Menabung Di Laut Ala Nelayan Uwedikan
Nelayan Desa Uwedikan belajar dari kesalahan masa lalu. Kini, kesadaran pengelolaan perikanan yang baik mulai mereka rasakan dampaknya.
Sorot mata Anwar Pinous, 48 tahun, begitu tajam menghadap laut sore itu. Laut yang begitu tenang selepas dihantam badai hujan semalam. Anwar satu dari sekian warga yang ada di Desa Uwedikan, Luwuk Timur, Banggai, Sulawesi Tengah, yang sudah lama bekerja sebagai nelayan, yang mengharapkan sumber kehidupan dari kekayaan laut yang ada di desanya.
“Saya meskipun sering turun di laut, saya juga berkebun. Tapi keseharian saya paling utama di laut,” ungkap Anwar. Di desa ini, warga juga menanam cengkeh, ubi, jagung, kelapa, sayur-mayur dan kebutuhan pangan lainnya di desa seluas 11,59 km persegi ini.
Laut bagi masyarakat Uwedikan sangat penting. Hilir mudik perahu dari pagi hingga malam hari begitu ramai ditemui, baik nelayan yang mencari ikan, gurita hingga teripang padat merayap setiap harinya.
Dari semua kelimpahan kekayaan laut yang ada, gurita lah yang paling sering ditangkap oleh nelayan selama 15 tahun terakhir ini. Selain mudah didapat di wilayah perairan Uwedikan, harganya yang menjanjikan membuat banyak orang berbondong-bondong menangkapnya, bahkan nelayan dari desa tetangga juga ikut merasakannya.
“Dulu banyak sekali yang sering memakai bom di sini, makanya kita susah cari ikan sekarang. Rumah ikan sudah rusak,” jelas Anwar. Menurutnya, rusaknya terumbu karang mempengaruhi hasil tangkap nelayan di Uwedikan semakin menurun.
Menjalin Pemahaman Bersama Warga
Anwar tidak sendirian saat menyadari ada hal yang salah dalam pengelolaan penangkapan mereka di desa. Mansur yang dulunya sering menangkap dengan tidak memperhatikan ukuran, kini perlahan mulai berubah. Ia membeberkan ketakutannya kalau pada suatu saat nanti hasil laut yang ada di desanya akan habis, jika ditangkap terus-menerus secara berlebihan.
“Saya rasakan sendiri kalau sekarang sulit mencari ikan, dan keluhan ini bukan saya saja yang rasa, nelayan yang lain juga. Saya pikir harus ada hal yang perlu dilakukan untuk mengembalikan tangkapan kami yang dulu,” kata Mansur.
Keresahan mereka berdua itu yang mempertemukan para nelayan di Uwedikan dengan sebuah organisasi non pemerintah yang bernama Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda). Japesda membantu nelayan seperti Anwar, Mansur, dan masyarakat di Uwedikan terhubung dalam program pengelolaan perikanan berkelanjutan berbasis masyarakat yang bisa diterapkan di desa.
Direktur Japesda, Nurain Lapolo menuturkan, program yang mereka bawa dan perkenalkan kepada masyarakat Uwedikan khususnya nelayan, salah satu tujuannya untuk memperbaiki ekosistem yang ada di desa dan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat berupa meningkatnya hasil tangkapan. Namun, hal ini tidak mudah dan butuh kesadaran juga berupa dukungan dari semua pihak.
“Kami memilih gurita sebagai pintu masuk karena gurita dan karang sangat erat hubungannya, makanya perlu untuk dilakukan pengelolaan berkelanjutan agar keduanya bisa saling terjaga dan memiliki manfaat kepada masyarakat.”
Gurita sendiri, dalam catatan pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2021 merupakan komoditas yang paling sering diekspor ke luar negeri. Pada tahun yang sama juga, data KKP menunjukan potensi perikanan Indonesia mengalami tren yang baik. Salah satunya hasil tangkapan gurita dari Banggai, Sulawesi Tengah.
Pengelolaan Perikanan Berbasis Data
Irham Summang siang itu telah kembali dari melaut. Ia mendapatkan gurita yang lumayan banyak. Irham alias Jon ini memang terkenal sebagai nelayan gurita di Uwedikan. Saat musim yang baik dia bisa mendapatkan hasil yang banyak. Salah satu buktinya adalah sebuah rumah hunian yang sederhana ia persembahkan untuk keluarganya.
“Gurita ini yang membantu saya menghidupi keluarga sehari-hari,” kata Jon saat ditemui di rumahnya.
Hasil tangkapan Jon dan nelayan lainnya kadang kala luput dari perhatian bahkan pendataan. Tak ada yang memikirkan hal itu penting untuk dilakukan. Hingga pada suatu hari, Rahmat seorang pendata lokal yang bekerja untuk Japesda mulai mendata hasil tangkapan nelayan gurita.
“Saya tugasnya mendata hasil tangkapan nelayan. Saya data mulai dari jenis kelamin, bobot, lokasi tangkap, biaya pengeluaran, serta waktu pergi dan pulang,” ungkap sang enumerator tersebut. Rahmat juga merupakan anak muda desa yang mau terlibat dalam pendataan karena ingin belajar soal potensi perikanan yang ada di desanya melalui data.
“Banyak gurita kecil yang ditangkap. Ini sebenarnya keliru, karena kalau sering ditangkap dengan ukuran kecil harga jualnya juga rendah ke pengepul dan gurita tidak dapat berkembangbiak dengan baik,” kata Rahmat.
