Desa

Kerupuk Gurita dari Laut Uwedikan

Desa Uwedikan, Banggai, Sulawesi Tengah menyimpan kekayaan sumber laut yang melimpah. Warga mengolah tangkapan gurita menjadi kerupuk.

Zulkifli Mangkau
Kerupuk Gurita dari Laut Uwedikan
Warga Desa Uwedikan tengah menjemur kerupuk gurita sebagai produk andalah masyarakatnya. Zulkifli Mangkau / kanaldesa

Terik siang itu seketika berubah menjadi kelabu, suara-suara gelagar begitu kencang terdengar seperti parade musik. Ramla (35) yang tertidur pulas langsung bangkit dari tempat tidurnya. Kaget bukan kepalang, langit yang awalnya ia lihat sedari pagi cerah merona hilang seketika. Ia menengok langit bagian timur ada segerombolan awan kumulonimbus yang mulai membentuk formasi, mereka seperti memberi tanda, hujan akan turun secepatnya.

Ramla sontak mengambil beberapa wadah yang tidak terpakai di dapur, lalu memungut kerupuk gurita yang dia jemur beberapa hari terakhir di belakang rumahnya. Maklum saja, proses penjemuran memang membutuhkan paparan sinar matahari secara langsung, agar tingkat kekeringan kerupuk sempurna. Tapi apalah daya, cuaca memang belum bersahabat, Ramla hanya bisa meninggalkan gumam dalam hatinya.

Gurita yang diolah menjadi kerupuk oleh Ramla berasal dari kekayaan laut Desa Uwedikan, Luwuk Timur, Banggai, Sulteng. Desa Uwedikan sendiri dominannya dihuni oleh suku Saluan, tapi selain itu ada juga suku Bajo, Gorontalo, Bugis dan Buton sebagai pelengkap keberagaman masyarakat yang memilih hidup bertahun-tahun di desa sampai dengan sekarang ini dan hidup harmonis.

Hasil laut yang didapatkan pun sangat melimpah; ada teripang, ikan demersal, lobster, gurita dan kepiting. Gurita, salah satu potensi perikanan laut Desa Uwedikan yang sering ditangkap oleh nelayan, utamanya suku bajo, yang juga menjadikannya sebagai mata pencaharian utama. Bahkan dari hasil tangkapan gurita, beberapa nelayan bisa memenuhi kebutuhan keluarga hingga membangun rumah impiannya.

Potensi perikanan gurita Indonesia sangat tinggi, termasuk di Desa Uwediakn, ini yang menyebabkan Indonesia masuk dalam 10 negara pengeskpor gurita terbanyak di dunia dengan negara tujuan ekspor Amerika, China, Korea dan beberapa negara bagian Uni Eropa. Jika melihat data statistik milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2020, jumlah produksi perikanan gurita di Indonesia sebanyak 55.913 ton dengan besaran nilai produksi Rp1,2 triliun.

Dalam data yang dibeberkan KKP tersebut, Sulteng masuk dalam tiga daerah penghasil gurita terbanyak di Indonesia. Produksi Gurita Sulteng berada di tempat kedua sebesar 10.411 ton, melebihi Jawa Timur dengan hasil produksi sebesar 7.838 ton, dan masih tertinggal dari produksi Nusa Tenggara Timur dengan daerah produksi gurita terbanyak pertama dengan besaran produksi 19.102 ton pada tahun 2020. Keberhasilan Sulteng masuk dalam penghasil produksi gurita terbanyak di Indonesia turut disumbang oleh hasil tangkapan nelayan dari Desa Uwedikan.

Umumnya gurita hasil tangkapan nelayan dijual dalam keadaan mentah saja atau dijual langsung kepada pengepul dalam keadaan segar. Hal itu juga terjadi di kalangan nelayan Desa Uwedikan. Sangat jarang ada yang memikirkan menjual gurita dalam bentuk olahan makanan, banyak alasan yang muncul, salah satunya kurangnya pengetahuan masyarakat dalam mengeksplorasi hasil tangkapan. Akan tetapi, beberap bulan terakhir ini kelompok perempuan di Uwedikan mulai menggalakkannya.

