BUMDes

Ragam model modal BUMDes

Rencana usaha, model bisnis, dan SDM mumpuni menjadi kunci.

Syarahsmanda Sugiartoputri
Ragam model modal BUMDes
Pembicara webinar desa #3 dengan tema, “Menggali Potensi Permodalan BUMDes” yang dihelat Lokadata dan PT Djarum lewat Zoom dan Youtube, Kamis (3/12/2020). Lokadata /

Kendala terbesar Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam mencari permodalan di luar Dana Desa adalah status hukumnya. Industri keuangan atau perbankan belum menganggap BUMDes sebagai badan hukum.

Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar mengatakan dengan disahkan UU Cipta Kerja, kini status BUMDes menjadi badan hukum. Menteri Desa yang kerap disapa dengan panggilan Gus Menteri mengatakan, dengan status badan hukum, BUMDes bisa menjadi ujung tombak peningkatan ekonomi di desa dan lincah dalam mengembangkan usaha serta dimudahkan dalam pinjaman untuk permodalan.

Lebih lanjut Gus Menteri menjelaskan, saat ini Kemendes masih menyusun Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) yang akan disahkan oleh Presiden. Selain itu sudah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) agar nanti ada nomor registrasi setiap BUMDes.

Gambaran teknisnya, menurut Gus Menteri, setelah semua aturan teknis disahkan, akan ada registrasi setiap BUMDes oleh Kementerian Desa. Namun registrasi itu bukan status pengesahan, hanya sebagai ID atau identitas setiap BUMDes yang akan diserahkan ke Kemenkumham.

“Jadi karena sudah menjadi badan hukum, BUMDes bisa mendirikan badan hukum lain untuk lini usahanya dalam bentuk CV atau PT. Itu tujuan dari registrasi itu sendiri, terdaftar di Kemenkumham beserta badan hukum yang didirikan oleh BUMDes,” ujar Gus Menteri dalam webinar desa #3 dengan tema, “Menggali Potensi Permodalan BUMDes” yang dihelat Lokadata dan PT Djarum lewat Zoom dan Youtube, Kamis (3/12/2020).

Pembicara lain dalam webinar itu adalah Pembina BUMDes Sekapuk, Desa Sekapuk, Kabupaten Gresik, Abdul Halim. Kemudian Joko Winarno (Direktur BUMDes Ponggok, Desa Ponggok, Kabupaten Klaten 2016-2019), dan Hanawijaya (Direktur Bisnis Ritel dan Unit Usaha Syariah Bank Jateng), serta Purwono Nugroho (Public Affairs Senior Manager PT Djarum) dan acara dipandu oleh Iqbal Prakasa dari Lokadata.id.

Selain menyinggung badan hukum, Gus Menteri juga membahas jenis usaha BUMDes menyesuaikan dengan potensi desa yang dimiliki dan jenis usaha yang tidak mematikan usaha warga yang sudah ada sebelumnya. Serta menjelaskan sumber-sumber permodalan BUMDes di luar dana desa.

Seperti dicontohkan, modal usaha yang bersumber dari masyarakat dalam bentuk saham BUMDes. Hal itu diperbolehkan, asal uang yang dikumpulkan itu untuk menjalankan usaha BUMDes, bukan di luar itu serta berdasarkan kesepakatan warga, BUMDes, dan Desa.

“Jika pengumpulan dana warga oleh BUMDes dan uangnya diputar untuk pihak lain. Itu sudah lain hal, berarti jenis usahanya BUMDes itu bidang keuangan. Jika seperti itu, harus taat dengan aturan perbankan, OJK, atau perundangan terkait lainnya,” terang Gus Menteri.

BUMDes menjadi badan hukum, menurut Gus Menteri, tidak membuat BUMDes menjadi aturan baru yang khusus. Namun, ketika lini usaha BUMDes dalam bentuk PT atau CV harus tunduk pada aturan perseroan dan tunduk aturan terkait bidang usahanya.

Gus Menteri juga sampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung program peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola BUMDes. Sebab SDM adalah modal penting dalam kesuksesan dan kemajuan BUMDes.

PT Djarum dukung BUMDes di Kudus

Public Affairs Senior Manager PT Djarum, Purwono Nugroho dalam sambutannya mengatakan BUMDes memiliki kapasitas besar untuk memajukan ekonomi desa. Jika itu optimal, pengaruh ekonomi desa signifikan terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan. Sebab jumlah penduduk di desa, lebih banyak daripada yang tinggal di perkotaan.

“Kami sadar akan hal itu. Kami berupaya mengambil peran dalam peningkatan SDM pengelola BUMDes di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, lewat pelatihan meningkatkan kemampuan manajerial, pengenalan potensi usaha desa, analisa usaha, pelatihan pengelolaan keuangan dan yang lainnya,” kata Purwono.

