Desa

Lidah Buaya: Menghidupkan Geliat Ekonomi Desa Di Gunungkidul

Lidah buaya dikembangkan warga Desa Katongan, Gunungkidul. Menghidupkan geliat ekonomi warga desanya.

Ariyanto Mahardika
Lidah Buaya: Menghidupkan Geliat Ekonomi Desa Di Gunungkidul
Alan Efendhi menjadi sosok penggerak budidaya lidah buaya di Desa Katongan, Gunungkidul. Ariyanto Mahardika / Kanal Desa

Sejumlah kardus berisi nata de Aloe vera yang dikemas dalam botol dan cup plastik itu dipindahkan dari ruang pengemasan ke teras rumah. Minuman dalam botol-botol kemasan berukuran 250 mililiter bertuliskan ”Aloe Vera Cube Drink” dan cup berukuran 140 mililiter ini hendak dikirim ke pembeli di Ngawen, Gunungkidul.

Dari teras rumah, kardus produk berlabel Rasane Vera itu kemudian ditempatkan pada obrok, tas berbentuk kubus sebagaimana biasa dipakai kurir jasa ekspedisi. Tak semua muat di dalam tas. Sebagian ditaruh di antara kemudi dan ujung depan jok sepeda motor bebek. Sejurus kemudian seorang lelaki dengan baju flanel dan kaus datang dengan sepeda motor bebek berkelir hitam untuk segera dikirimkan pada konsumen.

Penggerak produk minuman ini adalah Alan Efendhi yang berencana untuk dijadikan oleh-oleh. Pusat oleh-oleh memang menjadi salah satu sasaran pemasaran Rasane Vera, alasannya agar perputaran modal bisa lebih cepat bila dibandingkan supermarket.

Olahan Aloe vera ala Alan ini terus berkembang, apalagi jika menilik paa tahun-tahun pertama saat dia memulai usaha. Pemuda kelahiran 1988, itu memang bertekad membuat produk dari dari hulu ke hilir. Artinya, dia ingin membuat mata rantai produksi dari penyediaan bahan baku, pengolahan, hingga pemasarannya. Sebuah impian, mengingat di mata sebagian orang, desa tempat kelahirannya dipandang tak banyak memberi pilihan. Kondisi inilah yang membuat sebagian pemuda desa termasuk Alan juga keluarganya merantau.

Alan yang sempat mengenyam pendidikan di bidang sistem informasi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, dihadapkan pada pilihan sulit. Jakarta tak mudah ditaklukkan, namun di sisi lain dia merasa desa kurang memberi alternatif peluang. Ibunya lebih dulu kembali ke Gunungkidul, sedangkan masa kontrak ayahnya yang bekerja di kawasan Ancol, Jakarta Utara hampir habis. Sementara itu, dia tetap berada di ibu kota melakoni berbagai pekerjaan mulai dari butik hingga perusahaan jasa kontraktor.

Aloe vera atau lidah buaya tumbuh subur di lahan kering seperti di wilayah Gunungkidul, Yogyakarta. Turut memberi dampak ekonomi bagi warga Gunungkidul.
Aloe vera atau lidah buaya tumbuh subur di lahan kering seperti di wilayah Gunungkidul, Yogyakarta. Turut memberi dampak ekonomi bagi warga Gunungkidul. Lokadata / Lokadata

Badan di Jakarta, tetapi hati dan pikirannya di Gunungkidul. Begitulah Alan, dia harus menjawab besar guna membuka kesempatan berwirausaha. Di lahan dengan karakter begitu khas, tanaman apa yang sekiranya cocok dibudidayakan di desanya, mudah dirawat, bermanfaat, plus mempunyai nilai ekonomis. Pilihannya jatuh ke lidah buaya. Dia yakin tanaman yang juga tersohor dengan nama lidah mertua ini bisa tumbuh baik lebih dari sekadar tanaman hias.

Pada 2014, dia lalu membeli bibit varietas aloe chinensis baker dari Sidoarjo, Jawa Timur yang kemudian ditanam ibunya atas arahan dari Sang Putra. Pemilihan komoditas tanaman ini sejatinya sudah melalui berbagai riset mandiri melalui Internet. Widodo bercerita saat putranya menanam lidah buaya tak dihiraukan warga bahkan dibilang aneh karena dianggap tak lazim.

”Dulu itu ya warga bilang ana-ana wae ilat baya kok ditandur, sapa sing gelem tuku [ada-ada saja lidah buaya kok ditanam, siapa yang mau beli],” kata Widodo yang mengisahkan awal kiprah Alan menggeluti tanaman yang diperkirakan berasal dari barat daya Jazirah Arab itu.

”Akhirnya kerinduan kepada ibu membawa saya pulang ke desa,” kenang Alan.

Alam Gunungkidul yang dikenal kering, air tak melimpah, diyakini tetap bisa memberi harapan meski penuh tantangan. Apalagi, kata Alan, lidah buaya baru membuahkan hasil setelah setahun. Sembari itu dia menyiapkan produksi minuman dari tumbuhan yang memang dikenal mempunyai berbagai manfaat untuk kesehatan ini.

Lidah buaya bisa dibudidayakan di lahan terbatas dan bisa menjadi potensi ekonomis bagi keluarga.
Lidah buaya bisa dibudidayakan di lahan terbatas dan bisa menjadi potensi ekonomis bagi keluarga. Ariyanto Mahardika / Kanal Desa

Secara tradisional getah Aloe vera berkhasiat mempercepat pengeringan luka, bagus untuk pertumbuhan rambut dan regenarasi kulit, juga mengatasi sembelit. Hal itu karena mengandung mineral, enzim, antioksidan, vitamin A, C, dan C. Kandungan inilah membuat Aloe vera dipakai sebagai bahan dalam industri obat, makanan, dan kosmetika.