Ramla melihat ada peluang dalam hal mengolah gurita menjadi sesuatu yang bernilai dari harga jual mentah pada biasanya. Ide yang muncul itu tidak pikirkan oleh Ramla seorang diri, ia bersama delapan orang ibu-ibu rumah tangga lainnya bersepakat membuat inovasi dari gurita hasil tangkapan suami mereka; yakni membuat kerupuk gurita. Harapannya dapat membantu perekonomian keluarga, yang hanya bertumpuk pada pendapatan suami saat turun melaut.

Upaya membuat kerupuk ini tidak berangkat dengan mudah, ada proses panjang yang melatarbelakangi semangat Ramla dan ibu-ibu yang lain muncul. Semua itu bermula pada masa-masa kesusahan ekonomi yang mereka alami atas dampak dari turunnya harga gurita karena pandemic covid-19 melanda dunia dan Indonesia.

Bukan hanya nelayan yang turut merasakan kesusahan tersebut, para ibu-ibu rumah tangga seperti Ramla merasakan akibatnya dari peristiwa itu. Pendapatan suaminya menurun karena harga jual gurita anjlok, imbasnya dapur tak bisa mengebul, ekonomi rumah tangga tak berdaya. Mereka meyakini, perlu ada upaya lain yang harus mereka lakukan untuk mengatasi krisis ekonomi saat harga gurita yang dijual mentah mengalami penurunan di pasaran. Salah satunya dengan membuat olahan gurita menjadi kerupuk untuk menjaga daya lenting hidup mereka tetap menyala.

Warga mengolah daging gurita menjadi kerupuk sebagai nilai tambah ekonomi.
Warga mengolah daging gurita menjadi kerupuk sebagai nilai tambah ekonomi. Zulkifli Mangkau / Kanaldesa

Dihadang Pandemi

Jauh sebelum kabar coronavirus dissae 2019 menyebar ke seluruh dunia, pada saat itulah masa-masa kejayaan nelayan gurita. Harga yang bagus dan daya beli yang tinggi adalah sebuah keuntungan yang mereka dapatkan. Para nelayan turun hampir setiap harinya mencari gurita, di Uwedikan sendiri, nelayan gurita bukan hanya laki-laki saja, tapi juga perempuan, mereka saling berlomba meraup untung dari sumber daya alam laut desa yang melimpah. Tapi begitulah hidup, tidak selalu lurus dan mulus, semua berubah dan pasti ada lika-likunya apalagi saat pandemic menghadang.

Sejak seluruh negara dikagetkan dengan hadirnya Covid-19 yang melanda negeri tirai bambu pada akhir tahun 2019 silam. Dampaknya menyebar hingga ke berbagai negara tak terkecuali di Indonesia. Tak ada yang bisa memprediksi munculnya virus tersebut membuat perekonomian di dunia melemah, semua negara kena imbasnya.

Harga jual beli barang saat itu turun drastis termasuk hasil perikanan semacam gurita yang selalu dieskpor ke luar negeri ikut kena dampaknya. Harga gurita merosot tajam, membuat nelayan merana. Turunnya harga gurita merupakan awal mulanya nelayan perikanan skala kecil yang sehari-hari menangkap gurita ikut terpuruk. Gurita hasil tangkapan mereka diobral dengan harga yang sangat murah.

Rustam Ayub (50) pengepul gurita di desa Uwedikan mengaku, saat pandemic melanda harga gurita turun drastis. Ia tak mampu membeli gurita nelayan dengan harga yang bagus. Jika sebelum pandemic harga gurita berkisar Rp45-50 ribu per kilogram, setelah pandemic melanda turun hingga Rp10 ribu saja.

