"Tahun 2019 awal alhamdulilah tersertifikasi standar organik," ujar dia.
Standar organik ini dibutuhkan bukan saja untuk pasar dalam negeri, namun juga standar organik negara tujuan ekspor seperti Amerika, Jepang dan negara-negara Eropa. Setelah mengantongi sertifikat produk organik, KUB mulai percaya diri memasarkan produknya ke pasar global.
Sejak saat itu, KUB mengekspor gula semut organik melalui perantara perusahaan eksportir. Namun semakin kesini, mereka melihat peluang untuk langsung menjual produknya ke pembeli tanpa perantara.
Berbekal pengalaman ekspor itu, mereka bertekad menjadi eksportir. Tantangan pertama yang mereka hadapi ialah mendapatkan kepercayaan pembeli. Sebagai pemain baru, bukan hal mudah mendapat kepercayaan pembeli.
Namun dengan menjaga kualitas produk, serta komitmen bisnis yang saling menguntungkan, pada akhirnya bisa meyakinkan pembeli. Selain itu, rekam jejak positif selama menjajaki pasar ekspor menjadi pertimbangan penting bagi pembeli sebelum memilih produk mereka.
"Tahun 2020 kepercayaan market mulai terbangun," tuturnya.
Pekerjaan rumah pihaknya berikutnya yaitu menyiapkan brand produk gula semut. Perkara ini ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Harus melalui proses panjang untuk mendapat pengakuan, terutama di level internasional.
Di tingkat nasional saja, butuh sekitar empat tahun untuk mendapatkan merek. Sementara untuk merek dagang pasar ekspor, KUB masih berproses hingga hari ini.
Namun Sutomo optimis akhir tahun ini atau awal tahun depan, KUB Central Agro Lestari bisa mulai mengekspor gula semut organik buatan penderes Bumisari. Optimismenya juga tak lepas dari pendampingan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan (Kemenperindag).
Kemenperindag bahkan menetapkan Desa Bumisari sebagai Desa Devisa atas upaya panjang KUB Central Agro Lestari merintis jalan menuju pasar ekspor. Desa Devisa merupakan desa yang memiliki komoditi unggulan untuk diekspor. Di Desa Bumisari, produk unggulan itu tak lain gula semut organik yang dikembangkan lima tahun terakhir.
Peran KUB dalam pemberdayaan dan membentuk ekosistem bisnis di sektor hilir produksi gula semut menarik perhatian pemerintah. Pada Senin (30/5/2022), Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) menandatangani kerja sama dengan Kementerian Perindustrian RI (Kemenperin RI) dalam program Desa Devisa. Program ini bertujuan meningkatkan kapasitas ekspor yang berkelanjutan.
Direktur Eksekutif Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) Rijani Tirtoso mengatakan, LPEI akan memainkan peran sebagai pendamping agar ekspor global komoditas gula semut meningkat. Selain pendampingan, LPEI juga akan memberikan pembiayaan, penjaminan dan asuransi. Dalam hal asuransi, LPEI akan memproteksi bila petani atau eksportir terjadi gagal bayar dari importirnya.
Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi mengaku bangga karena Purbalingga ditunjuk sebagai salah satu lokus Desa Devisa. Ia mengakui peran Kelompok Usaha Bersama Central Agro Lestari di Desa Bumisari dalam pemberdayaan penderes produsen gula semut.
Selain KUB Central Agro Lestari, sebenarnya banyak IKM produsen gula semut di Purbalingga yang sudah menjual hasilnya ke luar negeri, hanya masih melalui perantara eksportir pihak ketiga.
“Ketika IKM mendapatkan pendampingan dari pemerintah diharapkan bisa melakukan ekspor langsung tanpa adanya perantara eksportir pihak ketiga lagi, tentunya ini akan berdampak luar biasa terhadap kesejahteraan para petani,” kata Bupati Tiwi usai menyaksikan Penandatanganan Nota Kesepahaman dan Peresmian Desa Devisa Klaster Gula Semut, di Desa Bumisari.
Tiwi mengungkapkan, produksi Gula Semut atau Gula Kelapa Organik di Purbalingga setidaknya mampu mempekerjakan sekitar 20.000 penderes. Melalui importir, produk gula semut Purbalingga sudah terjual hingga ke Amerika, Eropa dan Jepang.
“Terlebih akhir-akhir ini demand gula semut atau gula kelapa organik di dunia meningkat pesat, hal ini karena masyarakat luar negeri sudah mulai concern dengan healthy lifestyle,” katanya.
Sejak perubahan itu, kehidupan keluarga penderes Ahmad Sujianto dan Karsih lebih sejahtera. Pun dengan penderes lainnya di Desa Bumisari, Kabupaten Purbalingga. Deretan pohon Kelapa menjadi nyata sebagai pohon kehidupan bagi manusia.
(Diliput bersama Rudal Afgani, Jurnalis dari Purbalingga).