Geliat Bisnis Tungku Tradisional
Desa Kebaman, Banyuwangi menghasilkan tungku berkualitas. Dimotori oleh anak muda yang ingin mengangkat tungku sebagai produk unggulan desa.
Siapa yang tak kenal dengan tungku. Sebuah tempat memasak tradisional yang menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Di tengah gempuran masif alat memasak modern kompor gas, ternyata tungku hingga kini masih eksis dan diam-diam banyak diminati masyarakat luas.
Tungku atau luweng kerap dianggap sebelah mata. Bahkan sering disebut barang kuno, jadul dan ketinggalan zaman. Namun tahukah Anda, perputaran uang dalam bisnis tradisional ini sangat menggiyurkan. Omzet per bulan cukup fantastis. Yakni mencapai Rp 26 juta.
Di Desa Kebaman, Kecamatan Srono, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, ada 11 pabrik tungku tradisional yang berdiri. Salah satunya milik Firhan Hafids (25), pengusaha tungku di Dusun Blangkon, Desa Kebaman. Bersama dengan Widarsono, pengusaha muda itu berhasil membangun usaha Pabrik Luweng Apollo Jaya sejak tahun 2018.
Keduanya punya tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam mengelola usaha itu. Widarsono sebagai pengelola, sedangkan Firhan Hafids sebagai pemilik lahan.
"Ini usaha bersama. Kita saling mengisi dan kerjasama," kata Hafids. Menurut Hafids, pabrik tungkunya itu mulai produksi sejak tahun 2018. Pabrik yang berada tak jauh dari rumahnya itu, berdiri di lahan kosong miliknya seluas 875 meter persegi.
Hafids yang juga merupakan Bendahara Karang Taruna Desa Kebaman itu menjelaskan, pabrik tungku tradisional yang ada di Dusun Blangkon sudah ada sejak sekitar tahun 2005 silam. "Pionernya pak Wilis dulu sekitar tahun 2005," ucap Hafids yang lulusan dari Fakultas Pertanian Universitas 17 Agustus 1945, Banyuwangi.
Menurutnynya, ada tiga jenis ukuran tungku yang diproduksi di pabriknya. Mulai yang terkecil hingga besar. Tungku yang kecil berukuran diameter 30 centimeter dengan tinggi 40 centimeter. Tungku ukuran ini dijual dari pabrik seharga Rp 26 ribu per unit. Sedangkan tungku yang besar, memiliki ukuran diameter 45 centimeter dengan tinggi 55 centimeter. Per unit harganya Rp 50 ribu.
Sementara untuk tungku gandeng atau double kolong mempunyai diameter 30 centimeter, panjang 60 centimeter dan lebar 40 centimeter. Harga per unit dari pabrik tungku ini Rp 75 ribu.
"Khusus yang gandeng double kolong ini kami produksinya tergantung pesanan," terang Hafids. Alasan Hafids tidak memproduksi setiap hari karena tungku jenis gandeng, peminatnya khusus. "Biasanya dipakai pas hajatan, atau pesanan dari warung makan gitu," tuturnya.
Proses Produksi
Jika cuaca sedang terik, dalam sehari pabrik tungkunya itu mampu membuat 90 unit tungku berukuran kecil. Namun jika kondisi cuaca tidak mendukung. Hujan misalnya, hanya mampu memproduksi 60-an bahkan hanya 30 unit saja.
"Jika dirata-rata, produksi perbulan mencapai 1000-1500 unit tungku. Semuanya sangat tergantung kondisi cuaca," terangnya. Bahkan saat hujan deras Hafids pernah malah tidak produksi tungku sama sekali.
"Apalagi proses produksinya hingga siap jual kan cukup panjang. Tidak bisa hanya sehari dua hari," ucapnya. Hafids menjelaskan, bahan baku produksi tungku yang digunakan adalah campuran dari sari tanah liat, abu sekam warna hitam putih dan air untuk merekatkan.
"Semua bahan itu dicampur lalu diaduk menjadi satu. Hitunganya per satu meter kubik sari tanah dapat mencetak 30 unit tungku," ucap Hafids. Mula-mula sekam padi warna hitam dan putih yang sudah dibakar dicampur menjadi satu. Dalam pencampuran itu membutuhkan 8 karung sekam. Per karung kisaran bobot 20 kilogram.