“Gurita memang turun saat pandemic. Bukan cuman nelayan yang merasakan dampaknya, saya juga ikut merasakan,” ungkap Rustam kepada Kanaldesa.

Ia bahkan harus menyetop pembelian gurita karena tak mendapatkan keuntungan, karena harga yang tidak bagus di pasaran. Alhasil, banyak nelayan yang kecewa dengan harga yang turun dan sudah tak menjual guritanya lagi.

“Banyak nelayan yang kaget dengan harga turun tersebut, saya juga kaget, tiba-tiba turun karena pandemic. Nelayan yang rutin menjual sudah tak menjual guritanya lagi kepada saya, dan memilih gurita yang mereka tangkap untuk dikonsumsi saja,” tuturnya.

Rustam dan para nelayan saat ditemui kanaldesa mengaku, kejayaan harga gurita terjadi pada tahun 2018. Harga yang bagus saat itu seperti penerang masa depan perikanan gurita yang tidak mendapat perhatian oleh pemerintah. Salah satu yang merasakan dampaknya adalah Irham Summang . Ia bahkan dapat membangun kediamannya dari hasil penjualan gurita, dan Rustam salah satu pengepul yang setia membeli hasil tangkapan para nelayan Uwedikan termasuk Jon, sapaan akrab dari Irham.

Jon mulai menceritakan hasil yang didapatkan dari empat tahun silam saat harga gurita begitu bersahabat dengan nelayan . Ia bahkan tak tahu harus menggambarkan kesenangannya kala itu.

Kata Jon, harga gurita di tahun 2018 tersebut sangat membantu dirinya memenuhi kebutuhan keluarga. Apalagi dengan posisinya sudah berkeluarga dan punya tanggungan dua orang anak. Gurita menjadi penolong baginya. Saat mulai menangkap gurita, sejak saat itulah ia menyandarkan pendapatannya dari hasil tangkapan dan menjadi bagian penting dalam kehidupannya sehari-hari.

“Tahun 2018 itu harga gurita sangat saya rasakan, saya bisa membangun rumah sendiri yang semuanya dari hasil penjualan gurita,” ucap Jon.

Ia bahkan harus rela meninggalkan kampung asalnya demi menikmati potensi perikanan di Desa Uwedikan yang sangat menjajikan. Gurita yang dulunya tidak pernah dilirik kini menjadi primadona bahkan dijadikan sebagai sumber penghasilan untuk menghidupi keluarga. Akan tetapi, semua itu berhenti sejak pandemic datang. Wajah sumringah Jon dan nelayan lainnya mulai mengkerut akibat harga turun drastis. Pandemic membuat nelayan tak bisa berbuat apa-apa, ia dianggap sebagai penghalang rejeki. Hanya ada dua pilihan, menjual gurita dengan harga rendah atau mengonsumsinya sebagai sebagai lauk di rumah.

Gurita memang punya nutrisi yang baik jika dikonsumsi, tapi jika harga bagus nelayan lebih memilih menjual gurita daripada dimakan. Tapi saat harga turun, tak ada pilihan selain dijadikan pelengkap dalam hidangan.

“Waktu harga turun itu saya tidak menjual lagi ke pengepul. Kami memilih menjual sendiri dengan harga Rp 10 ribu saja dengan cara digantung di depan rumah. Untung-untung kalau ada yang mau membeli, jika tidak ada maka tinggal dimakan saja.”

Pada kondisi seperti itu membuat para istri yang sehari-hari sibuk mengurusi keperluan rumah tangga harus berpikir keras. Sebab, para suami mereka tak lagi berpendapatan seperti biasanya. Mereka tergerak mencari cara lain untuk menopang kebutuhan ekonomi, menjaga dapur agar tetap mengasap, dan menjamin uang jajan anak-anaknya tidak berkurang.

