Desa

Usaha pot beton minimalis saat pandemi

Kisah dua orang yang melihat peluang pasar naiknya penjualan tanaman hias di Kabupaten Kudus. Permintaan tinggi, terkendala jumlah produksi hingga peralatan.

Noor Syafaatul Udhma Islakhul Muttaqin
Usaha pot beton minimalis saat pandemi
Pemandangan teras depan rumah Afif, yang dijadikan sebagai toko pot beton produksinya. Islakhul Muttaqin / Lokadata

Berbekal pengalaman dua belas tahun bekerja sebagai pembuat pot beton di salah satu produsen besar dari Kabupaten Demak, Subkhan sejak Maret 2020 memutuskan memulai usaha pembuatan pot beton sendiri. Dia menangkap peluang setelah mengetahui tingginya penjualan tanaman hias di Kudus saat awal pandemi Covid-19.

Ketika memulai usahanya, pria berusia 45 tahun dari Desa Wates, Kecamatan Undaan, Kudus ini, hanya dibantu oleh anak laki-lakinya. Dia memanfaatkan pekarangan belakang rumahnya seluas 8 x 6 meter sebagai tempat produksi.

Dua bulan pertama, hanya mampu membuat sepuluh pot dalam sehari. Permintaan terus meningkat memaksanya menambah dua tenaga baru. “Dua orang tenaga tambahan itu untuk membantu produksi dan finishing. Sekarang saya mampu membuat 25-30 pot dalam sehari,” tuturnya ketika ditemui, Rabu (5/5/2021).

Dengan kapasitas produksi itu, dia hanya mampu melayani pesanan dari tiga toko tanaman hias besar di Kudus. Sekali dalam seminggu dia mengirimkan pot beton buatannya kepada pemesan.

Subkhan belum berani menerima pesanan di luar kapasitas produksinya. Dia ingin menjaga kepercayaan pelanggannya. Namun, untuk pembelian dalam jumlah bijian dia tetap melayaninya.

Kondisi ruang tamu rumah Subkhan yang difungsikan sebagai gudang pot beton.
Kondisi ruang tamu rumah Subkhan yang difungsikan sebagai gudang pot beton. Islakhul Muttaqin / Lokadata

Inovasi

Awal-awal produksi bentuk dan ukuran pot yang diproduksinya, masih meniru model dari tempat kerja sebelumnya. Sebagian besar pot buatannya berbentuk bulat gentong dengan ukuran dari 20 cm sampai 50 cm. Dia juga masih banyak meniru motif yang sudah ada di pasaran. Umumnya bermotif garis vertikal dan kotak-kotak timbul.

Namun, belakangan dia mulai berinovasi dengan motif minimalis, dengan permukaan polos dan dan diwarnai hitam atau putih. Menurutnya, motif pot itu ternyata lebih diminati konsumen.

“Ternyata pot polos yang minimalis lebih banyak diminati oleh pembeli. Acuannya tentu dari penjualnya, saya hanya mengikuti saja,” terangnya.

Untuk pot beton yang dibuat, Subkhan mematok harga dari harga Rp20 ribu untuk ukuran paling kecil dan Rp350 ribu untuk ukuran paling besar. Dalam sebulan, omset yang dia dapatkan rata-rata 10-11 juta, dengan keuntungan bersih sekitar Rp4,5-5 juta.

Tumbuhnya minat masyarakat terhadap desain pot minimalis juga dilihat Afif dari Desa Medini, Kecamatan Undaan, Kudus yang juga membuat usaha serupa. Namun agak berbeda dari Subkhan, sejak awal dia khusus hanya memproduksi pot beton dengan desain minimalis, baik secara bentuk maupun motif.

Subkhan (kedua dari kanan) bersama pekerjanya di lokasi produksi pot beton miliknya.
Subkhan (kedua dari kanan) bersama pekerjanya di lokasi produksi pot beton miliknya. Islakhul Muttaqin / Lokadata

Selain itu, dia juga sudah menggunakan merek dagang dengan nama TriColor yang mengusung slogan “Sentuhan budaya tanam minimalis.” Penggunaan merek menurut Afif, ingin menampilkan kesan minimalis yang tercermin dalam setiap produk. TriColor berarti tiga warna, yang diartikan ada tiga warna yang berbeda dalam satu pot, atau tiga bagian dengan kombinasi satu atau dua warna cat.

“Untuk desain terakhir, ada bagian yang tidak kami warnai agar tekstur asli betonnya menonjol untuk memberi kesan minimalis dan natural. Kami menggunakan kombinasi warna-warna pastel, cerah namun lembut, sebagai adaptasi terhadap trend pewarnaan minimalis yang berkembang belakangan,” kata Afif saat ditemui.

Ide pembuatan pot beton minimalis bermula dari kondisi yang dialami Afif. Sebagai orang yang menggemari tanaman hias. Dia merasa kesulitan mendapatkan pot minimalis yang mampu memaksimalkan performa tanaman hias koleksinya.

Andi Rosari, arsitek sekaligus Direktur Utama PT. Anugerah Inovasi Raya, perusahaan jasa konstruksi dan konsultasi desain yang berkantor di Bintaro, Tangerang Selatan menjelaskan bahwa gaya hidup minimalis semakin berkembang di Indonesia, bahkan di lingkungan perkotaan menjadi bagian dari identitas masyarakatnya.

Semangat minimalisme, menurut Andi, dalam arsitektur dan desain secara umum mengajak orang kembali kepada fungsi dari objek itu sendiri. "Itulah mengapa karakter utama desain minimalis adalah sederhana dan fungsional. Bidang-bidang yang dipilih umumnya berbentuk geometris, tersusun dari garis-garis lurus dan tegas,” kata Andi Rosari saat hubungi lewat sambungan telepon.

