Desa

Memaksimalkan status desa wisata dengan produk warga

Selain memiliki bentang alam yang memikat, status desa wisata di Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara juga ditopang oleh produk khas warga. Tenun ulos khas Batak yang motif dan kualitasnya dijaga secara turun temurun.

Arifin Al Alamudi
Memaksimalkan status desa wisata dengan produk warga
Pemandangan Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara, pada pagi hari (11 Februari 2021). Arifin Al Alamudi / Lokadata

Pria berladang, perempuan memintal benang. Itulah sepintas terlihat saat mengunjungi Desa Meat. Selain menawarkan pemandangan Danau Toba (bagian selatan tenggara), di Desa Meat juga masih terdapat rumah adat khas Batak.

Desa yang berjarak sekitar 250 Km dari Kota Medan ini menawarkan panorama pemandangan alam yang khas; hamparan sawah sejauh mata memandang, perbukitan, dan danau. Hingga patut dijadikan rute wisatawan setelah berwisata dari Danau Toba.

Sebelum menjadi desa wisata pada 2017, bertenun ulos di Desa Meat hanya menjadi pekerjaan sambilan di sela-sela aktivitas bertani. Sebab tidak menguntungkan dari sisi ekonomi. Kini hasil tenunnya disambut pasar dan dengan kian banyak perempuan menekuni pembuatan ulos atau selendang khas Batak yang biasa dipakai dalam sejumlah acara adat.

Tangkapan layar Dashboard Lokadata untuk status Desa Meat dalam Indeks Desa Membangun (IDM) 2019 dan 2020 yang masuk ketegori Desa Berkembang.
Tangkapan layar Dashboard Lokadata untuk status Desa Meat dalam Indeks Desa Membangun (IDM) 2019 dan 2020 yang masuk ketegori Desa Berkembang. Dashboard Lokadata / Lokadata

Elida Siahaan, 33 tahun, salah satu warga Desa Meat yang juga penenun ulos sejak usia 13 tahun mengatakan semakin fokus dengan menenun. Sebab harga jenis ulos dan kerajinan tenun dari Desa Meat lebih tinggi dibandingkan desa sekitarnya.

Sebelumnya satu lembar kain ulos cuma dihargai Rp200 ribu sampai Rp300 ribu, saat ini mencapai Rp500 ribu sampai Rp600 ribu saat dibeli oleh tauke atau agen dan wisatawan. Wisatawan dan agen suka karena hasil tenunannya berkualitas bagus dan warnanya tidak pudar.

“Motif tenunannya warisan keluarga secara turun temurun dan sulit disamai oleh pembuat ulos lain khususnya yang dari luar Desa Meat,” kata Elida saat ditemui, Kamis (11/2/2021).

Selain itu, soal kualitas tenun agen juga memeriksa. Jika tenunannya rapi dihargai mahal. Sebaliknya jika kualitas tenunannya kurang bagus, tidak rapi, dan pakai benang di bawah standar dihargai murah.

Ada sekitar ratusan penenun ulos di Desa Meat. Namun Elida khusus menenun Ulos Ragi Hotang, ulos yang digunakan dalam acara pernikahan adat Batak. Saat ditemui dia sedang menenun Ragi Hotang Hela yakni ulos untuk hantaran pria kepada keluarga perempuan.

Elida Boru Siahaan menenun Ulos Ragi Hotang di rumahnya, Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara (11 Februari 2021). Elida adalah satu dari ratusan perempuan penenun ulos di Desa Meat. Sejak dijadikan Desa Wisata, pendapatan para penenun ulos di Desa Meat meningkat lebih dari 100 persen.
Elida Boru Siahaan menenun Ulos Ragi Hotang di rumahnya, Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara (11 Februari 2021). Elida adalah satu dari ratusan perempuan penenun ulos di Desa Meat. Sejak dijadikan Desa Wisata, pendapatan para penenun ulos di Desa Meat meningkat lebih dari 100 persen. Arifin Al Alamudi / Lokadata

Elida tahu bahwa Ulos Ragi Hotang buatan tangannya dijual ke berbagai tempat, bahkan agen bilang ada yang sampai ke luar negeri. Namun dia tidak tahu kemana saja ulosnya diekspor. “Kita kan beli putus,” ungkapnya.