Setelah sekitar dua tahun, pemuda yang berlatar pendidikan menengah jurusan automotif, lidah buaya yang ditanam dan diolahnya mulai menampakkan hasil. Produk minuman bikinannya mulai mendapat sambutan warga. Awalnya kemasannya masih sederhana, hanya dibungkus plastik dan diikat karet gelang. Para pedagang keliling berebut memasarkannya. Alhasil dia kewalahan bahan baku. Dia lalu mengajak saudara terdekat untuk mengikuti langkahnya.

”Yakinlah lidah buaya yang ditanam bakal terserap. Setelah melihat hasilnya warga lain juga tertarik, mereka juga menanam di pekarangan, dan lahan kosong di sekitar rumah” jelas Alan.

Saat keinginan warga bertumbuh, upaya Alan itu mendapat sokongan dari BMT Dana Insani , lembaga keuangan mikro. Koperasi itu menyediakan bibit secara gratis untuk ditanam warga. Tak melulu bahan baku, Alan juga memutar otak agar produknya agar bisa lebih awet. Produksi memang bertambah, tapi banyak pula yang kembali karena kedaluwarsa. Maklum saja, produk awal dari minuman buatannya bertahan hanya bilangan hari.

Produk minuman lidah buaya dikemas secara modern dan disebarkan di pusat oleh-oleh Gunungkidul.
Produk minuman lidah buaya dikemas secara modern dan disebarkan di pusat oleh-oleh Gunungkidul. Ariyanto Mahardika / Kanal Desa

Kurang lebih tiga tahunan Alan dalam situasi itu, sampai kemudian datanglah asistensi dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pemilihan bahan baku, peralatan dan proses produksi mesti diperbaiki dan sesuai standar. Kandungan dalam minuman sampai waktu kedaluwarsa pun dicantumkan dalam kemasan. Seiring berjalannya waktu, dia memeroleh fasilitas sertifikat izin pangan industri rumah tangga dan sertifikasi halal. “Dulu itu hanya bertahan tiga sampai lima hari,” katanya.

Kini sekitar 120 ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok wanita tani (KWT) turut menanam lidah buaya. Ada yang ditanam di pinggir jalan, ada pula yang menanam di halaman rumah. Bahkan ada pula mitra dari Klaten yang turut memasok bahan baku. Pelepah-pelepah lidah buaya itu kemudian dibeli Alan berdasarkan mutunya.

”Pelepah yang masuk grade super dibeli Rp3.000 per kilogram, grade A dibeli Rp2.000, lalu grade B Rp1.000. Katakankah mampu menghasilkan 50 kilogram untuk grade A, maka akan menghasilkan sekitar Rp100.000 per minggu itu tergantung masa panen ya,” terang dia.

Kerja keras Alan antara lain juga dirasakan Marni, warga yang tinggal tak jauh dari lahan yang dikelola Alan. Dia juga menjadi penyuplai pelepah lidah buaya. Tanaman itu ditanam di halaman dan samping rumahnya. “Lumayan bisa buat nyangoni [uang bekal] anak sekolah,” kata Marni sambil memotong pelepah yang hendak dijadikan pupuk guna menambah subur tanaman miliknya. Selain itu, Marni juga sering dilibatkan untuk menerima tamu yang berkunjung untuk belajar budidaya Aloe vera.

Olahan lidah buaya menjadi produk unggulan desa yang bisa memberi dampak pada ekonomi petaninya.
Olahan lidah buaya menjadi produk unggulan desa yang bisa memberi dampak pada ekonomi petaninya. Ariyanto Mahardika / Kanal Desa

Di luar pusat oleh-oleh, produk Alan juga acap kali dipesan lembaga-lembaga pemerintahan. Dengan karyawan delapan orang dan peranti produksi yang dipunyai, Alan bilang kini dia mampu mengolah sekitar 500 kilogram pelepah lidah buaya per hari. Alan tak hanya menanam dan mengolah, dia juga menambah fungsi lahan lidah buayanya dengan menjadikannya sebagai lokasi wisata edukasi. Ini sudah dirintis sejak awal 2018 lalu. Di tempat itu, pengunjung bisa melihat dari proses menanam hingga menjadi produk akhir sebelum dipasarkan.

Area sekitar 500 meter persegi tersebut menjadi tempat penyediaan bahan baku sekaligus pembelajaran. Di samping lahan dan di depan ruang pengemasan ada saung. Semula tempat itu merupakan kandang sapi, tetapi kini dipergunakan untuk menerima tamu. Di depan rumah terdapat kanopi juga ada papan nama ’’Aloe Land Kampung Wisata Edukasi’’ yang merupakan bantuan dari Dompet Dhuafa, lembaga bantuan amal yang pada masa itu didirikan Harian Republika.

“Ada anak sekolah, ada yang daerah lain dari berbagai wilayah Indonesia. Banyak yang datang ke sini, bahkan ada yang datang dari Malaysia, Filipina,” kata Widodo.

Sepak terjang Alan itu tak pelak mengantar menjadi Penerima Apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2023 Bidang Kewirausahaan. Dia pun masih mempunyai mimpi lain yaitu bisa mengekspor produknya dalam tiga tahun hingga lima tahun mendatang. Obsesi tersebut diharapkan lekas terwujud melalui Mount Vera Sejati, perusahaan yang didirikannya. Pencapaian Alan itu bisa menjadi inspirasi pemuda yang lain agar kembali berpaling ke desa.

Baca Lainnya