Desa

Cerita mereka yang mengawal desa

Banyak faktor yang mempengaruhi kemajuan desa. Faktor lain yang sering kali terlewat dari perhatian: pendamping desa yang mumpuni.

Muhammad Nafi'
Cerita mereka yang mengawal desa
Sosialisasi Permendes 23 tahun 2017 tentang pemanfaatan sumberdaya alam berbasis teknologi tepat guna kepada pemerintah desa dan kecamatan di Kabupaten Kendal. Artanu Darmasji / Artanu Darmasji

Banyak faktor yang mempengaruhi kemajuan desa. Pemerintah desa yang mahir melakukan pengaturan. Masyarakat yang dinamis dan kritis. Sumber daya alam, infrastruktur ekonomi, dan infrastruktur kesehatan yang memadai. Dan, satu faktor lain yang sering kali terlewat dari perhatian: pendamping desa yang mumpuni. Mereka lah yang bertugas mengawal dan mendampingi desa, mulai dari perencanaan sampai tingkat eksekusi program di desa.

Peran penting pendamping desa ini amat dirasakan terutama saat desa mengelola kucuran dana yang begitu besar dari Dana Desa dan sumber lain. Struktur pendampingan ini pun berjenjang, mulai dari tingkat provinsi (Tenaga Ahli Pendampingan Masyarakat), kabupaten (Tenaga Ahli); kecamatan (Pendamping Desa) sampai desa (Pendamping Lokal Desa).

Permendes Nomor 3 Tahun 2015, pasal 12, pendamping desa mendapatkan enam tugas besar. Mulai dari pendampingan dalam perencanaan sampai pemantauan, sampai pendampingan dalam pembangunan kawasan perdesaan. Pada prinsipnya, para pendamping inilah yang bertanggungjawab mengawal desa mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan program-program desa -- baik dari sisi infrastruktur, dan terutama pada sisi pemberdayaan masyarakat.

Tangkapan layar Dashboard Lokadata tentang data Indeks Desa Membangun (IDM) 2020. Masih ada 2,2 ribu desa yang berstatus sangat tertinggal.
Tangkapan layar Dashboard Lokadata tentang data Indeks Desa Membangun (IDM) 2020. Masih ada 2,2 ribu desa yang berstatus sangat tertinggal. Dashboard Lokadata / Dashboard Lokadata

Tugas-tugas pendampingan

Keberadaan posisi ini pendamping ini, bukan tanpa alasan kuat. Tanggungjawab desa terkait dengan pengelolaan anggaran terbilang cukup menantang sejak digelontorkannya Dana Desa pada 2015. Para pendamping inilah yang berfungsi membantu desa dalam hal pengelolaan keuangan, perencanaan, sampai evaluasi kegiatan untuk mencapai cita-cita dari Undang-Undang Desa.

Artanu Darmasji, 38 tahun, koordinator Tenaga Ahli Kabupaten Kendal menuturkan proses pendampingan desa ini memang memang cukup menantang di awal dan tidak bisa dipukul rata. “Pada 2015, Dana Desa sudah turun tetapi belum ada pendamping. Setahun setelahnya, baru ada pendamping. Desa yang sebelumnya mengelola sendiri, sekarang seperti ada ‘bayang-bayang’ dari pendamping desa. Inilah tantangan di awal-awal pendampingan dulu,” kisah pendamping yang akrab disapa Aji ini. Karena itulah, proses awal pendampingan saat itu mesti perlahan dan bertahap. Agar pihak desa tidak resisten dengan fungsi baru ini.

Selain itu, tiap daerah dan setiap desa membutuhkan perlakuan spesifik. “Fungsi pendamping, sebenarnya adalah bagaimana kita membantu pemerintah desa menemu-kenali masalah dan potensi desanya. Apakah potensi desa bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah? “ tutur Aji yang telah menjadi Tenaga Ahli bidang Teknologi Tepat Guna (TTG) sejak 2016 ini. Itu adalah tataran idealnya. Aji menganalogikan, sebagaimana kita sulit mengenali potensi diri sendiri, begitu pula desa. Di sinilah titik penting pendamping desa.

Proses pendampingan, sampai desa mampu menjadi mandiri, tentu butuh waktu yang tidak singkat. Pada mulanya, para pendamping mesti mendampingi soal-soal teknis administratif di desa. Misalnya soal pengisian berbagai sistem online di desa. “Harus ada evolusi pendampingan. Tidak boleh kita membuat desa tergantung ke kita,” ungkap Aji.

