Cerita Suwatuk: Kampung Kami Tak Lagi Gelap
Kampung Suwatuk, Sorong, Papua Barat Daya berhasil memanen listrik dari PLTA Mikro Hidro. Kampungnya tak lagi gelap.
Laurens Kalami begitu sigap setelah mendengar lampu di kampungnya mulai meredup. Dia bergegas meninggalkan kampung dengan menempuh jarak kurang lebih 3 kilometer untuk sampai di hulu Sungai. Tempat di mana sumber permasalahan berada—bak air penampungan.
“Kalau hujan lebat pasti bak ini terisi limbah dari daun atau tidak dari kerikil atau pasir yang terbawa air Sungai yang besar,” ujar Laurens.
Pria 42 tahun itu tahu betul apa yang harus dia perbaiki setelah mendapat keluhan dari warga Kampung Suwatuk, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat Daya. Jika hanya persoalan teknis kecil seperti masalah rumput atau limbah, dia yang bertanggungjawab. Akan tetapi, jika kerusakan yang besar dan membutuhkan tenaga yang besar pula, dia akan memanggil bala bantuan para pria di kampung.
Bak penampungan air begitu penting bagi warga Kampung Suwatuk. Berpuluh-puluh tahun warga Kampung Suwatuk menjaga sumber mata air mereka. Bukan hanya menjadi sumber air bersih dan air minum, tapi, air juga menjadi kebutuhan paling vital untuk menerangi rumah-rumah mereka.
“Kesepakatan orang sini menjaga Sungai, air, juga hutannya. Lampu rumah diterangi dari sumber alam ini, ” kata Laurens.
Sejak tahun 2000an. Warga Kampung Suwatuk sudah memanfaatkan air menjadi energi Listrik. Menerangi rumah-rumah warga. Dulunya, sebelum ada ide Listrik dari tenaga air, suasana kampung Suwatuk gelap gulita. Di malam hari satu-satunya penerangan hanyalah lampu botol berisi minyak tanah atau yang kerap dikenal warga dengan sebutan lampu pelita.
“Mau apa, hanya lampu pelita itu yang kami punya lalu. Dan harus bertahan dengan itu,” sambung Laurens.
Laurens merasakan begitu susahnya hidup dengan sebotol lampu pelita. Apalagi mengakses minyak tanah yang harus dibayar pakai uang. Terkadang, warga kampung harus menghemat pemakaian lampu pelita untuk menerangi rumah mereka.
Dia mafhum. Warga kampung dan juga dirinya merasakan ada keterbatasan dari segi pengetahuan mereka dalam persoalan penerangan. Lampu pelita sudah dianggap Solusi untuk menjawab kegelapan di malam hari. Dan juga bagian dari tinggalan orang tua mereka menggunakan hal serupa.
Tak ada kata-kata yang bisa diungkapkan Laurens untuk menggambarkan bagaimana situasi kampung saat diterangi oleh sebotol lampu pelita. Lampu yang harap-harap cemas antara mau bertahan lama karena stok minyak tanah yang melimpah atau akan mati karena minyak tanah akan habis.
Saat lampu pelita merajalela, Laurens dan warga Kampung Suwatuk tak bisa merasakan bagaimana sensasi diterangi oleh bohlam lampu yang dihidupi dari suplai energi Listrik konvensional. Mereka hanya bisa melihat nyala lampu di rumah-rumah dan bangunan yang berada di perkotaan terang benderang. Sedangkan di desa mereka keadaan malah berbanding sebaliknya. Dari anak-anak kecil hingga orang dewasa tumbuh ditemani dan diterangi oleh lampu pelita.
Hingga pada suatu saat, keinginan mereka untuk listrik hadir di kampung, para warga mulai membicarakannya dan mencari solusinya.
Ide itu kemudian muncul pada pertengahan tahun 2000an silam. Seorang tetua kampung yang dulu pernah bekerja di perusahaan BUMN setelah bertahun-tahun pergi merantau akhirnya memilih kembali ke kampung halamannya. Dia mendapatkan banyak Pelajaran selama bekerja dan mempelajari sebuah cara memanfaatkan sumber kekayaan alam agar bisa diubah menjadi energi Listrik.
“Bapa itu dia pikir bisa mendapatkan Listrik dari air, kami mengikuti saja. Karena dia sudah belajar soal itu,” terang Yopin Paa Kammi, warga Kampung Suwatuk.
Yopin bilang, ide itu awalnya hanya dibicarakan ditingkat warga saja, lalu mulai dibahas ditingkat kampung. Salah satu yang dilihat potensi alam yang bisa disulap menjadi energi Listrik adalah air Sungai yang ada di wilayah desa. Tak begitu jauh dari perkampungan.
