Bambu Selaawi : dari desa hingga global
Dari sangkar burung berkembang ke produk bambu bernilai tinggi. Mengangkat Selaawi menjadi desa global.
Menganyam bambu, bagi warga Desa Mekarsari, Selaawi, Kabupaten Garut sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Keterampilan dalam menganyam bambu diwariskan secara turun menurun dan menjadi tungku keluarganya.
Di tangan - tangan terampil, bambu bisa menghasilkan cuan yang lumayan. Seperti membuat boboko (tempat nasi), sangkar burung atau yang lainnya, selain untuk membuat kebutuhan rumah tangga.
Selaawi merupakan salah satu kecamatan paling utara di Kabupaten Garut. Ada tujuh desa yang terdapat di kecamatan Selaawi. Di antaranya, Gawir, Putrajawa, Mekarsari, Samida, Cirapuhan, Selaawi, dan Pelitaasih. Secara geografis memiliki luas wilayah kurang lebih 32 Km2. Menurut catatan BPS Kabupaten Garut, karakter wilayahnya berupa dataran dan pegunungan yang berbukit-bukit. Berada diketinggian 553 mdpl di atas permukaan laut.
Salah satu kekayaan alam yang cukup melimpah adalah pohon Bambu. Dari pohon bambu inilah secara turun menurun menghasilkan anyaman bambu hingga sekarang. Mayoritas penduduk Selaawi menekuni anyaman bambu sebagai mata pencaharian hidupnya. Terutama di Desa Mekarsari dan Desa Putrajawa, Selaawi.
Kisah Para Pengrajin
Menurut Aji Nugraha, 35 tahun, Kepala Desa Mekarsari, mengakui mayoritas penduduknya menekuni anyaman bambu. “Mayoritas anyaman sangkar burung, sisanya di bambu kreatif,” katanya. Lebih dari 25 persen penduduknya berprofesi sebagai pengrajin bambu. Di desanya, tercatat ada 6.466 penduduk dengan luas wilayah 302,209 ha.
Kampung Ciloa salah satu dari tujuh kampung yang terdapat di Desa Mekarsari. Warganya hampir semua berprofesi sebagai penganyam bambu. Sisanya tersebar di enam kampung lainnya yaitu Cilame, Karapiak, Pacarbadak, Nagrak, Bojong dan Jatitugu.
Utang Mamad salah satunya yang sejak lulus SMP tertarik untuk belajar anyaman bambu. Boboko (tempat nasi) anyaman pertama kali yang dibuatnya. Warga kampung Ciloa Desa Mekarsari itu sudah malang melintang. “Saya belajar menganyam bambu sejak kecil, mengikuti jejak orang tua” katanya.
Menurut Ketua Paguyuban Pengrajin Bambu Selaawi ini, supaya bisa berkembang pengrajin perlu meningkatkan keahliannya dengan membuka diri. “Harus mau membuka diri dengan dunia luar” katanya.
Berkat kerjasamanya dengan Amygdala Bamboo, produknya bisa tembus ke pasar luar negeri. Di antaranya Singapura, Korea dan Australia. Nilainya mencapai puluhan juta rupiah setiap pengiriman. “Meski skalanya masih ritel “ katanya. Amygdala Bamboo adalah sebuah perusahaan yang fokus pada pengembangan desain bambu.
Menurutnya, pengrajin bambu kreatif membutuhkan keahlian khusus dan juga harus sabar dalam pembuatannya. Di kampungnya tidak banyak yang bermain di bambu kreatif. Selain pangsa pasar yang terbatas, bambu kreatif lebih mengandalkan pesanan dari konsumen. Ia mengaku, anyaman sangkar burung lebih cepat perputaran bisnisnya dibanding bambu kostum atau bambu kreatif.
Utang Mamad, dalam mengembangkan design produk bambu kreatif tak lepas dari bimbingan dan arahan Dosen Seni Rupa dan Design ITB, Muhammad Ihsan. Sebelumnya, dapat sentuhan tangan Dodi Mulyadi, alumnus Seni Rupa dan Design ITB turut menginspirasi Utang dalam mengembangkan bambu kreatif.
Setidaknya, ada 50 puluh design produk bambu kreatif yang dihasilkannya. Baginya, bisnis bambu ini sangat menjanjikan. Selain jadi pengrajin ia pun aktif jadi pembicara di berbagai tempat dalam kegiatan pelatihan kerajinan.
Di workshop yang sederhana berukuran 150 meter persegi, ia dibantu 10 pengrajin lainnya yang merupakan warga sekitar untuk mengerjakan pesanan dari konsumennya dari dalam dan luar negeri. Konsumen dari Singapura yang hampir rutin setahun sekali memesan untuk dibuatkan anyaman bambu. “Designnya dari mereka, kita hanya mengerjakan saja,” kata Lulusan SMU Al Furqon Limbangan, Garut. Menurutnya, mengerjakan pesanan bambu kostum tidak semudah membuat sangkar burung.
Pengrajin lainnya, Cecep Syaripudin. Ia lebih fokus pada anyaman bambu sangkar burung. Cuannya cukup lumayan dibanding anyaman bambu lainnya. Menurut Cecep, anyaman bambu sangkar barung yang digelutinya mampu terjual 1200 buah per bulannya. Ia dibantu 10 pegawai lainnya dalam memenuhi pesanan konsumen.