Bimbingan teknis sistem Profil Desa dan Kelurahan (Prodeskel) di Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal
Bimbingan teknis sistem Profil Desa dan Kelurahan (Prodeskel) di Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal Artanu Darmasji / Artanu Darmasji

Ramidi, 47 tahun, Pendamping Lokal Desa (PLD) di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah juga berpendapat serupa. “Banyak sekali aplikasi yang harus diisi di tingkat desa. Sementara saat ini, kebanyakan desa secara kapasitas sumber daya manusia masih kurang”, tuturnya. Peran pendamping sangat sentral dalam adaptasi sistem daring ini. Dari mulai sosialisasi, dampingan teknis, sampai konsultasi saat ada masalah dalam aplikasi.

Ditambah, para pendamping desa merupakan kanal penghubung antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal desa terkait bermacam data dari desa. Mereka menjadi pengepul informasi awal dari desa. Persoalannya, sebagian besar desa masih belum sadar akan pentingnya data ini sehingga sering terjadi keterlambatan data. “Misalnya data tentang keluarga miskin. Kita harus aktif mendorong dan meminta desa untuk melengkapi data, meski membutuhkan waktu untuk kelengkapan dan validasi data,” ujar Ramidi.

Bersama memahami regulasi

Salah satu persoalan utama pendampingan, menurut Aji, adalah begitu banyaknya regulasi yang mengatur desa. Mulai dari regulasi tingkat pusat, sampai tingkat kabupaten. Pun berbagai kementerian dengan berbagai peraturan yang mesti dijalankan di tingkat desa. Belum lagi terkait perubahan regulasi yang cukup dinamis, apalagi dalam konteks masa pandemi ini.

“Banyaknya peraturan untuk desa, kadang membuat kami kasihan ke temen-temen desa. Seperti overdosis aturan. Kemendagri punya aturan. Begitu pula Kemendes, Kementerian Keuangan, dan sebagainya. Mumet jadinya, “ tutur Aji.

Di sinilah peran krusial pendamping desa. Mereka membantu pihak desa untuk memahami, menafsirkan bersama, sekaligus mendampingi pelaksanaan regulasi di desa. Para tenaga ahli desa di Kabupaten Kendal terbilang cukup dinamis dalam menyikapi ini. Mereka menginisiasi forum diskusi dan rembug bareng mengenai segala jenis aturan terkait desa. Mereka menamainya forum yang dimulai sejak 2016 awal ini dengan Majelis Tafsir Aturan (MTA).

Di forum ini, semua stakeholder berkumpul. Mulai dari dinas, pemerintah kecamatan, pemerintah desa, sampai pendamping duduk bersama untuk membahas bermacam regulasi. “Saat ada regulasi yang baru, kita bedah bareng. Agar isi kepala kita sama. Karena pemaknaan aturan kan bermacam-macam,” kata Aji.

Sebelum masa pandemi, majelis ini diselenggarakan reguler setiap hari Jumat. Undangan terbuka disebar, siapapun boleh ikut dalam forum ini. Mereka membaca bersama, dari konsideran, pasal per pasal, sampai pada kesimpulan. “Di akhir sesi, kita akan memberikan kesempatan tiap peserta untuk memberikan pernyataan mengenai aturan yang dibahas,” tambahnya.

Selain soal tafsir regulasi, dalam tataran penerapan pendamping pun memegang peran penting apalagi jika regulasi itu berhubungan dengan distribusi bantuan. “Kalau regulasi itu terkait dengan bantuan, urusannya bisa pelik buat pemerintah desa. Pendamping seringkali harus menjelaskan dalam berbagai forum di desa mengenai alur bantuan, siapa yang berhak, aturannya bagaimana. Malam pun kami hadir untuk menjelaskan,” tutur Ramidi mengenai pengalamannya di desa dampingan. Ini terjadi di desa-desa dampingannya saat penyaluran bantuan dana dan sembako dari pemerintah pusat di masa pandemi. Pendamping seringkali diminta pemerintah desa untuk memberikan penjelasan, karena dianggap memiliki posisi netral.

Praktik Baik Pendampingan

Aji dan Ramidi sepakat bagaimanapun dinamika yang mereka alami dalam pendampingan, saat pemberdayaan berhasil, berbagai tantangan itu menjadi tidak berarti. Misalnya ketika sebuah desa berhasil menemukan potensi, lalu mengolahnya menjadi program yang bermanfaat bagi masyarakat desa.

Aji bercerita mengenai Desa Kalibogor, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal. Potensi kopi di desa ini awalnya terabaikan. Kopi hanya dijual berupa biji. Bersama dengan pendamping di berbagai level dan pemerintah desa, Aji mengusulkan untuk mengolah kopi sampai menjadi produk kopi bubuk.