Kini dengan jumlah pendapatan yang menjanjikan dari menenun ulos, dalam seminggu Elida bisa memproduksi tiga helai kain ulos Ragi Hotang. Atau dengan penghasilan sekitar Rp1,8 juta dalam sepekan.

Setiap pekan Elida membuat ulos dari hari Senin hingga Jumat pagi. Lalu Jumat siang hasil tenunan dijemput oleh agen. Kemudian pada hari Minggu belanja pasar untuk membeli benang.

Pendapatan lainnya bersumber dari wisatawan yang berkunjung. Biasanya pada akhir pekan ada wisatawan minta diajari menenun ulos. Jumlahnya gak menentu, kadang sebulan ada satu atau dua orang. Elida mengatakan tak masalah, itu jalan pembuka untuk bertemu langsung dengan pembeli.

“Ada wisatawan yang setelah kita ajari, langsung memesan satu kain atau dua kain. Kalau kita jual langsung ke pemesan kan harganya lebih mahal daripada ke agen,” terang ibu dua anak yang ditemui di rumahnya.

Kedepan, Elida berniat akan mengajari putri tunggalnya untuk martonun ulos agar menjaga tradisi Ulos Ragi Hotang Desa Meat.

Evi Boru Simanjuntak sedang menenun ulos sarung di kediamannya. , Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara, 11 Februari 2021.
Perempuan 76 tahun ini sudah menurunkan keahlian Martonun Ulos sarung dan selendang pada anak dan cucunya. Kini keluarga Evi menggantungkan hidup dari Martonun Ulos.
Evi Boru Simanjuntak sedang menenun ulos sarung di kediamannya. , Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara, 11 Februari 2021. Perempuan 76 tahun ini sudah menurunkan keahlian Martonun Ulos sarung dan selendang pada anak dan cucunya. Kini keluarga Evi menggantungkan hidup dari Martonun Ulos.

Hal serupa dilakukan Evi Boru Simanjuntak, 76 tahun, warga Desa Meat yang sudah menurunkan keahlian martonun ulos pada dua generasi: anak dan cucunya. Sejak zaman neneknya masih hidup, Evi sudah belajar menenun ulos untuk jenis sarung dan selendang.

Sekarang cucunya yang paling sulung berusia 20 tahun sudah bisa mengulos dan menjual hasil tenunannya sendiri. “Saya diajari menenun oleh nenek dan itu yang aku ajarkan ke anak dan cucuku juga,” kata Evi saat ditemui di rumahnya.

Menurutnya dalam sepekan, dia bersama anak dan cucunya bisa membuat tiga pasang sarung dan selendang. Dengan harga jual pada agen mencapai Rp850 ribu per pasang. Harga itu, menurut Evi, terjadi dalam dua tahun terakhir.

Evi mengaku dulu harganya tidak bisa seperti sekarang. Namun dari informasi yang didapatkan, ulos Desa Wisata Meat memiliki kualitas bagus sehingga harganya merangkat naik di pasaran.

“Awalnya kami takut tidak ada yang beli, tapi ternyata permintaan dari agen tetap ada, ya kami senang,” ungkapnya.

Selain itu, menurutnya, agen juga mulai sering memberikan permintaan khusus soal motif dan warna benang ulos. Bahkan terkadang ada agen yang datang langsung membawakan benang dan meminta motif khusus untuk ditenun.

Dari peningkatan hasil pendapatan ini, Evi dan anaknya kini lebih menggantungkan hidup dari menenun ulos. “Dari ladang sekarang tidak banyak hasilnya, paling berasnya untuk makan dan sebagian dijual,” jelas Ekamaha boru Simbolon, 44 tahun, yang juga menantu Evi.

Menenun di depan rumah adalah hal yang rutin dan lumrah di Desa Meat. Sesekali meladeni wisatawan yang belajar menenun ulos.

Sejak dijadikan Desa Wisata tahun 2017, pendapatan para penenun ulos di Desa Meat meningkat. Jumlah para penenun ulos di Desa Meat pun semakin banyak dibanding tahun 2016 sebelum dijadikan desa wisata.
Sejak dijadikan Desa Wisata tahun 2017, pendapatan para penenun ulos di Desa Meat meningkat. Jumlah para penenun ulos di Desa Meat pun semakin banyak dibanding tahun 2016 sebelum dijadikan desa wisata. Arifin Al Alamudi / Lokadata

Peningkatan pendapatan perempuan penenun ulos di Desa Meat saat ini sangat dirasakan Evi dan keluarganya. Namun dia tetap berharap pemerintah memperbaiki dan meningkatkan fasilitas umum di sekitar Desa Wisata Meat. Seperti memperlebar jalan, memperbanyak penginapan dan kamar mandi untuk wisatawan serta fasilitas lain di pinggir Danau Toba.

