Desa

Tong sampah tambah banyak, tapi buang sembarangan tetap jadi pilihan

Tahun 2014, hanya 10 persen desa/kelurahan yang sebagian besar warganya membuang sampah ke kali. Namun empat tahun kemudian, 2018, jumlah ini meningkat menjadi 12 persen, atau naik 20 persen.

Ayu Andini
Tong sampah tambah banyak, tapi buang sembarangan tetap jadi pilihan
Tempat buang sampah sebagian besar keluarga Lokadata / Lokadata
Tempat buang sampah sebagian besar keluarga
Tempat buang sampah sebagian besar keluarga Lokadata / Lokadata

Buanglah sampah pada tempatnya. Bagi sebagian besar rumah tangga di Indonesia, "tempat" buang sampah itu berada di dalam tanah, di kali, di saluran air, atau dibakar. Hanya sebagian kecil yang membuangnya ke tempat sampah.

Data Potensi Desa (PODES) 2018 menunjukkan, dua dari tiga desa di Indonesia (66 persen) menyingkirkan sampah dengan cara membakar atau membenamkannya dalam lobang di tanah. Sisanya, 15 persen membuang sampah pada tempatnya, dan 12 persen melemparkannya ke sungai atau saluran air.

Kampanye dan anjuran membuang sampah di tempat yang layak, ternyata tak mudah menuai hasil. Meskipun jumlah desa yang punya fasilitas pembuangan sampah makin banyak, kebiasaan menebar sampah ke sungai, sulit diubah dan bahkan terus meningkat.

Tahun 2014, hanya 10 persen desa/kelurahan yang sebagian besar warganya membuang sampah ke kali. Namun empat tahun kemudian, 2018, jumlah ini meningkat menjadi 12 persen, atau naik 20 persen.

Wilayah yang desa/kelurahannya paling banyak membuang sampah ke sungai/laut, menurut survei PODES 2018, adalah Maluku (36 persen), disusul dengan Kalimantan (26 persen), dan Sumatera (12 persen).

Membuang sampah di sungai merupakan salah satu penyebab utama bencana banjir. Penyumbatan sampah akan mengurangi volume bentang sungai sekaligus mempercepat pendangkalan.

Pembuangan sampah melalui badan air juga akan menyulap lautan, sebagai ekosistem terbesar di bumi, menjadi tempat sampah raksasa.

Selain menebar sampah ke sungai, kebiasaan membakar dan memendam sampah masih juga sulit diubah. Hampir semua wilayah di Indonesia (kecuali Bali dan Maluku) terbiasa menyingkirkan sampah dengan cara dibakar atau dipendam. Yang paling banyak, Nusa Tenggara (73 persen), disusul berturut-turut Sulawesi, Sumatera dan Jawa dalam persentase yang tak jauh berbeda.

Penelitian Awan Darmawan (UNDIP, 2014) mengenai perilaku masyarakat dalam mengelola sampah di Bima, Nusa Tenggara Barat menyimpulkan, pembakaran sampah didorong tiga hal: ada lahan untuk membakar, cuaca yang mendukung, dan keyakinan tak akan dipermasalahkan oleh orang lain.

Pembakaran sampah menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan publik karena menghasilkan berbagai polutan seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, sulfur dioksida, dan senyawa berbahaya lain akibat pembakaran plastik atau sisa cat pada kayu bekas.

Residu dari hasil pembakaran bisa meresap ke dalam tanah, kemudian mengalir lewat sungai, lalu masuk ke dalam rantai makanan manusia.

Pilihan tempat pembuangan sampah tertinggi
Pilihan tempat pembuangan sampah tertinggi Lokadata / Lokadata

Wilayah yang sudah lebih maju dalam soal pengelolaan sampah adalah Bali. Di Pulau Wisata itu, 55 persen desa/kelurahannya sudah memiliki fasilitas pembuangan sampah, dan hanya 25 persen desa yang warganya masih membakar/memendam sampah.

Survei PODES 2018 menunjukkan, tidak ada desa/kelurahan di Bali yang sebagian besar warganya membuang sampah ke kali atau ke laut.

Keberhasilan Bali merupakan paduan antara peraturan yang tegas, tersedianya fasilitas yang memadai dan kearifan lokal.

Jika dilihat lebih rinci, terdapat beberapa kabupaten yang hampir seluruh desanya membakar atau memendam sampah. Umumnya, wilayah-wilayah ini memiliki tingkat kepadatan penduduk yang rendah (tersedia lahan terbuka yang luas), seperti Kabupaten Nagekeo (NTT), Puncak Jaya (Papua) dan Tulang Bawang (Lampung).

Namun ada satu wilayah di Jawa, yang sudah tentu padat penduduk, yang juga gemar membakar/memendam sampah, yakni Kabupaten Kulon Progo.

Yang juga menarik, selain kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, ada dua wilayah yang desa/kelurahannya membuang sampah secara proper, yaitu di tempat sampah. Kedua wilayah itu adalah Kabupaten Bangka Tengah dan Kota Jambi.

Membakar sampah sebenarnya bisa dilakukan dengan aman, dengan syarat: ada proses seleksi dan penguraian sehingga polutan dan senyawa berbahaya tidak ikut terlepas ke udara.

Anton Tri Sugiarto, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, misalnya, berhasil mengembangkan inovasi insinerator plasma. Sebelum dibakar, sampah dipilah. Yang masih bisa diproses (untuk kompos atau didaur ulang), akan dipisah. Yang dibakar hanya sampah yang tak mungkin dimanfaatkan ulang.

Dengan metode plasma, melalui proses tumbukan elektron, gas-gas beracun seperti nitrogen, sulfur, dan dioksin dapat diurai atau diionisasi, sehingga yang terlepas ke udara hanyalah gas yang aman bagi lingkungan.

Tentu saja, ongkosnya lebih mahal dari pembakaran yang hanya bermodal korek api dan, mungkin, sedikit minyak tanah.

* Tulisan pernah ditayangkan pada laman Lokadata.id pada 07/09/2020

Baca Lainnya