Desa

Biola bambu dari kaki Muria

Bahannya memanfaatkan bambu yang tumbuh di sekitar lereng Muria. Jenis bambunya wulung dan petung dengan diameter mencapai 20 cm dan panjang 20 meter.

Noor Syafaatul Udhma Afthonul Afif
Biola bambu dari kaki Muria
Dua biola bambu asal Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah ini menjadi salah satu produk unggulan Kabupaten Kudus. Biola bambu dapat dilihat di Museum Jenang hingga Bandara Ahmad Yani, Semarang. Ngatmin / Lokadata

Ngatmin duduk di sofa ruang tamu rumahnya. Dia meletakkan sebuah biola di bahu kirinya. Tangan kirinya memegang fingerboard, sementara tangan kanannya memegang alat gesek (bow). Dengan gesekan yang ritmis, suara biola mulai mengalun merdu. Lagu “Tahah Airku” memenuhi ruang tamunya.

Berbeda dari biola pada umumnya, biola itu istimewa karena terbuat dari bambu.

Sebelum membuat biola bambu, perjalanan lelaki yang kini tinggal di Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus itu cukup panjang. Awalnya dia bekerja sebagai tukang kayu di Jepara sejak berusia 17 tahun. Keahlian sebagai tukang kayu inilah yang kelak mengantarkan Ngatmin menjadi pembuat biola bambu.

Pada 2009 dia hijrah ke Bogor untuk belajar membuat biola. “Saat itu saya masing asing dengan biola. Jangankan memainkan, untuk membuatnya saja tidak pernah terpikirkan,” kenang lelaki asli Kabupaten Pati di rumahnya, Rabu (21/3/2021).

Ngatmin
Ngatmin Dokumen pribadi / Lokadata

Mulanya, Ngatmin diminta temannya ke Bogor. Kebetulan, temannya saat itu masih kuliah, bisa bermain biola dan memiliki tempat les biola. Dari sanalah ketertarikannya pada biola.

Untuk membuat biola, mula-mula, dia mengikuti proses pembuatannya melalui YouTube. Langkah pertama, dia membuat desain. Kemudian dia memotong kayu pinus sesuai gambar, mengamplas, melubangi, hingga membuat bass barr.

Hasilnya cukup baik. Namun resonansi suaranya tak sesuai. Percobaan itu gagal. “Dan kegagalan berlanjut hingga satu tahun,” katanya lalu tertawa.

Saat pertama kali membuat, kata dia, bentuknya jauh berbeda. Suaranya juga tidak selaras. Meski berulang kali melihat cara membuat biola di YouTube, ternyata tidak mudah mempraktikkannya.

Namun, kegagalan itu justru membuat Ngatmin penasaran. Akhirnya pada tahun kedua masa sulit itu berakhir. “Di sana saya juga belajar bermain biola. Karena untuk mengetes resonansi suara, saya perlu memainkan biola,” terangnya.

Setelah bekal mumpuni, pada 2012, lelaki berusia 44 tahun itu kembali ke Kudus. Dia mengajak empat tetangga untuk membantu membuat furnitur dan biola kayu. Hingga suatu saat, tercetus ide untuk memanfaatkan bambu di desanya.

Mula-mula dia berpikir untuk membuat seruling. Namun urung dilakukan. Lalu muncul ide untuk membuat biola. “Angklung dan seruling kan terbuat dari bambu, kenapa tidak mencoba membuat biola bambu? Apalagi bahannya melimpah,” begitulah yang melatari Ngatmin membuat biola bambu.

Ngatmin mengaku, hanya bambu yang tumbuh di pegunungan dengan diameter lebar yang bisa digunakan. Jenis bambunya yakni bambu wulung dan petung. Bambu wulung menghasilkan suara tenor (suara tinggi pada laki-laki). Sedangkan bambu petung menghasilkan suara sopran (suara tinggi pada perempuan).

Namun, setelah beberapa kali percobaan, Ngatmin akhirnya memilih bambu petung. Menurutnya, suara yang dihasilkan lebih mirip dengan suara biola kayu.

Bambu petung juga lebih kuat dan tahan lama. Selain itu, bambu ini memiliki serat yang lebih lembut ketimbang bambu wulung sehingga memudahkan proses pembuatan. Ketersediaan di alam juga melimpah.