Kelompok perempuan Uwedikan mengemas kerupuk gurita untuk dipasarkan ke berbagai daerah.
Kelompok perempuan Uwedikan mengemas kerupuk gurita untuk dipasarkan ke berbagai daerah. Zulkifli Mangkau / Kanaldesa

Kerupuk Sebagai Alternatif Penghidupan

Medio November 2021 kemarin, sebanyak delapan orang perempuan berkumpul di rumah Ramla. Mereka yang awalnya hanya bekerja di dapur kini melawan situasi tersebut. Pada awalnya tak ada yang kepikiran mau membuat olahan hasil tangkapan gurita suami mereka menjadi sesuatu yang bernilai. Namun, semua itu berubah saat kesusahan ekonomi melanda saat penjualan gurita turun kemarin. Mereka berpikir perlu ada suatu alternatif untuk menjaga ekonomi keluarga tetap stabil, salah satu caranya ialah dengan membuat olahan kerupuk dari gurita.

Ide membuat kerupuk ini tidak lahir begitu saja. Ibu-ibu rumah tangga yang notabene istri dari para nelayan didampingi dan diberi penguatan untuk mengelola hasil tangkapan para suami, harapannya agar dapat memberi nilai tambah dan juga membantu pendapatan keluarga. Salah satu pendorong semangat ibu-ibu ini ialah Japesda (Jaring advokasi pengelolaan sumber daya alam).

Japesda sendiri merupakan sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan, advokasi, HAM, dan pemberdayaan perempuan, yang telah mendampingi desa Uwedikan sejak tahun 2017 silam dalam program pengelolaan lingkungan dan tata kelola wilayah tangkap, dan baru pada tahun 2020 mulai bergerak dalam program memperkuat konservasi laut berbasis masyarakat dan pengelolaan perikanan berkelanjutan, khususnya pada nelayan gurita. Japesda sendiri turut membantu masyarakat mendapatkan pengetahun dalam mengelola hasil laut agar tak dijual mentah begitu saja.

Indira Moha, staf Japesda yang mengelola program ekonomi di Desa Uwedikan mengatakan, pendapatan nelayan di Uwedikan sangat menjanjikan, tapi perlu penguatan dan pelatihan untuk mengelola hasil tangkapan mereka agar dapat memberi nilai tambah. Khususnya melatih kecakapan para istri nelayan untuk mendapatkan pengetahuan yang selama ini mereka tidak terima. Hasil yang didapatkan juga pasti akan berdampak pada sisi ekonomi keluarga. Artinya, sumber keuangan keluarga tidak hanya bertumpu pada suami saja, turut didistribusi oleh sang istri.

“Potensi perikanan di Uwedikan ini cukup tinggi, hanya saja perlu dilakukan inovasi, biar juga dapat menambah pendapatan yang lain dari hasil yang ditangkap oleh para nelayan. Salah satunya itu menggerakkan para istri untuk terlibat langsung dalam pengelolaan hasil laut atau hasil tangkapan para suami,” terang Indira saat diwawancarai.

Menurutnya, hasil tangkapan gurita para nelayan jika hanya bertumpu satu metode penjualan, yakni dijual dalam keadaan mentah tidak akan dapat menjamin pendapatan yang stabil, contohnya saja saat harga gurita turun drastic saat awal pandemic, para nelayan kelimpungan terhadap keadaan tersebut.

Makanya, jika ada model pengolahan perikanan menjadi satu produk bisa menambah nilainya, dan keuangan para nelayan bisa terselamatakan. Tapi menurut Indira, para suami cenderung tidak mau melakukan hal yang dianggap mereka ribet dan susah, salah satunya melakukan inovasi pengolahan dari hasil tangkapannya, maka dari itu peran para istri yang digerakkan untuk mengambil peluang ekonomi tersebut, dan sebagai upaya mempertegas kesetaraan dalam rumah tangga dalam hal memenuhi ekonomi keluarga, yang secara umum masih dipahami hanya dilakukan oleh laki-laki saja.