“Karena di desa ini kami ada air, ada Sungai. Jadi kami berpikir itu bisa dimanfaatkan,” ungkap Yopin.
Berbekal pengetahuan yang didapat tetua mereka di kampung dengan memanfaatkan sumber daya yang ada, maka solusi untuk menjawab lampu pelita membuahkan hasil. Awalnya para warga hanya membangun energi Listrik bertenaga air dengan kekuatan skala kecil dan hanya mampu memenuhi kebutuhan listrik beberapa rumah warga saja.
Sebabnya, tenaga listrik itu harus dipakai untuk memenuhi dua kebutuhan, satu untuk daya air bersih ke kampung dan satu lagi untuk penerangan.
“Waktu itu masih pakai dinamo dengan ukuran kecil. Hanya mampu menjangkau 2 kilometer saja. Sehingga tidak mampu menjamin sampai 10 rumah tangga,” jelas Yopin, yang juga terlibat dalam Pembangunan PLTA mikro hidro di Suwatuk.
Belajar dari kesalahan itu. Warga mulai menambah daya dari PLTA Mikro Hidro milik mereka di kampung. Salah satunya dengan mulai menambah daya. Pertambahan jiwa manusia di kampung dan mulai masifnya pembangunan rumah juga menjadi salah satu faktor yang harus dipikirkan akan ledakan kebutuhan listrik skala rumah tangga. Atas dasar itulah kemudian warga sepakat memperbaiki dan menambah segala kekurangan PLTA mikro hidro mereka.
Semangat yang tak pernah padam ditunjukan oleh warga kampung secara gotong royong membuat tampungan bak air di bagian hulu Sungai. Namun, modal semangat saja tidak cukup. Perlu dukungan bantuan dengan dana yang terbilang besar.
Alhasil, kegiatan itu sempat tertunda karena pemerintah kampung dan beberapa warga sementara mengupayakan permohonan bantuan biaya Pembangunan PLTA mikro hidro dengan konsep listrik mandiri dari kampung.
Ide itu akhirnya disetujui. Tak perlu lama untuk mengeksekusi pengelolaan listrik secara mandiri dengan memanfaatkan potensi alam sebagai sumber utamanya. Ide ini sejalan dengan program pemerintah dalam mengupayakan Indonesia memanfaatkan potensi alam sebagai sumber energi dengan konsep energi baru terbarukan.
Bantuan Dana
Kampung Suwatuk menjadi salah satu penerima manfaat program PNPM Mandiri yang dirintis saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka dihibahkan dana untuk Pembangunan PLTA Mikro Hidro untuk membantu mengaliri listrik di setiap rumahnya.
Bantuan PNPM itu tak berlangsung lama. pada tahun 2015 warga kembali merapatkan untuk mencari sokongan dana. Akhirnya, setelah melalui rapat dan musyawarah ditingkat kampung, para warga sepakat diikuti dengan pemerintah desanya atau pemerintah kampung untuk mengalokasikan dana kampung atau dana desa digunakan untuk dana Pembangunan PLTA.
“Kita pakai dana desa itu dari tahun 2015 dan kami gunakan khusus untuk penerangan. Anggarannya pun secara bertahap dan memakan waktu yang lama karena proses administrasinya yang terbilang sulit,” kata Sokrates Kalami, kepala kampung Suwatuk, pada 6 Juli 2024.
Dia bilang, sebelum menggunakan PLTA sebagai sumber listrik di kampung, para warga mendapat bantuan solar panel untuk sumber penerangan. Tapi karena rewel dan butuh biaya untuk perbaikannya, masyarakat berinisiatif bangun listrik sendiri di kampung, salah satunya dengan mendirikan PLTA Mikro Hidro.
“Dulu masih pakai dinamo yang kecil. Tapi berkat ada dukungan dana kampung sedikit demi sedikit mulai ditambah dan diperbaiki. Bak air penampungan diperbesar dan pakai dinamo yang bisa menjangkau 10 kilometer. Sekarang sudah ada 15 rumah tangga di Suwatuk yang sudah merasakan manfaat dari energi listrik ini,” katanya.
Menurutnya, kekayaan alam di Suwatuk begitu melimpah. Sangat rugi jika tidak dimanfaatkan. Khususnya manfaat yang bisa dirasakan oleh banyak orang.
PLTA Mikro Hidro ini awalnya dari diskusi kampung lalu berkembang sampai sekarang. Untuk perawatannya pun, pembiayaan dipakai dari dana kampung. Sokrates tak mau membebankan warga menanggung hal tersebut karena itu bukan tanggung jawab warganya, melainkan tanggung jawab pemerintah melalui dana desa yang sudah dikucurkan. Namun, jika mengalami kerusakan yang butuh tenaga besar, warga akan gotong membantu memperbaikinya.