Tiga biola bambu asal Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus ini terbuat dari bambu petung di kaki Muria. Selain unik karena terbuat dari bambu, biola ini juga dipermanis dengan dengan ukiran pada kepala biola, seperti burung garuda, naga, hingga wayang. Untuk pembuatan ukiran, Ngatmin masih menggunakan kayu, bukan bambu.
Tiga biola bambu asal Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus ini terbuat dari bambu petung di kaki Muria. Selain unik karena terbuat dari bambu, biola ini juga dipermanis dengan dengan ukiran pada kepala biola, seperti burung garuda, naga, hingga wayang. Untuk pembuatan ukiran, Ngatmin masih menggunakan kayu, bukan bambu. Ngatmin / Lokadata

Proses pembuatan

Proses pembuatan biola bambu ini cukup rumit dan lama. Pertama, Ngatmin memilih bambu dengan diameter minimal 20 sentimeter. Dengan ukuran bambu sepanjang 20 meter, bisa digunakan untuk membuat lima biola.

Setelah dipotong, bambu-bambu itu direndam dengan obat: air, garam, dan lentrek. Tujuannya agar bambu semakin kuat, tahan bubuk dan jamur, dan tidak dimakan rayap. Perendaman berlangsung antara lima hingga enam bulan.

Setelah kering, Ngatmin menyiapkan enam potong bambu dengan panjang 18 sentimeter lalu dilumuri dengan adonan lem: lem epoxy resin dan hardener. Setelah lem rata, bambu akan dipres dengan karet dan besi selama beberapa pekan. Jika sudah menyatu, bambu dibentuk sesuai desain.

Setelah papan bagian depan terbentuk, Ngatmin membuat dua lubang suara berbentuk forte (f). Lubang inilah yang nantinya akan mengeluarkan suara ketika biola dimainkan.

Kemudian Ngatmin membuat bass barr pada bagian dalam papan. Bass barr berfungsi untuk menghasilkan suara bass low. Sedangkan sound post atau kayu kecil di dalam biola berperan sebagai penghantar getaran suara yang dikeluarkan saat senar digesek.

Ketika papan depan, papan belakang, dan ribs (papan samping pemisah papan depan dan belakang) selesai, Ngatmin tinggal menyatukan. Untuk bentuk, Ngatmin menyesuaikan standar Eropa. Tak heran, bentuknya sama persis dengan biola kayu. “Di Bogor sepertinya ada yang membuat biola bambu, tetapi bentuknya masih terlihat seperti bambu. Bukan seperti biola buatan Eropa,” terangnya.

Untuk membuat neck atau leher biola, Ngatmin menggunakan kayu, bukan bambu. Sebab scroll (ujung kepala biola) nantinya akan diukir, seperti bentuk wayang, burung garuda, hingga naga. Ornamen ini menjadikan biola bambu buatan Ngatmin memiliki ciri khas tersendiri.

Hampir semua kelengkapan biola dia buat sendiri, seperti chin rest (penyangga dagu), tail piece (pengait senar), bridge (penyangga senar), dan bow (stik gesek), kecuali untuk hair bow (senar) yang dia beli secara online.

Setelah semua bagian dirangkai, kemudian mengecek resonansi suara yang dihasilkan. Bagi Ngatmin, inilah tahap paling sulit dari membuat biola bambu. Total waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan semua tahap itu sekitar 1,5 bulan.

Dalam setahun, Ngatmin mengaku bisa membuat 12 hingga 15 biola. Untuk satu biola bambu dia mematok harga minimal 3 juta rupiah.

Sebelum pandemi Covid-19 melanda, dia mampu menjual minimal satu biola setiap bulan. Namun begitu pandemi menghantam, dia mengaku tidak ada pesanan sama sekali. “Pekerja saya otomatis libur semua. Meski begitu, saya tetap membikin body biola. Untuk jaga-jaga kalau ada pesanan,” terangnya.

Karakteristik bunyi

Onggo, 26 tahun, menggesekkan biola kayu buatan Eropa miliknya. Dia cekatan memainkan beberapa nada. Suara biola yang nyaring memenuhi ruangan. Usai memainkan biola kayu, dia mencoba mendengarkan rekaman biola bambu milik Ngatmin.

Sekilas, kata Onggo, suaranya sama. Namun jika diperhatikan, kata pemain biola sekaligus pemilik Sanggar untuk Negeri, Kudus ini, mengaku biola kayu terdengar lebih nyaring ketimbang biola bambu. “Suara biola bambu sedikit tertahan. Jadi terdengar kurang nyaring,” katanya.

Onggo memberi istilah mid-low untuk biola bambu, sedangkan biola kayu mid-high. Namun, dia mengaku perlu pengujian lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan suaranya. Sebab, semakin sering digunakan, suara yang dihasilkan biola kayu akan semakin bagus, sementara biola bambu belum tentu.

“Meski dengungnya beda, saya tetap tertarik dan berencana untuk membelinya. Selain unik karena terbuat dari bambu, juga estetik karena ada ukirannya,” kata lelaki lulusan Pendidikan Musik Universitas Negeri Semarang itu.

