Andaliman, Merica Batak Yang Mendunia
Andaliman menjadi rempah-rempah otentik khas Sumatera Utara. Kini, tengah dikembangkan menjadi produk lain sebagai solusi nilai tambah ekonomi.
Berada di bawah tumbuhan rimbun, Jery Lumbangaol, penduduk Hutapaung Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Provinsi Sumatera Utara, terlihat piawai memetik tanaman andaliman. Rempah yang berbentuk kecil beraroma tajam menyerupai jeruk.
Andaliman kaya dengan rasa. Ada pedas saat diicip, biasanya dinamai merica Batak. Tanaman endemik yang mampu hidup secara liar. Tak hanya menjadi identitas kuliner Batak, tapi juga kini sudah menembus pasar internasional.
Andaliman yang memiliki nama latin Zanthoxylum Acanthopodium DC ini, biasa diolah untuk bumbu campuran makanan tradisional masyarakat batak seperti arsik, naniura, ayam maninagar dan lainnya. Ada banyak kandungan vitamin di dalamnya, sehingga melekat dalam istiadat Batak sebagai merica.
Rasa yang khas, unik, dan banyak khasiat ini menjadi identik kuliner masyarakat Batak sebagai bumbu makanan dan minuman. Tak salah jika andaliman menjadi sumber mata pencaharian masyarakat. Bagi banyak keluarga di desa, mereka bergantung dengan tanaman itu sebagai penambah ekonomi keluarga.
“Di desa saya, masyarakat bergantung dari andaliman, selain dari sektor lainnya,” jelas Jery Lumbangaol.
Jery sendiri baru lima tahun fokus memanfaatkan andaliman menjadi produk olahan. Sebelumya, ia merantau bekerja di Palembang. Ia merasa, perkembangan bisnis di kawasan Danau Toba, dengan olahan kearifan lokal sangat minim.
“Orang di Toba itu lambat bisnis beverage (minuman). Padahal banyak pendatang dan kondisi wilayahnya seperti Bandung, sehingga saya buatlah bisnis dengan komplimen lokal, yaitu andaliman,” katanya untuk menambah nilai ekonomi dari komoditas andaliman ini.
Inovasi
Jery menjadi satu-satunya orang yang mengembangkan andaliman ke dalam bentuk minuman bandrek. Idenya muncul karena karakteristik rasa yang pedas dan menghangatkan tubuh.
“Produk bandrek itupun dari proses kegagalan, sebelumnya mengirim andaliman utuh, tapi mengalami kerusakan karena sifatnya yang mudah teroksidasi jika terkena oksigen, akhirnya saya berpikir, muncullah ide ini,” jelasnya.
Produk bandrek andaliman ini diterima pasar lokal. Setiap hari, ada sekitar dua kilogram yang diolahnya. Dengan rata-rata penjualan per bulan mencapai 10 ribu saset yang laku terjual. Pemasarannya tidak hanya di wilayah Sumatera Utara, tapi sudah meluas ke Kalimantan dan Jawa.
“Saya jual secara online, jangkauan sudah sampai ke luar negeri tapi penjualannya masih secara individual, lewat orang Batak yang tinggal di luar negeri, yaitu Malaysia, Jepang, Ameraka, Belanda dan Colorado,” katanya bangga.
Produk bandrek Jery sudah mendapat pengakuan lewat pendaftaran di Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Ke depan, ia menargetkan penjualan tembus per bulan hingga 1 juta saset. Dengan pasar jangkauan yang lebih luas lagi.
Berbagai inovasi juga terus dikembangkannya, seperti melakukan proses uji coba dan pemeriksaan di laboratorium tentang manfaat teh dari daun andaliman. Termasuk, menjadikan produk ekstrak andaliman menjadi bahan baku industri.
“Andaliman ini menurut saya punya potensi besar untuk masuk dunia farmasi dan kosmetik. Produk bandrek saya sendiri, ke depannya mau seperti pabrikan, berskala besar dengan memberikan manfaat bagi kesehatan,” ungkap Jery Lumbangaol.
Tanaman Unik
Andaliman memang tanaman unik. Tanaman ini secara lingkungan mampu menjaga keasrian hutan, karena bagian batang dan daunnya yang dipenuhi duri, menjadi pelindung tanaman lain di sekitarnya.