“Misalnya kalau hujan turun lebat dan ada pipa bocor pasti gotong royong memperbaiki. Untuk masalah iuran pun tak ada. Gratis. Asal jaga sumbernya saja, jaga alam dan hutan,” tegasnya.
Laporan Indonesia Cerah terkait transisi energi yang berkeadilan menyebutkan bahwa peluang masyarakat dalam mengelola energi listrik yang ramah lingkungan sangat berpotensi hanya saja terkendala dengan kepentingan politik dan kebijakan pemerintah yang perlu diseriusi.
“Transisi energi memerlukan perencanaan yang holistik untuk memastikan bahwa pengembangannya tepat guna dan sejalan dengan target net zero emission Indonesia. Oleh karena itu, berbagai aturan yang perlu dipersiapkan, seperti RUU EBET,” tulis Cerah Indonesia dalam laporannya.
Laporan Our World in Data pada rentang tahun 2019 hingga 2020, menunjukan penggunaan listrik yang bersumber dari energi fosil di Indonesia sebesar 86,95 persen. Sedangkan target Indonesia mengupayakan transisi energi listrik dari batu bara ke energi baru terbarukan belum mencapai target. Terhitung baru mencapai 12 persen dengan target 15 persen.
Ketergantungan tinggi terhadap energi fosil batu bara sebagai energi listrik nasional turut dipermasalahkan banyak pihak. LSM, akademisi, dan aktivis lingkungan mempertanyakan komitmen energi hijau yang disuarakan pemerintah Indonesia. Mereka menyuarakan Indonesia akan kehilangan potensi sumder daya alamnya jika pengelolaan energi nasional tidak diatur secara baik dan berkelanjutan.
Pada tahun 2017, Presiden Jokowi telah mengeluarkan perpres mengenai Nomor 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. Namun, kebijakan tersebut hanya sebatas kertas kebijakan saja dan belum terimplementasi dengan baik. Asas kebijakan energi nasional yang bertumpu pada prinsip keadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan serta menciptakan kemandirian energi belum terwujudkan sepenuhnya.
Menyala Setiap Hari
Jauh sebelum pemerintah Indonesia merencanakan pengalihan energi listrik nasional dari fosil batu bara ke energi baru terbarukan. Warga Kampung Suwatuk sudah melakukannya terlebih dahulu. Mereka sadar ketergantungan terhadap listrik nasional melalui PLN tak memberikan dampak yang baik bagi lingkungan mereka.
Kata Sokrates, warga kampung pernah ditawari pihak PLN untuk mengganti listrik mereka ke PLN. Tapi beberapa warga belum sepakat. Mereka tidak mendapat informasi yang jelas keuntungan yang mereka dapatkan dari menggantik listrik yang selama ini mereka nikmati tanpa bayar dan tak pernah ada jadwal padam.
“Kalau listrik PLN masuk kampung pasti akan membangun tiang-tiang listrik dan jelas ini akan merugikan tanaman masyarakat. jelas mereka tidak setuju,” ungkapnya.
Kini, berkat kehadiran PLTA Mikro Hidro warga Kampung Suwatuk bisa merasakan listrik tanpa biaya apapun. Listrik menyala 24 jam tanpa henti. Hutan dan alam juga ikut terjaga.
Data dari pemerintah kampung, sebanyak 20 kepala keluarga yang tinggal di Suwatuk sudah merasakan manfaatnya. Setiap rumah kebagian daya listrik dengan limit sebesar 300 watt atau setara 10 ampere per rumah.
“Orang-orang yang dulu pakai lampu pelita sudah beralih ke listrik PLTA. Dulu kampung Suwatuk yang gulita, sekarang terang menyala,” kata kepala kampung tersebut.
Hanya perlu komitmen dan konsisten menjaga sumber listrik agar selalu lestari. Hutan dan air saling berkelindan memberi manfaat bagi warga kampung.
Ide mandiri energi sudah dimulai dari kampung di ujung negeri. Tak ada kata gelap lagi, yang ada lampu menyala setiap hari. Kipas angin dan kulkas hidup setiap hari.
“Baru kami mau ditawari mengganti listrik sekarang dengan PLN, jelas kami tidak mau. PLN harus memikirkan token tiap hari, minggu dan bulan. Kalau ini cukup jaga hutan dan Sungai. Kalau lampu mulai redup sisa dicek penampungan airnya dan dibersihkan. Dan lampu menyala kembali,” kata Sokrates dengan sumringah.