Selain diproduksi sendiri, sangkar burung ia beli dari pengrajin lainnya. Kurang lebih seratus ribu per sangkar dibelinya dari pengrajin. Ia bersyukur, selama ini orderan sangkar burungnya tak pernah sepi sekalipun saat pandemi Covid 19 terjadi. “Perbulan rata-rata omset penjualan kurang lebih 300 juta, kalau yang lain bisa milyaran perbulannya,” katanya.
Menurut pemilik Sangkar Burung Kubangsari Jaya, Kampung Ciloa Desa Mekarsari, jenis bambu tali yang dipilih untuk pembuatan anyaman sangkar burung. Ukuran bambu tali rata-rata 5-7 meter per batangnya. Usia bambu pun menentukan kualitas yang dihasilkan. Rata-rata yang cukup bagus usianya antara 1-2 tahun.
Selama ini menurut Cecep, rata-rata pengrajin sangkar burung menghasilkan satu sangkar per harinya. Karena cara pembuatannya yang rumit sehingga membutuhkan karapihan.
Tak hanya itu tempat produksinya sering kali dijadikan tempat penelitian. Baik kalangan kampus dalam dan luar negeri. Menurutnya, negara yang pernah melakukan penelitian di antaranya Belanda, Jepang dan Perancis. Di desanya terdapat kurang lebih 2000 pengrajin. Ini menunjukan kerajinan sangkar burung mampu menggerakan ekonomi di desa.
Menurut pengurus kelompok perkumpulan pengrajin bambu Mekarsari Jaya Mandiri, Cecep Syaripudin, perputaran bisnis sangkar burung bisa mencapai milyaran perbulannya.
Cuan bisnis kerajinan bambu juga turut dirasakan Dandi. Pengrajin sangkar burung itu, hampir saban hari mengerjakan finising pembuatan sangkar burung yang didapat dari pengrajin lainnya. Ia mendapat upah borongan per sangkar burung Rp. 150.000.
“Rata-rata sebulan dapet 10 juta,” ujarnya. Seharinya lelaki berusia dua puluh tahunan itu sanggup mengerjakan 5 buah sangkar burung. “Kalau cuaca normal bisa 5 buah seharinya,” katanya. Lebih dari lima tahun menggeluti pekerjaannya sebagai pengrajin.
Kolaborasi BUMDes Kriya Mekar
Karena itu, Kepala Desa Mekarsari, Aji Nugraha, mengaku kalau bisnis kerajinan sangkar burung di desanya sangat berkembang pesat di banding produk bambu kreatif. “Perputaran ekonomi dari sangkar burung lebih cepat dibanding kerajinan bambu lainnya hal terkait segmen pasar dan harga jual,” kata lulusan 2010 STKS Bandung itu menambahkan. Terlebih pengrajin bambu kreatif masih menggunakan sistem manual.
Ke depan, ia akan mendorong kerajinan bambu kreatif agar bisa maju. Salah satunya dengan memberdayakan Bumdes yang ada di desanya untuk membuat program pelatihan.
Program ini, menurut Ahmad Jalaludin, Direktur Bumdes Kriya Mekar, Desa Mekarsari, untuk meningkatkan kualitas produk bambu kreatif. Karena menurutnya, anyaman bambu kreatif lebih mengutamakan nilai seninya sehingga dapat menambah nilai jual. “Bambu kreatif lebih pada nilai seni, butuh keahlian khusus,” katanya.
Setidaknya, menurut Ahmad, pelatihan bambu kreatif diselenggarakan setahun sekali di desanya untuk melatih keterampilan warganya. Misalnya cara pembuatan tempat tisu, galon air, tempat lampu dan yang lainnya. Rencananya, Bumdes Kriya Mekar akan membuat workshop sebagai pusat pelatihan bambu kreatif untuk warganya.
Pendampingan Bersama ITB
Soal pengrajin bambu Selaawi, menurut Muhammad Ihsan, memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan lebih luas. Dari segi kualitasnya, Ihsan mengaku, apa yang dihasilkan selama ini sudah bagus. ‘”Selaawi itu potensial, terutama Sangkar burung, ” katanya. Dengan potensi yang sangat besar ini diharapkan dapat memberikan dampak ekonomi yang baik bagi pengrajin.
Sejak 2018 Kecamatan Selaawi merupakan wilayah binaan ITB yang bertujuan untuk membantu meningkatkan kualitas pengrajin Bambu. “Apapun yang dibutuhkan, kita bisa bantu,” kata Ihsan agar Selaawi semakin terangkat karena produk bambunya.
Menurut Ihsan, diharapkan kerja sama ini dapat memberikan nilai manfaat bagi para pengrajin bambu di Selaawi. Salah satunya, dengan pengadaan alat dan pelatihan serta pembuatan laboratorium lapangan soal bambu. Ia berharap apa yang dimiliki ITB dapat dimanfaatkan di Selaawi.
Tahun 2018, kecamatan Selaawi dijadikan Kawasan industri bambu kreatif melalui keputusan Bupati Garut Nomor 352. Hal ini untuk meningkatkan potensi ekonomi kerajinan bambu yang ada di Selaawi sebagai produk unggulan.
Tahun lalu, pemerintah Garut menyelenggarakan Selaawi Bamboo Festival di Gedung SBCC Selaawi. Acara ini bertujuan untuk memperkuat ekonomi masyarakat Selaawi dengan mengoptimalkan kerajinan bambu.
Pagelaran tersebut turut dihadiri oleh Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, Duta Besar Ukraina, Georgia dan Armenia yang juga Pembina Yayasan Bambu Indonesia, Yudi Chrisnandi dan Wakil Bupati Garut, Helmi Budiman. Dari Selaawi, bambu desa semakin mengglobal.