Pot kecil yang diproduksi oleh TriColor. Ukurannya beragam, mulai berdiameter 12 cm ,40 cm dan tinggi dari 12 cm sampai 90 cm.
Pot kecil yang diproduksi oleh TriColor. Ukurannya beragam, mulai berdiameter 12 cm ,40 cm dan tinggi dari 12 cm sampai 90 cm.

Untuk desain pot, Andi menambahkan, prinsip utamanya adalah bentuk, warna dan tekstur. Bentuk pot minimalis biasanya geometris, atau asimetris ekstrim. Sedangkan untuk warna biasanya menggunakan warna dasar putih, atau warna netral seperti abu-abu atau hijau muda. Untuk memberi aksen cerah, warna-warna pastel juga bisa digunakan sebagai kombinasi, terang tapi tidak berlebihan.

Teksturnya juga sederhana, polos, tidak banyak motif. Bahkan dalam perkembangan terakhir dengan model tekstur unfinished atau dibiarkan terbuka tanpa polesan cat.

TriColor memproduksi pot dari berbagai ukuran, mulai dari yang berdiameter 12 cm sampai 40 cm dan tinggi dari 12 cm sampai 90 cm. Meski secara ukuran bervariasi, namun dari segi bentuk hanya ada dua jenis, yaitu bulat dan kotak. Harga yang dipatok mulai dari Rp25 ribu hingga Rp400 ribu.

Dua bulan produksi, TriColor tidak mengejar kuantitas namun lebih menekankan kualitas. Menurutnya produksi pot yang berukuran besar diproduksi maksimal empat buah (diameter 30-40 cm dan tinggi 35-90 cm) dalam sehari. Pot berukuran sedang maksimal 10 buah (diameter 20-30 cm dan tinggi 20-30 cm), dan yang kecil maksimal 20 buah (diameter 12 dan 15 cm, tinggi 10-15 cm) dalam sehari.

Untuk pemasaran produk, sejauh ini Afif masih mengandalkan jaringan pertemanan dan menggunakan media sosial pribadinya sebagai sarana promosi. Pembelian terbesar justru berasal dari luar kota, terutama Yogyakarta, Semarang dan Jakarta.

“Pembelinya sejauh ini adalah orang-orang yang masih berada dalam lingkaran pertemanan saya dari luar kota, meski saya juga berharap produk kami direspon oleh pembeli lokal. Kondisi ini sebenarnya sudah saya duga, karena produk TriColor memang ditujukan untuk pasar urban, yang secara selera lebih familiar dengan produk-produk dengan desain minimalis,” Afif.

Sejak dilempar ke pasaran sejak pertengahan Maret 2021 hingga pekan pertama Mei 2021, TriColor telah menjual 66 buah pot, dengan rincian 5 ukuran besar, 20 sedang, dan 41 kecil. Ketika ditemui pada 5 Mei 2021 dan menanyakan berapa omset TriColor sejauh ini, sambil tertawa Afif menjawab secara diplomatis, “Belum ada seperempat dari seluruh modal produksi.”

Selain ukurannya kecil dengan berdiameter 12 cm sampai 40 cm, variasinya dengan tiga warna dalam satu pot.
Selain ukurannya kecil dengan berdiameter 12 cm sampai 40 cm, variasinya dengan tiga warna dalam satu pot. Islakhul Muttaqin / Lokadata

Keterbatasan

Ketika Afif memutuskan menekuni usaha pembuatan pot beton, dia merencanakan untuk memaksimalkan rumahnya sebagai toko untuk pot yang diproduksi. Menurutnya ini memang bukan kondisi ideal, namun pilihan realistis.

Afif mengaku usaha rintisannya masih memiliki keterbatasan mendasar, baik di level produksi maupun pemasaran. Di level produksi, TriColor masih terkendala dengan peralatan untuk mencetak pot, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.

“Idealnya memakai peralatan yang terbuat dari baja, hasil cetakannya lebih bagus dan tahan lama. Untuk ukuran produksi puluhan, setelah kami hitung nilai belanjanya mencapai puluhan juta. Saat ini kami belum mampu,” ucap Afif.

Sementara di sisi pemasaran, terkendala belum adanya orang khusus yang mengurusnya, termasuk pemasaran digital. Afif mengaku belum bisa sepenuhnya mengalihkan waktu dan tenaganya untuk mengurusi pekerjaan ini, mengingat saat ini dia masih harus berbagi waktu dengan pekerjaan di bidang kepenulisan.

Sebagai sesama produsen pot yang terbilang masih merintis, Subkhan juga menghadapi kendala serupa. Keterbatasan modal usaha membuatnya kesulitan melakukan pengembangan usaha. Kendala nyata yang dia rasakan saat ini adalah sempitnya lokasi produksi pot beton miliknya yang membuat kapasitas produksi tidak bisa ditingkatkan dan keterbatasan ruang penyimpanan.

“Masalah utamanya adalah tempat yang sempit. Saya tidak bisa menambah alat cetak lagi karena dengan kapasitas produksi harian sekarang saja sudah tidak sanggup menampung. Namun ya itu, biaya sewa lahan sekarang mahal banget, apalagi kalau pemiliknya tahu untuk usaha,” kata Subkhan lebih lanjut.

Baca Lainnya

Geliat dan peluang lain setelah sukses industri di Kudus
Desa

Geliat dan peluang lain setelah sukses industri di Kudus

Hampir 80 persen ekonomi Kabupaten Kudus ditopang industri pengolahan. Sektor lain bisa memanfaatkan hal itu dengan jeli melihat peluang dan pasar serta kerjasama antar industri besar, sedang, hingga skala mikro kecil menengah.

Afthonul Afif