BUMDes

Ragam tantangan pendampingan BUMDes

Banyak tantangan yang dihadapi BUMDes, mulai dari soal penganggaran, SDM, sampai pengelolaan bisnis. Perlu peran dan kerjasama beragam pihak untuk mengatasi tantangan berat ini.

M Yusuf Khamdani
Ragam tantangan pendampingan BUMDes
Pemandangan alam desa dari udara Kanal Desa / Kanal Desa

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan salah satu lembaga yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak perekonomian di desa. Sebuah harapan besar digantungkan padanya. Oleh karenanya, pemerintah melalui Kementerian Desa, setiap tahun juga telah memberikan dukungan kebijakan dalam bentuk prioritas penggunaan dana desa untuk pengembangan BUMDes. Pada 2023, BUMDes menjadi salah bagian dari prioritas penggunaan desa dalam payung pemulihan ekonomi nasional sesuai kewenangan desa (PP Nomor 8 2022).

Hal ini selaras dengan dasar regulasi BUMDes, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2021, yang menegaskan beragam fungsi dari Badan Usaha Milik Desa. Pertama, melakukan kegiatan usaha ekonomi melalui pengelolaan usaha, serta pengembangan investasi dan produktivitas perekonomian, dan potensi desa. Kedua, melakukan kegiatan pelayanan umum melalui penyediaan barang dan/atau jasa serta pemenuhan kebutuhan umum masyarakat desa, dan mengelola lumbung pangan desa. Ketiga, memperoleh keuntungan atau laba bersih bagi peningkatan pendapatan asli desa serta mengembangkan sebesar-besarnya manfaat atas sumber daya ekonomi masyarakat desa.

Tenaga pendamping profesional (TPP) selaku kepanjangan tangan dari Kemendesa PDTT juga didorong untuk terus bergerak memberikan pendampingan dan fasilitasi kepada BUMDes. Baik yang bersifat peningkatan kapasitas pengurus maupun pendampingan teknis pengelolaan usaha.

Cerita tentang kisah sukses tentu banyak kita dengar. Banyak yang bahkan mengunjungi lokasi dan belajar langsung kepada para pelaku untuk studi tiru, mulai dari mekanisme pembentukan sampai tingkat manajemen usaha BUMDes. Namun, berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut rupanya belum berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh saat ini. Masih banyak BUMDes yang masuk dalam kategori "zona merah", alias mati suri. Hal tersebut terjadi karena banyaknya permasalahan yang melilit BUMDes.

BUMDes Tunjungseto Bae, Kabupaten Kudus memanfaatkan 'persoalan' desa menjadi salah satu kegiatan usahanya, bank sampah. Terlihat pengelolan kegiatan usaha sampah, Miftah, menimbang sampah-sampah ekonomis dari warga.
BUMDes Tunjungseto Bae, Kabupaten Kudus memanfaatkan 'persoalan' desa menjadi salah satu kegiatan usahanya, bank sampah. Terlihat pengelolan kegiatan usaha sampah, Miftah, menimbang sampah-sampah ekonomis dari warga. Choirul Anang / Kanal Desa

Lilitan persoalan BUMDes

Pertama, berkaitan dengan analisis usaha. Analisis usaha sejatinya dilaksanakan oleh tim perumus kelayakan usaha yang seharusnya adalah orang-orang pilihan dari masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang mengerti dan memahami arti sebuah bisnis yang dapat mendatangkan keuntungan dan sustainable. Namun yang banyak terjadi, mereka yang menjadi perumus adalah hanya didasarkan pada "keaktifan dalam forum".

Permasalahan seperti ini menjadi tantangan dalam pendampingan di lapangan. Para pendamping desa menggunakan beberapa teknik fasilitasi untuk menengahi persoalan ini. Di antaranya dengan membersamai desa untuk melihat potensi desa masing-masing.

Potensi desa ini dapat dilihat melalui sumber-sumber dokumen potensi desa, baik melalui aplikasi maupun dokumen-dokumen yang ada di desa. Dokumen tersebut dipilih berdasarkan potensi kebutuhan yang dapat dijadikan usaha BUMDesa. Potensi ini dapat berupa potensi alam maupun nonalam, potensi alam atau potensi produk olahan. Potensi dalam analisis tidaklah harus berupa sesuatu yang muncul dengan mudah, khas dan banyak ditemukan, tapi juga berupa masalah yang sering ditemui masyarakat. Menjadi penghubung masalah dan kebutuhan masyarakat itulah potensi yang sebetulnya.

