Geliat Wajah Jatiwangi
1998 menjadi titik nadir bagi Jatiwangi. Desa penghasil genteng nasional ini pun ambruk akibat krisis ekonomi. Bangkit melalui pendekatan seni dan kebudayaan.
Cerobong asap dari pabrik genteng itu tak lagi mengepul. Hanya menyisakan jejak hitam di pucuk cerobong. Di dalamnya pun tak lagi ada kehidupan seperti sedia kala. Mesin cetak terongok penuh debu. Rak-rak bambu tempat menjemur genteng di beberapa tempat terlihat rapuh. Dan sisa-sisa arang dari kayu bakar menumpuk di dalam tungku. Inilah wajah Jatiwangi saat ini. Genteng, tak lagi menjadi tulang punggung masyarakatnya.
“Pabrik genteng yang ada sekarang sekedar bertahan saja. Harga jual tak sebanding dengan produksi,” ujar Didi, pemilik pabrik genteng Fajar. Saat ini, harga bahan baku seperti tanah liat dan kayu bakar tak sebanding dengan harga jual per gentengnya. Padahal dulu, pabrik gentengnya mampu produksi sebanyak 60 ribu genteng. Mesin-mesin bergetar menyetak produksi genteng.
“Saat ini hanya mampu 20 ribu. Itu pun menunggu pembeli,” ujarnya lesu.
Tanah menjadi bahan baku utama dari pembuatan genteng. Jenis tanah terbaik didapat dari tanah persawahan bagian paling atas. Biasanya, tanah seperti ini sudah tak subur bagi tanaman padi. Pelaku genteng Jatiwangi, menyebutnya tanah ranca minyak. Tak salah jika ada ungkapan “pabrik genteng adalah penjual tanah air”.
“Petani biasanya langsung menimbang tanah dan jual ke pelaku genteng, ” ujar Didi. Bahan baku ini biasanya juga seizin aparat agar tak terjadi kesalahpahaman.
Pada masa puncaknya, pabrik genteng Fajar bisa mendapatkan 50 hingga 100 juta tiap minggu. Saat ini pendapatan terjun payung ke angka 20 juta.
Jatiwangi adalah sebuah kecamatan yang berada di Majalengka, Jawa Barat. Di kecamatan inilah riwayat genteng Indonesia lahir. Jutaan genteng bermutu tinggi dilahirkan dari rahim pabrik-pabrik genteng. Masyarakat Jatiwangi menyebutnya Jebor.
Saat ini ada sekitar 100 jebor yang masih produktif dan menghasilkan genteng. Bahan bakunya berasal dari 16 desa kawasan persawahan sekitar Jatiwangi. Inilah sisa saksi sejarah perjalanan panjang genteng Jatiwangi saat ini. Di mana pernah hidup sekitar 600 jebor. Orang-orang bergeliat bekerja sepanjang hari. Cerobong asap mengepul ke atas langit.
Bagi masyarakat Jatiwangi, jebor adalah tungku kehidupan masyarakat selain bertani. Biasanya dalam satu mesin cetak genteng ada sekitar 15 orang. Mereka biasa bekerja mengoperasikan mesin cetak, memadatkan dan memotong empleng atau tanah liat siap cetak, hingga bagian pembakaran dan penjemuran. Pekerjaan kasar ini melibatkan tenaga kerja laki-laki maupun perempuan.
“ Masyarakat Jatiwangi itu sangat “industrial” sekali. Pilihannya hanya ada dua. Menjadi pengusaha Jebor atau buruh Jebor. Hampir sekitar 90 ribu warga Jatiwangi saat itu tidak ada yang menganggur. Tidak ada satu orang pun setiap harinya yang nongkrong buang-buang waktu. Semuanya bekerja.” Ujar Ginggi Syarief Hasim, salah satu generasi pewaris jebor Jatiwangi.
Pada masa Hindia Belanda, Jatiwangi tercatat sebagai salah satu kawasan perkebunan tebu. Di sini, masih ada sisa bangunan Pabrik Gula Jatiwangi peninggalan kolonial. Berdiri tahun 1848 didirikan oleh R.Twiss. Pada perkembangannya Pabrik Genteng Jatiwangi membutuhkan pasokan genteng dari masyarakat Jatiwangi. Termasuk untuk kebutuhan Gedung perkantoran dan rumah tinggal orang Belanda yang pada tahun 1910 sampai tahun 1930 atap rumbia menjadi penyebab wabah Pess di Hindia Belanda. Sejak saat itu, Jatiwangi pun menggeliat menjadi pusat penghasil genteng dan batu bata era kolonial.