Sejak dua tahun lalu, PT Djarum menggandeng Lokadata, Dinas PMD Kudus, Penabulu Foundation, dan Blibli dalam peningkatan kapasitas pengelola BUMDes di Kudus. Selain pelatihan juga pendampingan untuk pemasaran, mulai dari branding, pengemasan produk, desain produk, hingga pemasaran online.

Rangkaian webinar ini adalah awalan sebelum menuju pelatihan dan pendampingan BUMDes. Tahun lalu, pelatihan BUMDes diadakan secara luring dan terbatas hanya bisa diikuti oleh pengurus BUMDes di Kudus. Saat ini sedang dipersiapkan platform pelatihan daring yang akan diluncurkan tahun depan situs kanaldesa.com.

Serial webinar desa yang diselenggarakan Lokadata dan PT Djarum dilaksanakan dalam tiga tahap dengan tema-tema yang berbeda sejak November-Desember 2020. Seri #1 dengan tema, “Adaptasi Bisnis BUMDes pada Masa Kenormalan Baru”. Seri #2 dengan tema, “Optimalisasi Aset Desa untuk Pengembangan Badan Usaha Milik Desa”, dan Seri #3, “Menggali Potensi Permodalan BUMDes”.

Menggali Potensi Permodalan BUMDes

Investasi warga dan pinjaman bank

BUMDes Tirta Mandiri, Ponggok, Klaten, Jawa Tengah adalah contoh wajib kutip dalam setiap seminar atau bahasan tentang BUMDes. Dikenal dengan wisata airnya yang tersohor dan omsetnya mencapai miliaran rupiah.

Namun tak banyak yang tahu dari mana modal awal BUMDes Ponggok bermula. Sebab setiap usaha membutuhkan modal untuk menggerakkan sistem usahanya.

Joko Winarno menjelaskan sumber modal BUMDes Ponggok bermula dari investasi warga dan dialihkan dalam bentuk bagi hasil ketiga untung. Untuk menyakinkan warga BUMDes harus memiliki rencana usaha, analisis bisnis, dan proyeksi pendapatan yang terukur.

Versi ringkasnya seperti itu, namun butuh waktu dan usaha keras untuk meyakinkan warga mau berinvestasi pada usaha wisata. Apalagi hanya bermodalkan kertas untuk rencana usaha dan model bisnis dengan proyeksi menguntungkan.

Sayangnya, momentum dan kondisi tidak pernah peduli apalagi memberi diskon atas keperluan modal yang dibutuhkan untuk membangun kompleks wisata air di desanya.

“Kami merasa momentum sudah di depan mata, harus cepat dieksekusi. Namun investasi warga masih kurang. Hingga kami harus ke bank untuk pinjaman, saat itu belum ada UU Desa 2014. Kami jalan untuk proses usaha BUMDes sekitar tahun 2012,” kata Joko.

Tak mudah meyakinkan bank dalam masa gelapnya regulasi desa saat itu. Apalagi modal usaha dengan modal miliaran rupiah dan berada di bawah usaha milik desa. Hal yang belum lazim pada masa itu.

Direktur Bisnis Ritel dan Unit Usaha Syariah Bank Jateng, Hanawijaya mengenang, pengajuan pinjaman BUMDes Ponggok itu terlihat unik dan tak lazim, mungkin yang pertama. Dia menjelaskan, saat itu pengajuan pinjaman diajukan ke Bank Jateng Cabang Klaten.

Menurut Hanawijaya, meski tidak ada regulasi saat itu, pihaknya menawarkan beberapa tawaran dan syarat untuk mencairkan pinjaman. Seperti adanya jaminan aset atas nama BUMDes atau pihak ketiga sebagai penjamin.

Namun di luar semua itu, menurut Hanawijaya, hal yang paling penting saat Bank Jateng memberi pinjaman Rp2 miliar kepada BUMDes Ponggok bukan pada aset yang dimiliki. Namun visi Kepala Desa, BUMDes, dan rencana usaha dan model bisnis yang akan dijalankan, serta kapasitas yang dimiliki atau kemampuan mengembalikan pinjaman.

“Bagi bank semua itu nilainya jauh lebih tinggi dari aset. Rencana dan model bisnis harus selesai di level BUMDes, baru kami akan mengeceknya. Tanpa itu kami sulit untuk memverifikasinya dan memberikan pinjaman,” terang Hanawijaya.

Model investasi warga dan pinjaman bank juga dilakukan oleh BUMDes Sekapuk, Gersik, Jawa Timur. Menurut Kepala Desa Sekapuk, Abdul Halim sebelum jadi desa dengan omset miliran saat ini, semua pihak termasuk bank meremehkannya, karena identik dengan desa yang miskin dan kumuh.