Setelah melakukan analisis potensi, diperlukan pula penyusunan prioritas. Untuk menemukan prioritas ini, BUMDes bersama pendamping desa dapat memanfaatkan beberapa cara. Pertama, dengan melakukan transek. Kegiatan ini berupa pengkajian kondisi lapangan langsung tentang semua potensi yang ada di desa yang nantinya akan dikembangkan dengan nilai plus-minusnya. Kedua, wawancara semi terstruktur dengan tokoh-tokoh yang dirasa mempunyai wawasan tentang manajemen dalam berbisnis. Ketiga, analisis SWOT, sebuah tehnik analisis untuk memprioritaskan beberapa usulan untuk dikerucutkan menjadi kebutuhan utama.

BUMDes Wonosoco, Kabupaten Kudus, menghidupkan kembali wisata desanya dengan menyelenggarakan pasar tiap 'Minggu Legi'. Para pedagang kecil tradisional menjajakan jajanan pasar dan makanan tradisional khas Kudus.
BUMDes Wonosoco, Kabupaten Kudus, menghidupkan kembali wisata desanya dengan menyelenggarakan pasar tiap 'Minggu Legi'. Para pedagang kecil tradisional menjajakan jajanan pasar dan makanan tradisional khas Kudus. Kanal Desa / Kanal Desa

Persoalan kedua yang melilit BUMDes adalah penganggaran. Untuk menjadi BUMDes yang ideal tentu dalam penganggaran harus maksimal dan tentunya sesuai dengan kebutuhan. Biasanya, BUMDes hanya mendapatkan "anggaran sisa". Ini merupakan salah satu tantangan bagi pendamping desa dalam mendampingi BUMDes dalam Musyawarah Desa (Musdes) perencanaan desa. BUMDes yang diharapkan dapat menjadi tulang punggung dalam sumber untuk Pendapatan Asli Desa harus diprioritaskan dalam perencanaan desa sebelum mengusulkan kegiatan lain.

Ketiga, persoalan pengelolaan. Pengelolaan BUMDes ini terkait dengan SDM yang ada di desa. Mulai dari persoalan kapasitas manajerial, masalah komitmen dan motivasi yang rendah. SDM yang memiliki kapasitas unggul di bidang manajerial, berkomitmen dan memiliki motivasi yang bagus menjadi syarat utama supaya BUMDes bisa berjalan dengan baik. Persoalannya adalah sangat sulit bagi desa untuk mendapatkan pengelola BUMDes dengan kualifikasi ideal seperti itu.

Bukan berarti di desa tidak ada SDM yang berkualifikasi tersebut, tetapi persoalannya orang yang berkualifikasi unggul umumnya telah memiliki pekerjaan tetap di tempat lain. Kalaupun mau mengelola BUMDes maka itu hanya sebatas sambilan saja. Artinya konsentrasi dan fokus kinerja tidak sepenuhnya berada di BUMDes, meskipun status mereka sebagai pengelola. Sementara BUMDes yang baru merintis tentu saja tidak mampu mengambil tenaga profesional secara penuh karena persoalan anggaran. Akibatnya, BUMDes dikelola secara asal dengan SDM apa adanya. Lebih parahnya, mereka juga belum memiliki komitmen dan belum memiliki motivasi yang bagus untuk mengembangkan BUMDes. Karena merasa tidak ada ikatan secara profesional. Sederhananya, mereka tidak begitu ambil pusing kalau pun BUMDes yang dikelola tidak berjalan dengan baik atau bahkan kolaps. Inilah sebenarnya biang persoalan yang menimpa BUMDes secara umum.

Dalam hal pendampingan untuk kebaikan BUMDes dan kemajuan desa, pendamping desa menempuh cara apa saja demi mewujudkan hal tersebut. Mulai dari pembinaan sampai dengan peningkatan kapasitas. Dalam konteks Kabupaten Kudus, pendamping desa juga bekerjasama dengan pihak swasta, dalam hal ini PT Djarum, untuk pelatihan dan pendampingan mulai dari perencanaan usaha sampai manajemen BUMDes.

Inilah beberapa catatan merah yang menjadi tantangan serius dalam membangun BUMDes. Diluar permasalahan tersebut tentunya masih terdapat banyak masalah jika dieksplorasi lebih dalam. BUMDes, dibalik harapan yang digantungkan, nyatanya memang masih menyisakan tantangan yang tidak ringan.

*M Yusuf Khamdani adalah koordinator Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) P3MD Kabupaten Kudus.

Baca Lainnya