Desa

Berharap Tuah dari Kopi

Kopi dari Kampung Bokin Toraja Utara bertahan dari era kolonial Belanda, pendudukan Jepang hingga saat ini. Melawan tengkulak melalui pendekatan kelompok tani kopi.

Irfan Saputra
Berharap Tuah dari Kopi
Warga Kampung Bokin, Toraja Utara merawat kebun kopi di tengah kondisi iklim yang tidak menentu. Irfan Saputra / kanaldesa

Ingatan mereka tentang muasal kopi di Kampung Bokin, Toraja Utara berhenti pada Indo Kombong, seorang petani yang pertama kali menumbuhkan kopi di kampung itu. Sebelum ada kopi, warga bercocok tanam umbi-umbian, padi, dan beternak.

Kopi telah memenuhi kebutuhan hidup warga beberapa generasi di kampung ini, sebelum tanaman itu menyerah pada cuaca yang keras dan tak menentu.

Kelurahan Bokin berjarak 8 kilometer dari ibukota kabupaten, Toraja Utara, sekitar 30 menit menggunakan sepeda motor. Kampung ini berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung. Di dalamnya ratusan pohon kopi jenis arabika dan robusta masih menjadi tanaman utama warga. Bokin berada di ketinggian 900-1400 meter di atas permukaan laut, ketinggian optimal bagi kopi khususnya jenis arabika.

Menurut Martha Empe, salah satu petani kopi, sejak zaman Belanda kopi sudah ada di kampung ini. Pada saat itu Belanda datang ke Bokin membuka perkebunan kopi, namun sejak Jepang mengambil alih kekuasaan, perkebunan tersebut terbengkalai. Hingga salah satu tokoh kampung kembali menanam kopi di daerah tersebut pada kisaran tahun 1960-an.

“Dulu ada tetua kampung yang memiliki lahan kopi yang luas namanya Indo Kombong,” ujar Martha Empe.

Sejak datang pada tahun 1976 ke wilayah ini, Jepang menjadi salah satu eksportir kopi terbesar di Sulawesi Selatan. Jepang mendapatkan izin hak guna usaha seluas 530 hektar atas nama PT. Toraja Arabica Coffee (Toarco) Jaya. Ini perusahaan perusahaan patungan PT. UTESCO (Indonesia) dengan SULADECO LTD, perusahaan baru yang didirikan oleh Key Coffee Jepang. Beroperasi di Kelurahan Bokin sampai saat ini.

Awalnya Kampung Bokin hanya dihuni oleh beberapa rumpun keluarga, semenjak berdirinya perusahaan, para pekerja mulai berdatangan dari luar kampung dan kabupaten tetangga. Para pendatang ini lama kelamaan menetap dan mendirikan kampung-kampung baru. Menurut data Badan Pusat Statistik, ada sekitar 809 keluarga bermukim di Kelurahan Bokin.

Selain jadi buruh harian di perusahaan, mereka juga membuka sawah, kebun, dan beternak. Keterbatasan lahan memaksa mereka membuka lahan di kawasan hutan untuk tanaman perkebunan. Saat ini ada 112 hektar lahan yang sudah punya izin Hutan Kemasyarakatan.

Mereka lalu menanam kopi jenis arabika serta tanaman lain yang harganya sedang tinggi di pasaran. Mulai dari kopi, kakao, cengkeh, vanili dan kayu-kayuan untuk memenuhi bahan baku rumah adat.

“Kami ambil di Toarco, kalau pulang kerja kami cabut itu bibit yang tumbuh liar di bawah pohon baru kasi masuk dalam polybag” ujar Martha Empe, ketika ditanya darimana mereka mendapatkan bibit kopi.

Dari sekian banyak komoditi di wilayah ini, para petani masih mengandalkan kopi untuk penghidupannya. Tapi, menginjak tahun 2000, produktivitas kopi mulai menurun. Selain karena dimakan usia, hujan datang tidak menentu. Seringkali pada saat kopi berbunga, hujan turun menggugurkannya. Itu terjadi pada kopi yang ditanam tahun 1980 an.

Masa produktif kopi ada di umur 5 hingga 20 tahun. Saat ini kopi yang ada di kebun warga, rata-rata untuk jenis robusta sudah berumur di atas 40 tahun sedangkan untuk jenis arabika berada pada kisaran 30 tahun.

Saat ini para petani mulai mengusahakan stek batang untuk meremajakan kopinya. Kopi robusta yang sudah tua, dipotong lalu disambung dengan kopi arabika. Usaha ini dilakukan agar kopi mereka tahan terhadap kekeringan, dikarenakan secara fisiologis kopi robusta memiliki perakaran yang kuat dan mampu berjalan jauh mencari air.

Bibit stek tersedia di pasaran dengan kisaran harga Rp 10.000 per batangnya, namun tampaknya agak berat apabila diperhadapkan dengan penghasilan kopi petani.

“Kalau mau dihitung-hitung, kadang itu hasilnya kopi sebenarnya rugi tapi mau di apa,” kata Paulus Palinoan, seorang petani kopi.

Untuk jenis kopi arabika biasanya petani menjualnya dalam bentuk gabah (passment) di pasar yang terletak di ibukota kabupaten, Rantepao. Harga bervariasi sepanjang musim kopi, mulai dari Rp15.000 per liter di awal musim lalu terus menurun hingga puncak panen kopi menjadi Rp10.000 per liter.

