Cerita Tembakau Dari Bumi Makukuhan
Kabupaten Temanggung hidup dari tembakau. Erat dengan nilai tradisi budaya dan menghidupi masyarakat desa.
Seorang lelaki tua, masih tampak gagah, berjalan melintasi lahan parkir Taman Wisata Bumi Makukuhan, Dusun Dukuh Seman, Desa Wonosari, Bulu, Temanggung. Lalu ia, mulai memetik daun tembakau untuk kali pertama di satu petak lahan yang digarapnya.
Lelaki itu adalah Hartono, berusia enam puluh delapan tahun. Sebelum bercerita dia menyiapkan tembakau rajangan dan cengkih. Lalu meletakkannya di kertas dan melintingnya. Telapak dan punggung tangannya tampak ada sisa tanah tanah halus menempel. Tanah itu melekat karena ada mingsri, semacam getah yang terdapat pada permukaan daun tembakau.
Hartono adalah seorang petani tembakau secara turun temurun. Kedua anaknya juga bertani. “Ini sudah merajang yang halus. Sudah laku empat ratus ribu. Itu satu kilogram. Daun tembakaunya memang pilihan”, kata dia.
Alusan merupakan istilah daun tembakau yang dirajang halus. Lebih tipis dari yang dijual ke gudang pabrik. Biasanya digunakan untuk menggulung tembakau atau tingwe alias nglinting dhewe, bukan rokok pabrikan. Daun tembakau dengan rajangan tipis itu dijual itu ke perorangan atau warung-warung mbako. Dijual dalam skala kecil.
Kebiasaan tingwe kembali populer saat pandemi, bahkan memunculkan toko-toko yang khusus menjual tembakau beserta alat untuk menggulungnya, lengkap dengan aneka ragam cengkih dan kertas untuk lintingannya. Selain alusan ada istilah towelan. Rajangannya lebih tebal. Ini untuk dijual ke pabrik yang kemudian diolah menjadi rokok.
Pada musim ini, Hartono menggarap lahan sekitar dua hektare untuk ditanami tembakau. Rata-rata petani menanam varietas Kemloko atau biasa disebut mloko. Tahun lalu dia menanam sekitar tiga hektare. Untuk menggarapnya, dia dibantu lima pekerja hingga enam pekerja. “Sekarang mahal. Itu satu hektare kalau dua puluh juta bisa masuk”, kata dia.
Tak hanya itu, Dukuh Seman juga salah satu dusun terakhir sebelum area ladang dan hutan di lereng Sumbing. Dukuh yang berada pada ketinggian 1.348 meter di atas permukaan laut (mdpl). Rata-rata kebanyakan warga di sini hidup dari tembakau. Tembakau membuat warga menjadi lebih sejahtera. Di halaman rumah mereka tampak terparkir kendaraan roda empat beserta jemuran tembakau.
Hartono berkisah tiga musim terakhir ini harga tembakau tak sesuai harapan. Tahun lalu tembakau yang diolahnya laku Rp100 ribu per kilogram. Pada musim itu dia menghasilkan 75 keranjang dengan bobot sekeranjang antara 35 kilogram hingga 40 kilogram. Harga tembakau per kilogram itu bisa saja berbeda dengan petani lain karena harga tergantung kualitas dan mutu tembakau amat rentan cuaca.
Biaya menanam dan mengolahnya pun lebih tinggi apalagi untuk tembakau ndeles atau tembakau pegunungan yang bisa tiga kali lipat dibandingkan tembakau yang ditanam di area persawahan.
Desa Wonosari bersebelahan dengan Desa Pagergunung. Dua desa ini dihubungkan dengan jalan yang sebagian besar berbeton. Jalurnya curam bertebing khas pegunungan. Berkelok dan naik-turun dengan tajam. Pada akhir Februari atau awal Maret, petani mulai menanam tembakau.
Memang tak semua, sebagian kecil petani menanami lahan mereka dengan cabai atau jagung. Tembakau merupakan tanaman musiman. Di luar musim, petani bercocok tanam dengan bawah merah, bawang putih, atau kubis.
Mudiyono, petani asal Dusun Cepit, Pagergunung, pada musim ini juga menanam tembakau. Petani berusia 43 tahun, itu menamamnya pada empat petak lahan terpisah. Dua petak ada di ndeles, dua petak yang terpisah lainnya ada di pinggir dusun yang berbatasan dengan Dukuh Seman.
Pada musim lalu, daun kering tembakaunya laku hingga Rp85 ribu per kilogram, namun pada akhir musim karena cuaca harganya jatuh hingga Rp30 ribu per kilogram. Saat itu dia menghasilkan sekitar 15 keranjang. “Nek kula nggih [Kalau saya ya]. Petani bisa dikatakan untung kalau harga tembakau Rp150 ribu per kilo”, kata Mudiyono.
Awal musim petik ini dia terus memantau daun bagian bawah untuk memulai pemetikan. Sekali musim bisa tiga hingga empat kali petik. Daun tembakau setelah dipetik, lalu dipilih yang berkualitas baik.
Daun yang bagus dirajang, yang jelek dijadikan tembakau krosok yang biasanya untuk pabrik-pabrik kecil. Setelah itu digulung dan didiamkan atau diperam beberapa hari. Proses selanjutnya dirajang, kemudian dianjang atau ditata pada rigen (alas bambu untuk menjemur rajangan daun tembakau), kemudian dijemur di bawah sinar matahari. Semua proses ini membutuhkan biaya.