“Menggerakkan ibu-ibu rumah tangga untuk membuat olahan kerupuk gurita adalah upaya memberikan hak yang sama dalam rumah tangga, salah satunya dalam ekonomi keluarga,” ujarnya.

Waktu sudah menunjukan pukul 2 siang. Indira, Ramla, Rita, dan 6 orang ibu-ibu rumah tangga lainnya nampak sibuk, mereka lalu lalang tiada hentinya. Ada yang mencuci gurita, menyiapkan bahan-bahan seperti rempah-rempah, membuat adonan, dan merapikan tempat penjemuran.

Kesibukan mereka sore itu sedang membuat kerupuk gurita, tapi jauh sebelum itu, Indira telah memberi pelatihan terlebih dahulu, kemudian mereka berkumpul lagi dengan semangat yang sama untuk membuat kerupuk gurita.

Tata cara pembuatan kerupuk gurita sama halnya dengan cara membuat kerupuk pada umumnya. Hanya saja dalam hal kerupuk gurita ini, Indira dan para ibu-ibu itu menambahkan beberapa jenis rempah-rempah untuk memberikan rasa khas tersendiri dari si kerupuk gurita yang mereka buat. Tujuannya sebagai pembeda dari kerupuk yang dijual dipasaran, bahwa kerupuk yang mereka makan adalah kerupuk gurita. Kesan itulah yang ingin mereka tanamkan saat orang-orang mau mencicipi kerupuk gurita olahan mereka.

Rita Tatting, istri dari Jon itu tampak sibuk membersihkan seekor gurita. Kedua tangannya begitu lihai, setelah bersih ia kemudian memotong gurita menjadi beberapa bagian lalu dilumur perasan jeruk nipis untuk menghilangkan bau amis. Ramla yang sudah bersiap sedari tadi di depan tungku mulai menyalakan api dan menyiapkan belanga, ia mengambil gurita yang telah dibersihkan dan dicuci tadi agar segera direbus dengan waktu 5-10 menit. Setelah itu gurita diangkat dan ditiriskan, diiris halus untuk memudahkan proses penggilingan.

“Pada proses yang panjang ini yang membuat para suami tidak mau terlibat, mereka cukup memberi gurita hasil tangkapan mereka saja, kemudia istri mereka yang ditunjuk untuk belajar membuat olahan,” kata Indira sembari menyiapkan olahan bersama ibu-ibu sore itu.

Selain gurita, bahan-bahan yang diperlukan selanjutnya ialah garam, penyedap rasa, tepung kanji, air putih, lada, bawang putih, gula dan ketumbar.

Daging gurita yang sudah dihaluskan kemudian dicampur dengan bawang putih, sedikit garam, gula, dan lada. Menurut Indira dan para ibu-ibu, kehadiran lada dalam olahan akan memberikan sensasi tersendiri dan ini yang akan membuat perbedaan dalam kerupuk gurita yang mereka buat.

Dalam proses penggilingan tak membutuhkan waktu lama, hanya memastikan adonan yang digiling merata semuanya. Setelah selesai, hal yang akan dilakukan ialah mencapur daging gurita yang sudah dihaluskan tadi dengan tepung kanji, tambahkan air, penyedap rasa dan garam secukupnya.

Jika sudah selesai, aduk hinga tercampur rata semuanya, buat bulatan atau persegi sesuai dengan selera. Kemudian diamkan dalam lemari pendingin satu malam. Setelah itu adonan diiris tipis-tipis, lalu dikeringkan dengan cara dijemur. Pada proses pengeringan inilah yang membutuhkan waktu sampai 1-2 hari jika cuaca sedang bagus, tapi jika cuaca tak bersahabat paling lambat membutuhkan waktu 3-4 hari lamanya.

