Desa

Kampung Naga : anyaman bambu si ramah lingkungan

Anyaman bambu Kampung Adat Naga Tasikmalaya, Jawa Barat mulai dilirik mancanegara. Berbagai bentuk dan motif menjadi ciri khas produk ramah lingkungan ini.

Dewi Cholidatul
Kampung Naga : anyaman bambu si ramah lingkungan
Kampung adat Naga, Tasikmalaya masih mempertahankan nilai tradisi Sunda dan selaras dengan pengembangan wisata budaya yang berkelanjutan. Reza / kanaldesa

Tangannya tampak keriput gelap tergilas usia. Namun, jarinya masih terlihat lincah mengayam helai-helai bambu yang berserakan di panggung halaman rumahnya. Satu-satu perlahan helai bambu itu membentuk simpul yang bermotif. Setengah jam kemudian, sudah tampak membentuk tas anyaman untuk keperluan berbagai barang bawaan yang ramah lingkungan.

“Yang ini keranjang dodol. Ini pesanan orang,” kata Etin, warga Kampung Adat Naga, Desa Neglasari, Tasikmalaya, Jawa Barat, sambil menunjukkan beberapa hasil kerajinan tangannya.

Dalam sehari, perempuan berusia nyaris setengah abad itu terbiasa mengerjakan beberapa jenis anyaman. Selain membuat keranjang buah, Etin juga lihai membuat alat-alat dapur, seperti boboko atau tempat nasi, aseupah atau kukusan, hihid atau kipas, nyiru atau nampan, serta bermacam-macam tempat padi seperti tolombang, giribig dan tampir.

“Beda bentuk, beda jenis, beda pula motifnya. Tergantung pesanan,” kata Entin yang belajar mengayam bambu secara turun temurun.

Mengayam bambu menjadi kebiasaan sekaligus tradisi bagi penduduk Kampung Naga, salah satu kampung adat di Jawa Barat. Hampir seluruh penduduknya, mengayam menjadi pekerjaan sampingan. Biasanya dikerjakan setelah urusan rumah tangga beres atau sepulang dari sawah sambil istirahat. Bahkan, suami Etin, Endut Suganda, juga ikut menganyam mendampingi istrinya. Pekerjaan santai ini menjadi selingan di luar pemandu wisata mengenal Kampung Adat Naga.

“Aslinya ya nyawah. Kalau Sabtu-Minggu nemenin tamu. Tapi kalau masa tunggu panen seperti sekarang atau tamu lagi sepi, ya, nganyam juga,” kata Endut sambal tersenyum.

Kerajinan tangan yang diproduksi masyarakat Kampung Naga sebagian besar berbahan baku bambu dan batok kelapa. Mereka berusaha memanfaatkan potensi yang ada di sekitarnya. Ini dilakukan agar bahan yang ada menjadi lebih bermanfaat. Selain itu, produksi dan modalnya juga tidak terlalu besar.

Rata-rata hampir semua warga Kampung Naga mampu mengerjakan berbagai anyaman bambu. Pengetahuan ini mereka dapatkan secara turun temurun. Mulai dari memanen bambu hingga menjadi berbagai aneka barang keseharian. Menurut warga, pemilihan bahan baku bambu karena memiliki banyak keunggulan, seperti lentur dan mudah dibikin berbagai bentuk.

“Bambu yang baik untuk anyaman tidak terlalu tua dan tidak pula terlalu muda atau sumedeng lumiat,” kata Endut.

Menurutnya, waktu untuk penebangan bambu yang paling tepat adalah sekitar pukul sebelas siang. Saat itu, kadar kandungan airnya tidak terlampau tinggi dan tidak terlampau rendah. Jika kadar kandungan airnya terlampau tinggi bambu akan mudah lapuk, sedangkan jika terlampau rendah, maka kelenturan dan keliatannya akan berkurang.

“Kata orang sini regas. Mudah patah dan pecah,” ujarnya.

Pertimbangan lainnya, lanjut Endut, jika menebang terlalu pagi banyak hambatan. Misalnya, tanah yang masih licin dan banyak nyamuk. Sedangkan bila sore hari, hambatannya adalah rambut bambu mudah beterbangan dan bisa bikin gatal pada kulit.

“Kalau terlalu sore mengambilnya bikin gatal-gatal,” katanya.

Menurut Endut, semua bahan baku bambu, ia dapatkan dari tetangganya. Dan ia tak pernah kesulitan mendapatkan bahan baku yang tumbuh subur di sekitar Kampung Naga.

“Saya tidak punya kebun, hanya punya sawah, jadi ya beli dari tetangga,” katanya.

Endut Suganda dan Etin mengisi waktu luangnya dengan membuat aneka kerajinan dari bambu. Kerajinan ini menjadi buah tangan dari Kampung Naga dan memasok pasar hingga luar negeri.
Endut Suganda dan Etin mengisi waktu luangnya dengan membuat aneka kerajinan dari bambu. Kerajinan ini menjadi buah tangan dari Kampung Naga dan memasok pasar hingga luar negeri. Reza / kanaldesa

Namun, pengambilan bambu ini pun ada banyak syaratnya. Terlebih wilayah Kampung Naga masih menerapkan berbagai aturan adat yang ketat. Aturan ini agar Kampung Naga tetap lestari dan terjaga. Khususnya, mengambil sesuatu yang tumbuh di dalam hutan larangan. Hutan larangan adalah hutan penyangga bagi Kampung Naga sebagai penyedia berbagai bahan tanaman, pasokan air, dan manfaat lainnya.