“Untuk membuat bedeng satu petak Rp800 ribu lebih. Empat petak itu butuh Rp3 jutaan. Pupuk kandang Rp2 jutaan, empat petak jadi Rp8 jutaan. Pupuk urea 2,5 kuintal per petaknya. Ya pupuk ini selera petani, ada yang kasih lebih agar hasilnya lebih bagus. Lebih tahan hama”, kata dia. Ipar Mudiyono, Nurochim juga mengatakan hal serupa, hanya dia menanam di tiga petak tegalan. Setiap musim, berdasarkan keterangan Sekretaris Desa Pagergunung, Andung C., desa ini menghasilkan rata-rata 8.700 keranjang.
Bagi Hartono, Mudiyono, atau Nurochim menanam tembakau merupakan tradisi tahunan. Karena tradisi, harus dijalankan. Selalu ada harapan selama sinar matahari bersinar terang. Jika tak tak punya uang, petani pun bisa berutang. Hal demikian seolah sudah lazim.
Nglimolasi pun terpaksa dijalani. Istilah tersebut untuk menggambarkan akumulasi utang plus bunganya. Jika meminjam Rp10 juta misalnya, uang yang harus dikembalikan Rp15 juta. Ada pula nelusasi [tiga belas], jika meminjam dengan angka yang sama, uang uang dikembalikan Rp13 juta.
Para petani bisa meminjam modal kepada ‘juragan’ tempat mereka menyetor tembakau. Hasil olahan petani itu kemudian ditampung di gudang para ‘juragan’ untuk kemudian diteruskan ke gudang-gudang milik pabrik rokok. Hampir semua pabrik-pabrik rokok ternama mempunyai gudang di wilayah Temanggung.
“Nglimolasi itu ada, kalau dihaluskan bisa nelulasi [telulas, tiga belas]. Ya begitu, karena akses perbankan juga sulit”, kata Nur Ahsan, Penasihat Dewan Pengurus Cabang (DPC) Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Temanggung, yang juga Ketua Badan Pengurus Cabang (BPC) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kabupaten Temanggung.
Setiap musim tanam, para petani juga menanam asa agar bibit tembakau yang ditanamnya bisa nyirintil. Tembakau yang paling terbaik dan bernilai tinggi yang hanya dihasilkan petani di lereng Gunung Sindoro-Sumbing. Secara fisik tembakau srintil lebih lengket dan baunya khas. Harganya pun lebih mahal. “Jika cuaca terang. Sampai tanah di ndeles itu keras. Ada harapan dapat srintil. Terakhir saya dapat mbako [tembakau] srinthil pada 2011. Dihargai Rp250 ribu per kilo”, kata Mudiyono.
Temanggung Penghasil Tembakau
Menurut data dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia atau APTI Temanggung, setiap tahunnya Kabupaten Temanggung menghasilkan sekitar 14 ribu ton tembakau. Pada musim ini lahan yang ditanami tembakau sekitar 16.200 hektare. Angka ini lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai sekitar 18 ribu hektare. Fluktuasi luas lahan ini terjadi karena tren harga dan tingkat risiko tanam tembakau yang tinggi.
Bisa dibilang setiap tahap penuh risiko. Pada saat masa pertumbuhan jika sering terkena air hujan, tanaman akan membusuk. Begitu pula pada saat pengeringan, jika tak mendapat sinar matahari cukup, harga bisa langsung terpuruk.
Sebagai tradisi, tembakau juga diwarnai legenda. Nama Taman Bumi Makukuhan di Dusun Dukuh Seman, misalnya, itu diambil dari Ki Ageng Makukuhan, sosok yang diyakini sebagai pembawa tanaman ini ke lereng Sumbing. Kyai murid Sunan Kalijaga, tersebut datang ke wilayah Kedu untuk berdakwah sekaligus mengenalkan ilmu menanam kepada warga.
Menanam tembakau juga penuh dengan ritual, mulai dari lekasan atau awal tanam bibit tembakau, kemudian wiwit atau mulai petik pertama, tangguk pertengahan petik, dan kepungan yang dilakukan saat hendak perajangan. Berbagai ritual ini semula dilakukan secara mandiri.
Namun seiring waktu, beberapa bagian ritual itu diselenggarakan secara massal sebagai daya atraksi budaya yang diharapkan bisa bisa menarik para pelancong. Festival Wiwit Mbako dan Panen Kopi 2022 yang diselenggarakan pada pertengahan Agustus lalu di Alun-Alun di ibu kota kabupaten dihadiri ribuan petani dari seantero wilayah Kabupaten Temanggung.
Pada perhelatan itu setiap desa membawa tumpeng dan kelompok-kelompok kesenian terbaik ditampilkan selama tiga hari. Pada puncak acara mereka berdoa agar hasil panen tembakau (dan kopi) tahun ini berhasil dan menyenangkan semua pihak. “Muga-muga mbakone payu larang, kopine ya payu larang. Kabeh seneng, bisa nyaur utang. [Semoga tembakaunya laku mahal, kopinya juga laku mahal. Semua senang dan bisa melunasi utang]”, kata pembawa acara setengah bercanda.