Saat proses penjemuran inilah yang membuat Ramla dan sebagian ibu-ibu rumah tangga yang lain tak bisa tidur siang dengan nyenyak. Pikiran mereka selalu dihantui dengan cuaca yang tiba-tiba saja berubah, seperti yang dialami Ramla. Mereka akan menjaga sebisa mungkin kerupuk terkena sinar matahari dengan baik saat dijemur.

Jika sudah melewati proses pengeringan, kerupuk gurita dijual dengan dua metode; ada yang dijual kering saja dan ada juga yang dijual yang sudah siap dimakan, alias sudah digoreng. Harga jual produk kerupuk gurita pun beragam, dalam keadaan kering dan telah dikemas secara rapih dijual seharga Rp15 ribu, dengan berat dalam kemasan 250gr, dan penjualan kerupuk yang sudah di goreng seharga Rp2 ribu saja dalam setiap kemasan.

Kata Indira, dalam olahan 1 kilogram gurita akan mendapatkan empat bungkus olahan kerupuk gurita kering, dan bisa menjadi delapan bungkus gurita jika per kemasannya seberat 125gr. Untuk pemasaran sendiri masih dijual seputaran desa dan kepada beberapa mitra Japesda yang datang berkunjung ke desa dampingan mereka.

“Bila masyarakat desa atau nelayan mengetahui cara pengolahannya mereka tidak akan berpatokan menjual gurita mentah saja, maka saat masa kesusahan ekonomi dan pendatapan menurun saat harga gurita anjlok tak menjadi permasalahan besar,” tutur staf Japesda tersebut.

Indira memberi contoh, misalnya penjualan harga gurita mentah dengan berat 1 kilogram dihargai Rp45-50 ribu atau jika sedang baik harganya bisa mencapai Rp 60 ribu – Rp70 ribu. Tapi jika dibuat kerupuk, gurita dengan bobot 1 kilogram akan menghasilkan 4 pack gurita kering dengan harga per pack-nya sebesar Rp15 ribu.

Keuntungan yang didapatkan setara dengan penjualan harga gurita yang dijual dalam keadaan mentah, belum lagi laba yang didapatkan dari penjualan kerupuk yang sudah digoreng lebih besar lagi dan bisa berlipat ganda jika yang dibuat dalam jumlah yang banyak.

“Ada selisih keuntungan di situ, meskipun pembelian harga gurita mentah turun, baik dihadang pandemic atau peristiwa lainnya, nelayan tak perlu risau. Mereka sudah bisa bertahan dengan cara mengolah hasil perikanannya menjadi produk yang bernilai ekonomis”.

Melalui pengetahun yang mereka dapatkan mereka bisa menjamin sumber pendapatannya. Apalagi dengan hadirnya kerupuk gurita, bukan hanya inovasi, melainkan sebagai alternatif penghidupan bagi masyarakat desa pesisir yang menggantungkan seluruh hidup mereka kepada laut.

Kelompok perempuan Uwedikan meminta dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai untuk mengeluarkan izin Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga atau SPP-IRT.
Kelompok perempuan Uwedikan meminta dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai untuk mengeluarkan izin Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga atau SPP-IRT. Zulkifli Mangkau / Kanaldesa

Peluang Meningkatkan Ekonomi Desa

Tantangan saat ini yang dihadapi oleh Indira dan kelompok perempuan di Desa Uwedikan ialah memperluas pasar penjualan kerupuk gurita tersebut, juga sembari memastikan pengurusan izin Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP - IRT) dari dinas Kesehatan kabupaten Banggai,Sulteng.

“Kendala yang dihadapi saat ini soal izin SPP-IRT, karena rencana usaha kerupuk gurita ini di produksi secara rumahan. Kami juga sudah berkoordinasi dengan dinas terkait dan mendapatkan respon yang baik, Jika sudah mendapatkan izin tersebut, pemasaran sudah bisa dilaksanakan dengan skala yang lebih luas,” terang Indira.