Agar petani kopi tertarik, awalnya Aji mendorong pemerintah desa untuk mengolah sendiri sampai jadi kopi bubuk. Pemerintah desa mengundang para petani untuk menikmati kopi olahan ini dalam sebuah pertemuan desa. “ ‘Memang, kopi Temanggung enak,’” tutur Aji menirukan respons dari petani Kalibogor.

Di akhir sesi, baru pemerintah desa menjelaskan bahwa kopi yang disuguhkan kepada mereka adalah kopi olahan dari desa Kalibogor sendiri. Sadar akan potensi desa ini, akhirnya berdirilah BUMDes Bagormas dengan unit usaha pengolahan dan penjualan produk kopi bubuk, Kopi Bagormas.

Begitu juga yang dialami Desa Belimbing, Kecamatan Boja. Saluran irigasi, disulap menjadi wahana wisata tubing yang terkenal di seantero Kendal dan Jawa Tengah. Pun di Kendal, telah didirikan pula BUMDes Bersama (BUMDesma) Plasma Petik Sari dengan unit usaha pengolahan jambu getas merah. Sebuah kerjasama yang menghasilkan dampak ekonomi yang cukup besar bagi para petani di 7 desa di Kecamatan Sukorejo dan Kecamatan Patean.

Selain langsung mendampingi, para pendamping desa di Kendal pun melakukan inisiasi kerjasama dengan berbagai pihak seperti kampus dan sekolah menengah kejuruan. “Kami juga membuat katalog teknologi tepat guna untuk desa. Jadi, kalau desa punya potensi, mereka dapat melihat katalog itu untuk mencari teknologi yang mungkin cocok,” tutur Aji.

Sadar dengan kekuatan media sosial, tenaga ahli desa di Kabupaten Kendal Jawa Tengah juga membuat kanal media sosial. Tujuannya agar informasi lebih mudah diakses, selain untuk transparansi dan akuntabilitas kegiatan. Melalui akun Twitter (@KendalHandal), Youtube dan blog mereka aktif menyebarkan informasi tentang berbagai kegiatan dan pembaruan informasi mengenai desa.

Tangkapan layar Dashboard Lokadata terhadap status Indeks Desa Membangun (IDM) Kabupaten Kendal pada 2018 dan 2020.  Sudah tidak ada desa tertinggal dan sangat tertinggal di Kabupaten Kendal.
Tangkapan layar Dashboard Lokadata terhadap status Indeks Desa Membangun (IDM) Kabupaten Kendal pada 2018 dan 2020. Sudah tidak ada desa tertinggal dan sangat tertinggal di Kabupaten Kendal. Dashboard Lokadata / Dashboard Lokadata

Bermacam pekerjaan rumah

Kegiatan pendampingan desa ini tentu tidak sepi dari persoalan. Riset dari Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM 2018 bertajuk “Evaluasi Tenaga Pendamping Profesional P3MD Kemendes PDTT” mendedahkan beberapa masalah.

Beberapa persoalan itu, antara lain: pertama, kesesuaian kualifikasi pendamping dengan karakteristik wilayah dampingan. Kedua, pergeseran dari pendampingan dalam urusan administratif, menuju konteks pemberdayaan. Ketiga, persoalan honorarium tenaga pendamping belum sesuai dengan tugas-tugas dan karakteristik wilayah.

“Berkaitan honorarium dan biaya operasional, hasil-hasil temuan kajian di lapangan menunjukkan bahwa persoalan honor yang tidak memadai ini terungkapkan dari mayoritas PLD di kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Tidak sedikit yang menegaskan bahwa honor PLD bahkan terbilang lebih rendah dari UMR kabupaten setempat. Belum lagi dipotong kebutuhan iuran BPJS, iuran rapat koordinasi, pembelian seragam, dan lain-lain. Ketiadaan fasilitas penunjang, semisal laptop, membuat banyak PLD harus mengupayakan kredit laptop secara mandiri dari gaji tersebut,” jelas Mohammad Ghofur, peneliti PSPK kepada Kanal Desa.

Selain itu, para pendamping desa pun masih memiliki tugas yang sangat menantang. Menggeser paradigma pembangunan desa, dari yang hanya soal infrastruktur menjadi pemberdayaan masyarakat. “Yang ada di benak desa biasanya hanya soal pembangunan infrastruktur. Ini bukan salah mereka, tetapi karena referensi mereka ya soal itu. Ini juga salah satu kekurangan pendamping. Agar bergeser ke soal pemberdayaan, kita mesti memberikan rujukan dan informasi mengenai pembangunan desa berbasis pemberdayaan masyarakat,” kata Aji.

Baca Lainnya