Dhimas Nugroho, ahli biola asal Semarang sekaligus pembeli biola bambu mengaku ada perbedaan suara antara biola bambu dengan kayu. Hal ini berdasarkan pengalamannya menggunakan biola bambu buatan Ngatmin lebih dari lima tahun. Untuk biola kayu suaranya memang lebih nyaring. Sedangkan untuk biola bambu, suaranya agak tertahan. Dhimas menduga, hal ini disebabkan bahan dasar yang digunakan. Kalau biola buatan Eropa biasanya menggunakan kayu mapel.

“Kalau mau perform dengan biola bambu silakan. Tidak ada masalah. Namun saran saya bisa ditambah efek tribel hingga bass. Suaranya bisa lebih oke,” saran lelaki pemilik Dhimas Music School Semarang itu.

Biola bambu buatan Ngatmin ini dibandrol mulai harga Rp3 juta ke atas. Pembeli juga bisa memesan bentuk ukiran, senar, atau bow sesuai selera.
Biola bambu buatan Ngatmin ini dibandrol mulai harga Rp3 juta ke atas. Pembeli juga bisa memesan bentuk ukiran, senar, atau bow sesuai selera. Ngatmin / Lokadata

Kendala promosi

Ngatmin menyadari penjualan biola bambu tak sebagus alat musik lain. Misalnya gitar. Selain harganya lumayan mahal, peminat biola juga lebih sedikit.

Di Solo, kata Ngatmin, ada pembuat biola bambu dengan harga sangat murah, hanya Rp 450 ribu. Tentu saja harga itu sangat jauh bila dibandingkan dengan biola yang dia buat. Namun dia berani menjamin bahwa kualitas dan resonansi suara biola miliknya lebih bagus.

Selain produk lokal, produk Tiongkok juga menjadi salah satu pesaing biola buatannya. Selain itu, harganya juga jauh lebih murah. “Hanya Rp 400 ribu bisa dapat biola. Kan murah banget. Jelas saja biola saya kalah. Penggesek biola ini saja harganya sudah 400 ribu,” ujarnya.

Untuk memasarkan biola bambu ciptaannya, Ngatmin berkunjung dari satu sekolah ke sekolah lainnya di Kabupaten Kudus. Namun, hanya beberapa sekolah yang membelinya.

Dia kemudian mulai mempromosikan biolanya melalui media sosial, seperti Facebook hingga Instagram. Menurutnya cara ini juga belum banyak membantu penjualan.

Ngatmin menunjukkan bahan baku bambu untuk biolanya yang tumbuh di sekitaran lereng Muria.
Ngatmin menunjukkan bahan baku bambu untuk biolanya yang tumbuh di sekitaran lereng Muria. Noor Syafaatul Udhma / Lokadata

Selain itu, promosi juga dilakukan dengan mengikuti berbagai pameran, baik di Kudus maupun di luar Kudus. Dia juga dibantu oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah. Selain dipajang di sana, biolanya juga dapat dijumpai di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Lewat bantuan pemerintah provinsi pula, dia terhubung dengan beberapa pembeli dari Jakarta.

Untuk Kudus sendiri, hanya Museum Jenang yang membeli dan memajang biolanya. Sementara untuk lingkungan pemerintah daerah, menurutnya belum ada satu pihak pun yang membelinya.

Pembeli biola bambu Ngatmin juga datang dari berbagai daerah dan negara. Ada yang dari Semarang, Kalimantan, Riau, Jakarta, Bogor, bahkan Malaysia dan Hongkong. Namun, itu tetap belum banyak membantu penjualan.

Setiap ada pemeran, Pemerintah Kabupaten Kudus selalu mengikutsertakan Ngatmin. Cara untuk mengenalkan biola bambu ciptaannya supaya dikenal masyarakat luas.

“Kalau banyak yang tahu, maka biola bambu akan semakin terkenal. Kalau sudah dikenal, orang akan tertarik untuk membelinya,” kata Kepala Seksi Industri Kimia Agro dan Hasil Hutan (IKAHH) Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, Koperasi, dan Usaha Kecil dan Menengah Kabupaten Kudus, Ira Dwi Hapsari.

Namun, kara Ira, selama pandemi, pihaknya tidak banyak memberi dukungan kepada perajin. Hal ini disebabkan anggaran untuk mendukung perajin dipangkas untuk penanganan Covid-19.

Hal senada juga diungkapkan oleh Bupati Kudus, Hartopo. Sejak pandemi, semua kegiatan pameran dilarang, sehingga produk-produk unggulan, seperti biola bambu tidak dapat dipromosikan. “Setelah pandemi berakhir, pasti kami ajak pameran lagi,” janjinya.

Namun, Ngatmin mengatakan bahwa mengikuti pameran saja tidak cukup. Perlu inovasi lain agar biolanya tidak hanya dikenal, tetapi juga dibeli.

Baca Lainnya