“Sejak tahun 80’an hingga 2000, genteng Jatiwangi ekspor hingga ke Malaysia dan Brunei Darussalam. Ini momen puncak Jatiwangi,” kata Ginggi. Puncak keemasan ekspor genteng Jatiwangi membuat ekonomi kawasan pantai utara ini menggeliat. Masyarakat mampu membeli kendaraan dan menyekolahkan anak-anak ke jenjang perkuliahan. Truk-truk hilir mudik mengangkut pesanan genteng ke berbagai wilayah. “Jatiwangi seperti tak pernah mati,” ingat Ginggi.
Krisis ekonomi 1998 yang melanda global dan prahara politik dalam negeri mengubah wajah Indonesia. Tak terkecuali bagi Jatiwangi yang ikut terlanda badai krisis ini.
Seni Sebagai Jalan Pedang Kreatifitas
Ginggi adalah salah satu pelopor Jatiwangi Art Factory bersama Arief Yudi yang tak lain adalah kakaknya. Idenya sederhana, bagaimana menyelamatkan jebor dan ekonomi masyarakat. Salah satu idenya adalah melalui pendekatan seni. Latar belakang seni memang kental di tubuh keluarganya.
Arief Yudi seorang seniman teater lalu mengajak beberapa kawan sesama seniman. Mereka berpikir keras bagaimana Jatiwangi Art Factory menjadi motor perubahan kawasan dan menjadi ruang komunitas berkeseniaan.
“Jatiwangi tidak memiliki latar belakang seni. Ini memungkinkan saya menemukan pengalaman ruang dan komunikasi baru. Benarkah seni pertunjukan bisa meretas batas publik dan seni,” kata Arief Yudi.
Momen lompatan awal bagi JAF adalah tahun 2006 saat menyelenggarakan performance art internasional atau JAF Festival. Event ini berlangsung setiap 2 tahun sekali hingga 2010. Warga pun belajar dan melihat bagaimana kolaborasi ini terbentuk melalui pendekatan seni. Semangat warga terlihat antusias dan melahirkan berbagai ide dari desanya.
“Desa itu punya kekuatan. Solid sebagai sebuah komunal. Saya melihat Jatiwangi butuh komunikasi dan kemungkinan yang baru,” katanya.
Jatiwangi memang tengah digempur oleh pembangunan. Mulai dari kemunculan berbagai pabrik tekstil, garmen, sepatu, Tol Cipali hingga pembangunan Bandara Internasional Kertajati dan Pusat Ekonomi Segitiga Rebana. Perubahan besar ini membuat Jatiwangi menghadapi berbagai tantangan baru. Dari persoalan tata ruang, urbanisasi, hingga perubahan sosialnya.
“Orang harus tahu apa yang dimiliki warga Jatiwangi. Kita buktikan dengan pertunjukan seni Rampak Genteng,” kata Yudi. Rampak Genteng adalah simbol identitas sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Jatiwangi. Acara ini melibatkan anak-anak, orangtua, seniman dan musisi dari seluruh wilayah Majalengka. Rampak Genteng adalah puncak dari peristiwa tahun tanah yang diperingati setiap tiga tahunnya di Jatiwangi. Selain Rampak Genteng, juga ada Jatiwangi Cup. Sebuah pertunjukan binaraga yang diikuti oleh seluruh pelaku genteng di Jatiwangi. Dua peristiwa tersebut sebagai penanda bahwa masyarakat Jatiwangi adalah masyarakat pengolah tanah liat yang baik.
Lompatan ini membuat Jatiwangi Art Factory semakin yakin dengan jalan seninya. Kemudian JAF diajak bekerjasama dengan beberapa pihak antara lain, Zurich University of the Arts, Swiss dan Design Academy Eindhoven, Belanda untuk melakukan riset dan pendekatan baru mengenai berkesenian. Di tahun 2019, Jatiwangi pun dipercaya menjadi tuan rumah event Indonesia Contemporary Ceramic Biennale atau ICCB yang ke-5. Dan menghadirkan berbagai ahli, seperti arsitek, seniman, desainer, dan ahli lain untuk membaca persoalan Jatiwangi. Salah satu yang lahir dari pertemuan ini adalah konsep terakota sebagai ikon baru bagi pembangunan berkelanjutan Kabupaten Majalengka.