Kerupuk gurita punya peluang besar mendongkrak ekonomi desa, dalam hal ini pendapat asli desa (PADes). Selain bisa dipasarkan ke minimarket atau gerai dan swalayan, olahan kerupuk ini juga bisa dijadikan sebagai ole-ole atau jajanan khas dari Desa Uwedikan.

Namun, upaya ini semua juga butuh dukungan dan keterlibatan dari pihak pemerintah desa. Baik dari kebijakan atau support pemdes dalam hal memasarkan olahan kerupuk tersebut agar lebih banyak dikenal oleh masyarakat, terutama dalam lingkaran pemerintah baik ditingkat kecamatan hingga kabupaten.

Menurut Indira, peluang Kerjasama bisa dilakukan dengan pihak Bumdes untuk menggerakan ekonomi di desa. Karena sejauh ini Bumdes di Uwedikan tidak begitu efektif, dan sudah seharusnya melirik kekayaan laut yang mengandung potensi perikanannya untuk dimanfaatkan sebagai sumber PADes.

“Kita memang mendorong usaha kelompok ibu-ibu ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak terutama pemerintah. Karena potensi perikanan di Uwedikan sangat tinggi, sayang kalau tidak dimanfaatkan untuk menggerakan ekonomi masyarakat desa,”.

Lapulo, selaku kepala desa Uwedikan memberikan respon yang baik terhadap apa yang dilakukan oleh Japesda dan kelompok perempuan yang dengan semangat membuat olahan kerupuk dari hasil perikanan laut Uwedikan.

Hanya saja, akibat recofusing anggaran di desa akibat covid-19 tidak bisa banyak yang dilakukan oleh pemdes. Utamanya dalam men-support kegiatan yang berbau dukungan anggaran. Kata Lapulo, pihaknya hanya bisa membantu memasarkan produk olahan dengan cara memperkenalkan olahan produk gurita tersebut ke masyarakat dan ke jajaran pemerintah kecamatan hingga kabupaten.

“Sumber daya laut di Uwedikan ini sangat mumpuni, saya juga bersyukur ada organisasi semacam Japesda yang mau membantu masyarakat di desa untuk memperbaiki pendapatan mereka,” ujar kades Uwedikan dua periode tersebut.

Ramla dan ibu-ibu lainnya juga berharap dengan adanya kerupuk gurita ini bisa membantu mereka keluar dari permasalahan ekonomi yang selalu menjadi permasalahan utama. Apalagi, di saat kesusahan ekonomi yang sempat mereka alami. Bukan hanya itu saja, kehadiran kerupuk gurita diharapkan mampu mengenalkan desa Uwedikan kepada banyak orang.

“Dulu orang-orang sering ke Uwedikan untuk berlibur, untuk berwisata. Tapi sekarang sudah berkurang, mungkin tak ada berkesan saat mereka berkunjung ke desa. Nah, dengan adanya kerupuk gurita ini bisa jadi ole-ole yang mereka bawa dari desa. Jadi ketika mereka makan kerupuk gurita ingat desa Uwedikan dan bisa kesini lagi, kita juga bisa dapat keuntungannya,” kata Ramla penuh harap.

Dari ide inilah para istri-istri tergerak dan mau membantu peran suami dalam menjamin ekonomi keluarga. Mereka juga mulai mengembangkan inovasi olahan seperti membuat bakso dan nugget dari bahan dasar gurita.

Kerupuk gurita adalah satu dari sekian inovasi pengolahan hasil perikanan yang bisa dikembangkan, dan masih banyak lagi inovasi yang dapat dibuat. Hanya saja keterbatasan informasi dan akses pengetahuan yang tidak sampai ke warga desa itulah yang menjadi kendalanya.

Tujuan para ibu-ibu hanya satu, untuk menopang ekonomi keluarga agar tidak hanya bertumpu pada suami, peran mereka juga bisa membantu dan memberikan dampak.

Baca Lainnya