"Sekam warna hitam per karung harganya Rp 4 ribu. Sedangkan sekam warna hitam per karung Rp 6 -7 ribu. Beda harga karena beda fungsi," ucap Hafids. Dikatakan, sekam warna hitam digunakan untuk pembakaran supaya awet, dan sekam warna putih berfungsi sebagai perekat atau lem.
Setelah kedua bahan tercampur, baru kemudian dimasukkan ke dalam kolam air sebanyak 6 meter kubik. Proses pencampuran dilakukan hingga benar-benar halus dan merata. "Kurang lebih membutuhkan waktu 4 jam," terang Hafids.
Selanjutnya campuran bahan-bahan tersebut dituangkan ke dalam cetakan tungku. Lalu dibiarkan terlebih duhulu sampai mengendap hingga air adonan bahan mengering.
"Memakan waktu sekitar hampir dua hari," ucapnya. Setelah adonan kering, cetakan kemudian dilepas dan baru di press. Setelah dipress, adonan tungku dilubangi. Lalu diperet dan dijemur. Saat proses penjemuran inilah yang kemudian memakan waktu karena tergantung dengan kondisi cuaca.
"Setelah diperet dan dijemur, lalu proses pembakaran. Setelah kering baru diwarnai menggunakan cat. Semua proses membutuhkan waktu selama kurang lebih dua minggu," ucap Hafids.
Dalam proses produksi itu melibatkan delapan orang karyawan. Mereka masing-masing sudah punya tugas dan tanggung jawab sendiri. "Bagian cetak 2 orang, pres 2 orang, nggerong 1 orang, nyengki 1 orang, membakar 1 orang dan bagian mewarnai 2 orang," terang Hafids.
Delapan orang karyawan itu dibayar sesuai dengan bagian dan jam masing-masing. Jadi tidak sama. "Namun rata-rata per orang Rp 1,5 sampai Rp 2 juta perbulan," ungkapnya.
Terkait pemasaran beda lagi. Ada sales khusus yang bertugas di lapangan. Itu dibedakan berdasar lokasi kirim antara pasar lokal dan luar kota.
"Yang ngambil ke luar kota ada tiga orang dengan dua armada. Satu orang dengan mobil Pikap L300, diambil 3 hari sekali sebanyak 120 unit. Dikirimnya ke seluruh Jawa Timur dan Bali," ungkapnya. Sedangkan dua orang lainnya, mengirim tungku menggunakan truk diesel ke wilayah Cilacap sebulan sekali. Total yang dikirim ada sebanyak 400 unit.
"Sementara untuk mensuplai tungku di wilayah lokal Banyuwangi, menggunakan kendaraan sepeda motor. Ada dua orang sales, per orang membawa 10-12 unit per hari," ungkap Hafids.
Melibatkan Warga Desa
Hafids memastikan, hampir semua karyawan di pabrik tungku tradisional tersebut merupakan warga Desa Kebaman. Yusuf, salah satu karyawan di Pabrik Apollo Jaya mengaku bersyukur dapat bekerja menjadi pengrajin tungku.
"Saya sudah dua tahun menekuni bidang tungku ini," ujar Yusuf.
Sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab menghidupi istri dan seorang anaknya, Yusuf mengaku senang sebab memiliki pekerjaan tetap. Sebelumnya, ia bekerja serabutan. Kini, ia tak hanya di bagian produksi. Yusuf juga turut membantu di bagian pemasaran tungku.
Selama ini kebanyakan pemasaran pabrik tungku yang ada di Desa Kebaman paling banyak melalui offline. Sedangkan online belum banyak dilakukan.
"Mungkin cuma Facebook, itupun jarang-jarang," ucap Hafids menimpali.
Dia menjelaskan kendala yang dihadapi dalam proses usahanya justru bukan pemasaran mencari pelanggan. Tapi persoalan bahan baku. Sekam dan tanah harus jenis khusus. Tidak bisa sembarangan tanah digunakan, karena yang diambil adalah sarinya.
Permintaan akan tungku tradisional semakin tokcer kala hari besar, seperti idul Fitri, Idul Adha, hingga Galungan. Momen seperti ini biasanya permintaan tungku semakin besar. Termasuk mulai merambah pasar internasional, seperti Australia yang pernah memesan sebanyak 500 unit melalui pengiriman di Bali.
Hafids percaya bisnis tungku tradisional tidak akan kehilangan pasar di saat serba instan. Tungku tradisional menawarkan sensasi masak dan nilai eksotik kebudayaan masyarakat Nusantara.