“Dahulu andaliman hanya ada di dalam hutan Sumatera Utara, tapi sekarang, karena pengetahuan semakin luas, proses budidaya dilakukan dan banyak yang berhasil di wilayah Jawa, bahkan pernah saya dengar mau ditanam di Sulawesi,” kata Jeri.
Tanaman ini hanya bisa tumbuh di wilayah ketinggian di atas 1.000 meter permukaan laut (MDPL). Biasanya tumbuh di bawah naungan pohon lainnya.
Di Sumatera Utara, khususnya di desanya, ada dua jenis andaliman, dari total 6 jenis, di antaranya andaiman simanut (kecil dan getir), dan andaliman sihorbo (besar, buah lebat dan pohon cepat mati, tapi tidak begitu getir). “Di sini, andaliman hidup di sekitar hutan kemenyan,” jelasnya.
Ia biasa memanen andaliman setiap tiga tahun sekali di halaman belakang rumahnya. Menurutnya, di petani, harga andaliman mencapai Rp 40 hingga Rp 45 ribu per kilo. Harga tertinggi bisa mencapai Rp 80 ribu. Walau harga yang relatif stabil, sayangnya para petani masih belum serius menjadikan andaliman sebagai komoditas unggulan.
Andaliman tumbuh dan tersebar di Kabupaten Humbahas, Simalungun, Karo dan daerah lainnya. “Andaliman komiditi yang punya marwah karena terkait budaya dan menjadi peninggalan nenek moyang,” ujar Jery Lumbangaol menjelaskan.
Dikirim ke Jerman
Jery Lumbangaol adalah salah satu anak muda yang mengolah agar andaliman naik kelas. Di desa lain, seperti Desa Ria-ria, Kabupaten Humbas, kini ada 38 petani yang tergabung di dalam Kelompok Tani Andaliman Dosroha, yang bersiap untuk mengirim 400 kilogram andaliman kering ke Jerman lewat PT Mega Inovasi Organik (MIO) di Jogjakarta.
Koordinator Kelompok Tani Andaliman Dosroha, Baginda Lumbangaol menjelaskan, andaliman yang siap kirim ke Jerman sudah melewati proses pengeringan di ruangan tertutup bernama green house. “Tapi belum bisa dikirim, masih menunggu bagasi di Bandara Silangit, lewat PT MIO,” katanya.
Masih kata Baginda, sayap bisnis juga mulai dilebarkan, lewat pengiriman contoh andaliman ke negara lainnya, yaitu Perancis dan Inggris. “Saya tidak bisa jamin apakah akan lolos verifikasi, kami berharapnya lolos, agar hasil produksinya bisa tertampung maksimal,” harapnya.
Di Desa Ria-ria, rata-rata petani melakukan budidaya penanaman andaliman secara masif. Semuanya dilakukan lewat proses organik, karena tumbuhan ini sulit hidup jika terkontaminasi bahan kimia.
“Menggunakan pupuk pestisida, 75 persen andaliman mati, lebih baik menggunakan pupuk organik, dari pembibitan, penanaman, perawatan dan produksi, harus alami,” jelasnya.
Merambah Pasar Luar Negeri
Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Belawan, Andi Yusmanto menjelaskan, sepanjang 2021 sebanyak 1.774 kg andaliman menembus pasar ekspor ke Jerman, dengan masa pengiriman dua kali. Sebagai komoditas khas Sumatera Utara, menurutnya rempah ini memiliki peluang pasar yang sangat besar, karena tingkat permintaan pasar tinggi.
“Tapi harus memperhatikan kuantitas dan ketersediaan produk. Kriteria kualitas produk harus bebas dari organisme pengganggu tanaman (OPT) dan sesuai dengan permintaan buyer (pembeli),” katanya.
Andi menjelaskan, saat ini, andaliman masih menjadi tanaman hutan yang belum dibudidayakan secara profesional. Sehingga pemenuhan terhadap permintaan pasar dunia masih terkendala suplai yang berkesinambungan.
“Karena untuk mengumpulkan hasil hingga dapat diekspor, minimal 6 bulan lagi dari pengutipan terakhir,” imbuhnya.
Andaliman dari bumi Sumatera Utara ini semakin mengharumkan Indonesia sebagai salah satu negara penting pemasok rempah-rempah dunia. Pembenahan mata rantai komoditas andaliman menjadi pekerjaan rumah yang menantang di tengah pasar global yang terbuka lebar.