“Khusus yang di dalam hutan larangan itu tidak boleh. Karena itu kan menyalahi aturan adat. Siapapun, untuk kepentingan bersama saja tidak boleh, apalagi untuk kepentingan pribadi,” katanya.

Kerajinan anyaman bambu yang ada di Kampung Naga ada tiga jenis, yakni anyam sasag, kepang, dan silang. Berbagai jenis anyaman itu berbeda-beda fungsi dan peruntukannya. Ayaman sasag, misalnya, biasanya digunakan untuk dinding dapur dan daun pintu. Fungsinya lebih seperti ventilasi.

“Kalau untuk kerajinan biasanya untuk beberapa barang seperti ayakan, saringan, dan keranjang,” kata Endut.

Anyaman kepang, lajutnya, untuk tempat nasi atau bakul dan penanak nasi atau aseupan. Sedangkan anyaman silang untuk pagar, liontin dan kap lampu.

Saat itu, Endut dan istrinya tengah memproduksi keranjang dodol berbagai ukuran untuk dijual ke seorang pengepul. Dalam sehari, mereka bisa menghasilkan masing-masing 10 keranjang berbagai ukuran. Hasil kerajinan tangan itu lantas dijual ke tiga penampung lainnya di Kampung Naga. Harganya tergantung ukuran, variasi, dan kerumitan motifnya. Namun, rata-rata mereka jual senilai Rp 2.500 hingga Rp 20.000.

“Ada yang dijual secara langsung di toko-toko depan rumah mereka atau di atas (gerbang Kampung Naga) untuk oleh-oleh. Ada juga yang dijual secara online (daring),” kata Entin.

Penjualan secara daring, lanjut Entin, dilakukan setelah pandemi Covid-19 merebak dan Kampung Naga ditutup untuk umum. Menurutnya, penjualan produk kerajinan bambu Kampung Naga ini bahkan menembus pasar internasional, seperti ke Thailand, Singapura, Malaysia. Tentu, tidak dalam skala besar.

“Ya, sejak adanya Mbah Covid (pandemi), penjualan tidak bisa hanya mengandalkan secara langsung. Akhirnya, beberapa warga Sanaga (orang kampung Naga yang berada di luar area Kampung) berinisiatif menjadi pengepul dan menjualnya secara online. Akhirnya pembelinya juga semakin luas, sampai ke Papua, Malaysia, hingga Singapura,” kata Ijad, salah satu warga menjelaskan.

Menurutnya, kegiatan membuat kerajinan tangan dari bambu muluh tumbuh di tahun 80'an saat masyarakat sering berkunjung ke Kampung Naga. Sejak saat itu, berbagai bentuk, motif, dan ukuran anyaman semakin berkembang. Bahkan, beberapa warga juga mengadopsi kerajinan dari luar, seperti tas dari tali.

“Awalnya, pembuatan kerajinan bambu ini hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri. Tapi lama-lama kami melihat nilai ekonomisnya. Kan tidak apa-apa selama tidak melanggar aturan adat,” kata Ijad.

Bambu menjadi pohon kehidupan bagi masyarakat Kampung Naga, Tasikmalaya. Berbagai produk baik untuk keperluan sehari-hari maupun kemasan ramah lingkungan terbuat dari bambu yang tumbuh di sekitar lingkungan mereka.
Bambu menjadi pohon kehidupan bagi masyarakat Kampung Naga, Tasikmalaya. Berbagai produk baik untuk keperluan sehari-hari maupun kemasan ramah lingkungan terbuat dari bambu yang tumbuh di sekitar lingkungan mereka. Reza / kanaldesa

Bambu memang memegang perananan penting dalam kehidupan masyarat Kampung Naga. Setiap unsur kehidupan, mulai dari rumah tempat berteduh, alat-alat rumah tangga, pagar, dan alat-alat bantu lainnya terbuat dari bambu. Tak salah jika bambu adalah pohon kehidupan bagi manusia.

Masyarakat Kampung Naga sangat menghargai dan berusaha melestarikan tanaman bambu di sekitar rumahnya agar tidak habis. Karena mereka percaya, tanaman ini sangat bermanfaat dalam pelestarian lingkungan.

Bambu kan juga sangat bagus untuk menjaga kesuburan tanah dan menjaga ketersediaan air. Sementara kami kan sebagian besar petani. Jangan sampai karena mengejar ekonomi, kita menebang tanpa aturan. Tidak boleh. Jadi penebangannya pun diatur,” kata Ijad.

Kampung Naga adalah sebuah kampung adat Sunda yang berada di pinggiran Sungai Ciwulan dan di antara lembah subur di perbukitan Neglasari, jalur Garut-Tasikmalaya. Mereka tinggal di rumah-rumah panggung berbahan baku bambu dan kayu, beratap rumbia yang berjajar rapi.

Hingga saat ini, kesederhanaan kampung masih mempertahankan adat-istiadat serta prinsip-prinsip leluhur yang kuat. Terutama, terkait laku hidup dan lingkungan kehidupan mereka di tengah gerusan zaman saat ini.

Baca Lainnya

Biola bambu dari kaki Muria
Desa

Biola bambu dari kaki Muria

Bahannya memanfaatkan bambu yang tumbuh di sekitar lereng Muria. Jenis bambunya wulung dan petung dengan diameter mencapai 20 cm dan panjang 20 meter.

Noor Syafaatul Udhma