Rendy Utomo, seorang wisatawan di Desa Meat mengaku sangat tertarik dengan kebudayaan menenun ulos di Desa Meat. Menurutnya apa yang dilakukan masyarakat Meat menjadi pembeda dari desa-desa wisata lain di sekitar Danau Toba.

Dia mengaku sempat terkejut saat pertama kali masuk Desa Meat melihat perempuan-perempuan menenun ulos di depan rumah. Dia jadi penasaran dan mampir untuk melihat lalu membeli ulos sarung untuk hadiah.

“Kalau di pasar Balige atau Tarutung harganya bisa lebih dari Rp1 jutaan, di sini kita bisa beli Rp800 ribu sarung dengan selendangnya,” jelas Rendy yang ditemui saat berkunjung ke Desa Meat.

Pria asal Kota Medan ini mengaku sudah beberapa kali mampir ke Desa Meat dan kerap merekomendasikan tempat ini kepada kolega-koleganya.

Dia pertama kali ke Meat pada tahun 2019 mengikut kegiatan 1.000 Tenda. Karena dulu fasilitas penginapan di Desa Meat hanya tenda saja.

“Sekarang udah ada home stay yang berbentuk rumah adat, fasilitas pendopo di pinggir danau juga sudah ada, jadi makin keren,” ungka pria 28 tahun ini.

Filosofi dan makna Ulos Ragi Hotang

Ketua Desa Adat Meat, Guntur Sianipar, 60 tahun, bercerita Ulos Ragi Hotang khas buatan tangan perempuan Desa Meat sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Sejak Raja Batak ada di Tanah Toba dan mengajarkan cara bertenun secara turun temurun hingga saat ini.

Ulos Ragi Hotang ini, kata Guntur, dulu fungsinya jadi perantara untuk berdoa. Ragi Hotang asal usul artinya adalah hutan, hotang itu artinya rotan juga. Alat pemintal benangnya juga terbuat dari rotan. Bagi orang Batak ulos fungsinya sangat penting, biasanya untuk acara perkawinan.

Motif Ragi Hotang di ulos tergambar seperti ruas-ruas rotan. “Rotan ini kan fungsinya mengikat, itulah simbolnya. Rotan ini kan ada airnya, sumber kehidupan,” jelasnya.

Ragi Hotang ini biasanya diberikan pihak laki-laki kepada calon mempelai perempuan dan calon ibu mertuanya, sebagai tanda pengikat, penyatuan dua keluarga. Filosofinya sebagai pengikat.

Makna lainnya, keteguhan dan kekuatan menjadi satu. Harus teguh dalam berumah tangga dan selalu bersama. Jadi dari filosofi dan maknanya inilah Ulos Ragi Hotang selalu dianggap sakral dan penting untuk upacara adat pernikahan.

Itu juga sebabnya Ulos Ragi Hotang selalu laku di pasaran meski sudah banyak pabrik tekstil yang memproduksi ulos dengan motif Ragi Hotang. Bahkan orang-orang Batak yang ada di luar Sumatera tetap mencari Ragi Hotang untuk pernikahan dan memesan dari Desa Meat.

“Yang paling banyak pesan berasal dari Kepri, Palembang, Jakarta, dan Jawa Barat. Langsung pesan dari sini,” tambah Guntur.

Selain Ulos Ragi Hotang, kata Guntur, yang lagi populer saat ini adalah ulos sarung dan selendang dari Desa Meat. Tak heran banyak juga perempuan Desa Meat yang menenun ulos sarung dan selendang.

Aktivitas perempuan penenun ulos di Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara (11 Februari 2021).
Aktivitas perempuan penenun ulos di Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara (11 Februari 2021). Arifin Al Alamudi / Lokadata

Dari total 200 Kepala Keluarga (KK) yang ada di Desa Wisata Meat saat ini, ada sekitar 60-70 persen atau 120-140 KK di antaranya memperoleh penghasilan dari bertenun ulos.

Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Toba, pada tahun 2016 atau sebelum ditetapkan sebagai Desa Wisata, jumlah penenun ulos hanya 87 KK saja. Menurut data BPS tahun 2019 jumlah penenun meningkat menjadi 107 penenun.

"Pada tahun 2020 jumlah penenun tradisional Desa Meat sudah bertambah menjadi sekitar 120-140 KK," kata Guntur.

Ayah dua anak ini mengatakan, sejak dijadikan Desa Wisata, harga ulos dari Desa Meat meningkat dan mendorong perekonomian warga semakin baik. Selain itu banyak pihak yang membantu mempromosikan ulos buatan tangan perempuan Desa Meat, termasuk salah satunya adalah Dekranasda Kabupaten Toba.

Ritawati Darwin, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Toba mengatakan sejak beberapa desa di Toba dijadikan desa wisata, pihaknya gencar melakukan promosi hasil-hasil kerajinan tangan warga desa wisata.

Salah satunya yang khas buatan tangan perempuan Batak adalah ulos dan yang paling populer adalah Ulos Ragi Hotang dari Desa Meat. Menurutnya, dari segi kualitas, di seluruh Toba ulos dengan kualitas paling baik dan paling banyak diekspor berasal dari Kecamatan Silaen. Namun Silaen bukan desa wisata, yang masuk kawasan desa wisata adalah Meat.

“Nah, untuk merangsang semangat warga dalam usaha tenun ulos di Meat, kita pernah memberikan pelatihan dan menyalurkan bantuan modal pada tahun 2017,” jelas perempuan 52 tahun ini saat ditemui di Kota Balige, Ibu Kota Kabupaten Toba.

Lalu pihaknya melakukan promosi-promosi pada acara-acara pameran, hingga ke luar daerah untuk mengenalkan ulos buatan perempuan Desa Meat. Sehingga permintaan bisa meningkat, harga juga terdongkrak.

Rumah adat di Desa Meat Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara yang sudah berusia ratusan tahun namun masih berdiri kokoh (11 Februari 2021). Rumah adat ini kini dijadikan penginapan untuk  wisatawan dengan tarif Rp200 ribu per malam.
Rumah adat di Desa Meat Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara yang sudah berusia ratusan tahun namun masih berdiri kokoh (11 Februari 2021). Rumah adat ini kini dijadikan penginapan untuk wisatawan dengan tarif Rp200 ribu per malam. Arifin Al Alamudi / Lokadata

Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Perinkop dan UKM) Kabupaten Toba, Marsarasi Simanjuntak menjelaskan pihaknya terus melakukan pembinaan dan terus berusaha memberikan bantuan modal sehingga para penenun terus semangat berkarya dan kualitas produksinya meningkat.

Pembinaan yang dimaksud antara lain memberikan pelatihan untuk memperbaiki kualitas tenunan, cara membuat benang tenunan agar tahan lama, serta mengajarkan motif-motif tenunan agar warna lebih beragam.

Menurutnya, nilai atau harga ulos tidak semata-mata ditentukan jenisnya tetapi corak, warna dan kerapian hasil tenunan.

Sedangkan bantuan modal, dari Dinas Perinkop dan UKM Toba pernah menyalurkan anggaran Rp50 juta per desa sebagai modal untuk membeli alat tenun dan benang. Modal tersebut disalurkan langsung kepada kepala rumah tangga yang memiliki usaha tenunan tradisional.

Guntur Sianipar membenarkan soal bantuan dari Dinas Perinkop dan UKM Toba. Menurutnya pada tahun 2017, saat Desa Meat baru ditetapkan sebagai Desa Wisata pemerintah melakukan beberapa program, termasuk memberikan pelatihan dan bantuan modal.

Kala itu, Desa Meat mendapatkan bantuan sebesar Rp50 juta, namun tidak diberikan dalam bentuk uang kepada para penenun, seperti uang pembinaan saja. Uang tersebut dibelikan peralatan menenun dan benang.

“Kalau dibagi 87 KK kan jumlah Rp50 juta sedikit, jadi disiasati untuk dibelikan alat tenun dan benang saja,” katanya.

Dengan bantuan tersebut, Marsarasi yang ditemui di ruang kerjanya, berharap para perempuan yang sudah ahli menenun mau menularkan keahliannya kepada penenun lain, bukan hanya pada keturunannya saja. Sehingga komunitas penenun lebih banyak dan hasil produksinya jadi lebih banyak.

Baca Lainnya