“Tidak ada yang melirik kami saat itu. Sudah miskin tak punya rasa percaya diri, lagi. Namun dengan model usaha yang jelas kami bisa meyakinkan warga untuk investasi dan pakai jaminan tanah saya untuk dapat pinjaman dari bank sekitar Rp500 juta dari bank di Jawa Timur,” ujar Abdul Halim.

Pesan Abdul Halim kepada desa lain, adalah memajukan ekonomi desa saat ini bukan hal yang mustahil. Asal ada kemauan serta komunikasi dengan semua elemen masyarakat. Kunci pentingnya, menurut Abdul Halim, model bisnis yang jelas dan SDM yang akan mengelolanya.

Membuat rencana usaha dan model bisnis itu membutuhkan SDM yang bagus dan mau bekerja keras. “Maka kita di desa wajib menjaga mereka. Ketika sudah dapat keuntungan usaha, untuk menjaga SDM di desa kami naikkan gaji pegawainya setara dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota. Ini agar berkesinambungan bagi desa,” kata Abdul Halim.

Menurut Hanawijaya, saat ini banyak model dan sumber permodalan BUMDes yang bisa digunakan. Apalagi dengan semakin berkembangnya industri keuangan di Indonesia saat ini dan regulasi yang jelas.

Dia mencontohkan selain investasi warga, seperti model Peer to Peer Lending (P2P Lending), konsep pembiayaan pada satu usaha yang dilakukan secara banyak pihak. Kemudian pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk UMKM yang rentang nilainya dari Rp10-500 juta untuk personal dan rentang Rp500 juta sampai 10 miliar untuk badan/lembaga.

Saat ditanya, apakah dengan jaminan Menteri Desa lewat UU Cipta Kerja, BUMDes menjadi badan hukum mudah untuk mendapatkan pinjaman dari bank? Hanawijaya menjawab, agar semua pihak menunggu proses yang masih dilakukan pemerintah saat ini.

“Bagi kami di bank saat ini, BUMDes belum bisa menjadi objek hukum dalam pinjaman. Kami sudah koordinasi dengan asosiasi notaris juga bilang belum menjadi badan hukum. Mari kita tunggu proses yang masih dilakukan dan dijanjikan Pak Menteri Desa tadi,” ujar Hanawijaya.

Meski belum bisa memberikan pinjaman ke BUMDes, pihak Bank Jateng menurut Hanawijaya memiliki skema khusus untuk BUMDes terkait permodalan. Skemanya dengan pinjaman KUR. Dalam hal ini BUMDEs menjadi koordinator usaha anggotanya dan sekaligus sebagai penjamin, kemudian Bank Jateng masuk memberikan pinjaman ke setiap anggota BUMDes yang memiliki usaha yang diajukan ke kami.

“Detailnya, untuk BUMDes di Jawa Tengah silahkan tanyakan pada kantor cabang kami di masing-masing kabupaten. Kami juga membuka kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang mau mendukung kemajuan BUMDes dari sisi permodalan ini,” ujar Hanawijaya.

Pajak usaha BUMDes

Hanawijaya, bankir yang puluhan tahun bergelut dalam kredit mikro mengapresiasi kerja keras BUMDes Ponggok dan BUMDes Sekapuk dalam membangun dan memajukan ekonomi desanya masing-masing. Namun Hanawijaya mengingatkan, agar semua BUMDes tetap fokus dengan rencana usaha, meski kondisinya saat ini bergelimang keuntungan.

Ketika warga sudah mendapatkan keuntungan investasi yang didapatkan dari BUMDes, Hanawijaya mencontohkan, biasanya ada euforia warga, Desa, dan BUMDes. Warga dengan gampang percaya untuk investasi, karena sudah tahu hasilnya.

“Yang ada malah Skema Ponzi. Semua usaha ingin dibuat, karena yakin warga akan investasi dan mudah dapat pinjaman dari bank, padahal perencanaan dan model bisnisnya belum selesai,” kata Hanawijaya mengingatkan.

Lebih lanjut Hanawijaya menjelaskan, meski sudah sukses bukan berarti tidak ada halangan, apalagi memulai usaha yang jenisnya baru. Dia meminta tetap sesuai proses yang sebelumnya dilakukan, memiliki rencana usaha dan model bisnis yang jelas.

“Tanpa itu, berarti usahanya udah mulai ngaco dah. Siap-siap kecewa dan rugi kalau sudah seperti itu. Saya harap, BUMDes yang sudah sukses tetap pada tujuan awalnya, menggerakkan ekonomi desa demi kesejahteraan warganya,” ujar Hanawijaya.

Selain euforia, menurut Hanawijaya, yang kerap luput dari suksesnya sebuah BUMDes adalah perhitungan pajak usaha. Padahal petugas pajak ketika badan usaha mendapatkan pemasukan, perhitungan pajak terus berjalan dan pengurus desa dan BUMDes sering kaget saat ada tagihan.

Baca Lainnya