“Konsep pembangunan terakota bisa terwujud karena ada sumber daya alam dan manusianya, Jadi masuk akal apabila Jatiwangi dibangun dari identitasnya sebagai pengolah tanah liat yang baik.” ungkap Arief Yudi.
Ide terakota dari JAF mendapat gayung bersambut dari Pemerintah Daerah Majalengka dan Provinsi Jawa Barat. Identitas Terakota menempel pada setiap bangunan pemerintah. Tak hanya itu. Wajah alun-alun Majalengka pun menjadi ikon khas Majalengka. Perubahan ini mendorong 9 jebor baru untuk memproduksi bata tempel, bata pres, roaster, ubi dan aneka motif lainnya.
Pertemuan Kepala Desa
Jatiwangi memang tengah menghadapi arus pembangunan yang masif di Jawa Barat. Berbagai infrastruktur dan pabrik bergerak ke berbagai daerah. Tantangan ini juga dihadapi oleh Jatiwangi sebagai wilayah kawasan desa secara umum. Untuk menghadapi tantangan ini, Jatiwangi Art Factory mengadakan “Konferensi Kepala Desa : Menuju New Rural Agenda” dan dihadiri oleh puluhan kepala desa di Jawa Barat dan luar Jawa Barat. Dasar pemikiran dari Konferensi tersebut adalah desa diandaikan dapat berdaulat terhadap seluruh sumber daya yang ada di seluruh wilayahnya.
Berbagai kepala desa ini hadir untuk menjawab tantangan desa ke depan. Termasuk perubahan global. Rencananya, hasil pertemuan ini akan dibahas pada KTT New Rural Agenda pada event Documenta 15 di Kassel, Jerman. Dan Jatiwangi Art Factory menjadi salah satu kelompok seniman yang terlibat dalam Documenta 15.
“Masing-masing kepala desa membawa tanah dan dikumpulkan untuk dibawa ke KTT New Rural Agenda di Kassel. Jerman nanti. Termasuk dari berbagai tanah desa di seluruh dunia,” kata Ginggi Syarif Hasyim. Tanah desa ini dengan berbagai statusnya, seperti tanah bengkok, tanah komunitas maupun status-status tanah lainnya yang menjadi sumber kehidupan masyarakat. Ginggi berharap, dunia global saat ini harus memperhatikan isu desa di tengah perubahan sosial, ekonomi dan lingkungan secara global.
“ Membangun desa itu bukan hanya membangun jalan dan irigasi saja. Tetapi lebih penting adalah membangun sejarah, adat, dan budaya desa untuk kemakmuran desa itu sendiri. Negara bisa maju karena desanya maju.” ujar Tarsono, Wakil Bupati Majalengka.
Berbagai masukan, konsep, ide, dan kritik pun deras lahir dari forum ini dalam merespon pembangunan desa ke depan. Mereka berharap berbagai masukan dan gagasan ini bisa menjawab tantangan di berbagai desa di Indonesia. Dengan karakter sosial budaya daerahnya masing-masing.
Tak mudah menghadapi perubahan ini. Bagi Agus Rudianto, Kepala Desa Jatisura, kondisi sosial masyarakatnya juga ikut bergeser seiring banyak program desa. Mulai dari PNPM, Dana Desa dan program lainnya.
“Masyarakat desa kami kental dengan budaya gotong royong. Tapi saat ini sudah terbiasa dibayar dalam urusan pemeliharaan pembangunan desa,” ujarnya.
Ing Solihin yang biasa dipanggil Oing, Kepala Desa Sukaraja Wetan, mengatakan Jatiwangi secara umum tengah berjuang untuk “berdiri di kaki sendiri”. Ia berharap agar ide terakota tumbuh menjadi bisnis baru bagi masyarakat. Salah satunya melalui kerjasama BUMDes Sukaraja Wetan dengan menggenjot produksi bata tempel. Ke depan, BUMDes ini diharapkan menjadi motor untuk mendongkrak kesejahteraan warganya.
“Yang paling penting masyarakat harus merasa memiliki ide terakota ini. Dengan begitu, pasar bisa dibangun,” kata Ila Syukrillah, pendiri jebor baru terakota.