Menurutnya, faktor lain yang menyebabkan harga gurita turun karena kualitas yang tidak bagus akibat cara penangkapannya yang salah dan juga gurita dengan ukuran yang kecil yang belum layak untuk dijual. Begitu juga sebaliknya, jika gurita yang ditangkap dalam ukuran besar maka harga jualnya sangat menjanjikan apalagi ditunjang dengan kualitas yang bagus.
Kehidupan masyarakat Desa Uwedikan penduduknya sangat beragam. Dihuni dari berbagai suku, ras, dan agama. Dari pertemuan warga yang intens, mereka sepakat agar lebih bijak lagi dalam mencari ikan. Kesepakatan ini mereka sebut “Menabung di Laut”.
Menabung di laut sendiri ialah sebuah upaya mengembalikan kejayaan hasil tangkapan seperti sedia kala. Dengan metode menutup sebagian wilayah lokasi tangkap selama tiga bulan dan kemudian dilakukan panen raya secara bersama oleh masyarakat desa.
Menabung di Laut
Kata Anwar, kegiatan menabung di laut ini sudah lama dilakukan oleh masyarakat desa yang ada di Ambon atau Maluku dan sekitarnya. “Mereka mengenalnya sasi kalau di sana.”
Perbedaannya, jika wilayah sasi yang ditutup merupakan wilayah adat serta durasi waktunya bisa bertahun-tahun, sedangkan menabung di laut adalah menutup sebagian wilayah tangkap nelayan dengan kesepakatan bersama, tapi berlangsung hanya beberapa bulan saja, tidak lama.
“Kita di Uwedikan karena baru memulai, kita menyebutnya menabung di laut dan ini merupakan hal baru juga buat masyarakat Uwedikan sendiri, terutama bagi para nelayan di sini,” terang Anwar.
Anwar juga sadar, inisiatif menabung di laut ini tidak akan mudah diterapkan. Butuh dukungan dari banyak orang terutama para nelayan. Mereka kemudian bersepakat membentuk kelompok. Irham didapuk sebagai ketuanya dan Anwar kebagian menjadi sekretarisnya. Mansur dan para nelayan lainnya bergabung sebagai anggota.
“Hasil dari pembasahan kelompok kita menyepakati ada beberapa wilayah yang akan kita tutup, ini tujuan untuk melihat tangkapan meningkat atau menurun,” jelas Irham saat selesai memimpin rapat.
Dengan luasnya wilayah laut Uwedikan, nelayan bersepakat hanya menutup 146 hektare saja yang masuk dalam administrasi desa. Lokasi yang dipilih ialah lokasi-lokasi yang menjadi wilayah tangkapan nelayan, khususnya jenis gurita. Gurita merupakan hasil laut yang punya potensi tinggi di Uwedikan, dan ini alasan paling kuat yang mereka sepakati bersama.
“Gurita ini bobotnya cepat berkembang, dalam sebulan saja bisa naik 200 gram. Makanya penutupan ini dicoba untuk gurita saja, sedangkan biota lainnya belum ditutup,” tutur Rahmat saat ditemui selesai mengikuti rapat kelompok.
Dampak Praktik Baik
Anwar, Mansur, dan Jon, sore itu tampak sibuk. Tangan mereka begitu lihai merapikan satu per satu pelampung drum kerambah, memotongnya menjadi beberapa bagian. Lalu, mereka melilitnya dengan tali tambang berukuran kecil. Kemudian kain bergambar larangan menangkap gurita berukuran 50x50 cm dipasang di atasnya. Pelampung-pelampung itu dijadikan penanda wilayah yang sementara dilakukan penutupan.
“Ini tahun kedua kami melakukan kegiatan menabung di laut atau penutupan sementara di desa kami. Kami berharap hasilnya lebih dari tahun kemarin,” ungkap Anwar dan Jon bersamaan.
Penutupan sementara yang telah dilakukan tahun kemarin terbilang berhasil. Tangkapan nelayan meningkat dari biasanya. Rahmat membeberkan, dari data yang ada saja tangkapan nelayan naik signifikan. Misalnya, Anwar yang biasa menangkap gurita dengan bobot 1 kg paling maksimal, kini tangkapannya rata-rata di atas 2 kg paling standar.
“Saat nelayan memanen tabungan mereka, hasil yang didapatkan memuaskan. Di data saja, rata-rata di atas 2 kg hasil tangkapan mereka,” paparnya.
Staf Ekonomi Japesda, Indira Moha menerangkan bahwa tangkapan nelayan memang naik saat diberlakukan penutupan sementara alias sistem menabung di laut tersebut. Pendapatan nelayan meningkat, ini semua berkat praktik baik yang mereka lakukan terhadap laut mereka sendiri.
“Paling sedikit nelayan mendapatkan keuntungan 500 ribu dari hasil menjual tangkapan, dan paling banyak 1 juta rupiah setiap harinya,” jelas Indira.
Keuntungan yang dirasakan oleh para nelayan berkat kegigihan mereka mengelola wilayah tangkap dengan baik. Praktik-praktik yang merusak wilayah laut mulai diawasi secara ketat. mereka tidak mau mengulang dosa-dosa lama yang telah diperbuat oleh orang-orang terdahulu terjadi lagi.
Menabung di laut bukan hanya saja memberi kesempatan hidup bagi biota laut agar lebih lama hidup, tapi juga memberi dampak yang baik bagi ekosistem terumbu karang dan kehiudpan masyarakat sendiri.