Untuk jenis robusta, petani menjual dalam bentuk biji kopi (green bean) sekitar Rp 35.000 per kilo. Kopi robusta tak perlu dibawa ke pasar, biasanya pembeli yang datang. Beberapa petani bahkan tidak menjualnya, karena mereka lebih menyukai robusta untuk dikonsumsi sehari-hari ketimbang arabika.

Merawat kebun menjadi kegiatan penting bagi masyarakat agar produksi kopi semakin meningkat.
Merawat kebun menjadi kegiatan penting bagi masyarakat agar produksi kopi semakin meningkat. Irfan Saputra / kanaldesa

Kondisi ini berlangsung sampai sekarang. Harga kopi murni ditentukan tengkulak. Terkadang petani merasa rugi. Sebagian petani masih berharap pada kopi, tapi sebagian lainnya pergi merantau untuk mencari nafkah.

Para petani yang bertahan, kemudian membentuk kelompok tani yang didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang tergabung dalam Tim Layanan Kehutanan Masyarakat (TLKM). Ada sekitar 95 orang petani kopi yang mengelola lahan hutan lindung.

Dari 95 anggota tersebut kemudian melembagakan diri menjadi tiga Kelompok Tani Hutan (KTH) serta satu gabungan kelompok tani hutan (gapoktanhut) sebagai syarat mendapatkan izin Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm). Selama ini mereka menggarap hutan negara. Pada desember 2021, izin terbit, berlaku untuk 35 tahun. Izin itu bisa diperpanjang dengan syarat syarat tertentu.

Sepanjang tahun 2021 penguatan kelompok terus berjalan sebagai modal awal petani dalam menyelesaikan tantangan-tantangan yang mereka hadapi, termasuk rendahnya harga kopi. Para petani mengikuti kegiatan desiminasi supply and value chain kopi. kegiatan ini memperlihatkan kepada petani, kemana kopi mereka dibawa setelah dijual ke pasar, serta target pasar yang memungkin bagi mereka masuki.

Kolaborasi menjadi salah satu kunci penting dalam mendongkrak produk pertanian. Termasuk dalam mengatasi persoalan tengkulak dan harga murah.
Kolaborasi menjadi salah satu kunci penting dalam mendongkrak produk pertanian. Termasuk dalam mengatasi persoalan tengkulak dan harga murah. Irfan Saputra / kanaldesa

Pada Oktober 2021 terbentuklah kelompok Home Industry yang bertugas mengolah bahan baku dari petani. Januari 2022, dua orang perwakilan dari kelompok Home Industry mengembangkan pengetahuan bertani kopi serta pengolahan pasca panen dengan berkunjung ke Lembang, Jawa Barat.

Saat ini, petani telah memiliki rumah produksi sendiri yang dilengkapi dengan tempat penjemuran serta peralatan yang memadai untuk menghasilkan biji kopi yang berkualitas. Di antaranya pengupas kulit chery (Pulper), pengupas kulit passment (Huller), mesin roasting, dan mesin press untuk kemasan, serta berbagai perlengkapan lain.

“Dengan adanya home industry ini, kita sudah bisa paling tidak bukan lagi kita yang ditawari harga, tapi kita yang menawari harga ke pedagang, dengan syarat kualitas yang bagus,” ujar Anton pengurus gapoktanhut.

Mereka sadar betul bahwa kuantitas produksi mereka saat ini masih sangat kurang, sehingga untuk mendapatkan nilai tambah mereka perlu memperbaiki kualitas biji kopi yang dihasilkan. Dimulai dari memetik buah (cherry) kopi yang merah, fermentasi yang mengikuti proses yang telah mereka pelajari, tidak lagi menjemur kopi langsung di tanah melainkan di bangunan penjemuran yang sudah mereka bangun, sortasi biji kopi untuk mengeluarkan biji cacat, serta penyimpanan memakai plastik khusus untuk penyimpanan biji kopi (green bean), meroasting kopi tidak sampai hangus, serta kemasan yang menarik.

Dari hanya menjual dalam bentuk gabah kopi (passment), saat ini mereka telah mampu menjual dalam beberapa bentuk produk turunan kopi seperti biji kopi (green bean), biji kopi sangrai (roast bean), dan bubuk (ground coffee).

Melalui rapat kelompok mereka menentukan sendiri harga yang pantas mereka dapatkan, berdasarkan jerih payah serta biaya yang mereka keluarkan selama satu musim.

Untuk arabika, dalam bentuk green bean mereka menjualnya dengan harga Rp. 95.000 per kilogram, roast bean Rp. 138.000 per kilogram, dan Rp. 155.000 per kilogram untuk ground coffee.

Sedangkan untuk robusta, harga green bean Rp. 60.000 per kilogram, roast bean Rp. 95.000 per kilogram, dan Rp. 110.00 per kilogram untuk ground coffee. Target pasar robusta berubah dari awalnya hanya dipasarkan lokal, sekarang memasok untuk permintaan dari kedai-kedai kopi di Makassar.

Pada Maret tahun 2022, mereka meluncurkan produk dengan merek Kaamelo, yang diambil dari bahasa lokal kaa (kopi) dan melo (bagus). Kegiatan ini dihadiri oleh kepala Bappeda Toraja Utara, Kesatuan Pengelolaan Hutan Saddang II, Dinas Perindustrian, Lurah Bokin dan TLKM. Pada kegiatan ini Bappeda Toraja Utara mengapresiasi usaha petani bersama TLKM untuk menghidupkan kembali kopi mereka, serta komitmen untuk melanjutkan pendampingan kopi petani ini.

Baca Lainnya