Menimbang BUMDes pengelolaan sampah: pelajaran dari Kabupaten Kudus
Belajar dari BUMDes dengan kegiatan usaha pengelolaan sampah di Kabupaten Kudus, meski saat ini banyak yang masih merugi, ada langkah yang dapat dilakukan agar usaha ini tetap layak dilanjutkan.
Sepertiga BUMDes di Kabupaten Kudus memilih pengelolaan sampah sebagai kegiatan usahanya. Hingga medio 2024, sebanyak 38 BUMDes di Kudus mengoperasikan usaha pengelolaan sampah dengan berbagai macam skema.
Mayoritas usaha pengelolaan sampah BUMDes merupakan peralihan dari usaha yang sudah ada. Aktivitas ini kebanyakan telah lama menjadi kegiatan layanan pengambilan sampah oleh pemerintah desa atau pelaku usaha desa setempat. Mengalihkan kegiatan pengelolaan sampah desa yang semula dilakukan langsung oleh pemerintah desa maupun pelaku usaha desa adalah pilihan cepat agar BUMDes yang didirikan langsung memiliki usaha yang berjalan.
Opsi cepat ini tidak jarang menimbulkan banyak kesulitan dalam proses pengalihannya. Meskipun proses pengalihan ini telah menjadi kesepakatan musyawarah desa, tetapi dalam implementasinya banyak kendala. Pertama, pemerintah desa dan BUMDes harus mengubah persepsi atas usaha pengelolaan sampah: dari persepsi layanan sosial oleh pemerintah desa ke persepsi bisnis oleh BUMDes. Dari aktivitas yang sebelumnya tidak memperhitungkan untung rugi, menjadi usaha BUMDes dituntut harus untung dan setor PADes. Kedua, penyesuaian tarif retribusi yang dipandang sebagai tarif sosial menjadi tarif bisnis.
Selain itu, seringkali terjadi resistensi dari pengelola sampah sebelumnya dengan pengurus BUMDesnya yang baru terbentuk. Di beberapa situasi juga ditemukan carut marutnya tata kelola pengambilan sampah dan keuangan, menuntut pengurus BUMDes yang baru harus menatanya.
Tantangan yang lebih berat dialami oleh BUMDes yang mendapat limpahan kegiatan usaha pengelolaan sampah desa yang sebelumnya digratiskan oleh pemerintah desa. Bisa dibayangkan, tadinya warga merasa enak karena tidak membayar retribusi, kemudian akan diberlakukan kewajiban membayar. Belum lagi di desa-desa yang sebagian besar warganya masih memiliki lahan yang luas memiliki kebiasaan membuang sampah di pekarangannya.
Bisnis mengelola sampah: profit, dampak sosial dan lingkungan
Saat ini, sebagian BUMDes di Kabupaten Kudus mulai menginisiasi pemilahan dan pengolahan sampah organik. Beberapa BUMDes juga membakar residu menggunakan insinerator atau tanpa insinerator di TPS/TPA desa seperti BUMDes Garung Lor, Kedungdowo, Sambung, Ngemplak, Gondosari, dan Menawan. Sebagian lain, skema yang dilakukan masih berupa pengambilan sampah: sampah dari rumah tangga lalu diangkut ke TPS desa sebelum ke TPA atau langsung ke TPA Tanjungrejo.
Dari perspektif bisnis, skema pengambilan sampah dari rumah tangga (sumber sampah) kemudian langsung diantar ke TPA Tanjungrejo atau ke TPA desa kemudian ditimbun atau dibakar lebih menguntungkan. Biaya lebih efisien.
Meskipun jika dipandang dari perspektif sosial dan lingkungan, skema ini bukan solusi. Sebab, sampah yang terkumpul di TPA Desa yang kemudian dibakar maupun ditimbun akan menimbulkan polusi udara maupun tanah. Tak jarang warga desa yang tinggal dekat dengan lokasi TPS/TPA desa mengeluhkan munculnya bau menyengat dari pembusukan sampah, asap pembakaran sampai banyaknya lalat.
Namun, dipandang dari perspektif sosial dan lingkungan, usaha pengelolaan sampah cukup berdampak pada lingkungan sekitar warga yang menjadi bersih. Akan tetapi ada persoalan lanjutan: bersih di sekitar rumah, tetapi sampah menggunung di TPS dan TPA. Artinya hanya memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat lain.
Mengapa BUMDes rugi dalam mengelola sampah?
Sebagian besar BUMDes di Kabupaten Kudus yang usahanya pengelolaan sampah masih merugi. Kalaupun “untung”, pengurus BUMDesnya belum mendapatkan gaji yang layak. Jika para pengurus BUMDesnya digaji dengan layak dari usaha pengelolaan sampah, pasti BUMDesnya rugi.
Sumber pendapatan utama dari usaha pengelolaan sampah tergantung dari retribusi pelanggan yang diterapkan secara flat: tanpa mempertimbangkan “jumlah” sampah yang dihasilkan pelanggan. Tarif retribusi sampah yang dikenakan BUMDes berkisar antara Rp 10.000 – R20.000. Besaran Retribusi Rp10.000 didominasi di wilayah Undaan. Besaran retribusi Rp 15.000 banyak berlaku di wilayah Jati, Kaliwungu, Mejobo, Jekulo, Bae dan Kota Kudus. Besaran retribusi Rp20.000 ada di desa-desa wilayah Dawe dan Gebog.
Temuan hasil Analisis Kelayakan Usaha pengelolaan sampah yang dilakukan di beberapa BUMDes: apabila besaran retribusi yang dibayarkan hanya di bawah Rp20.000, bisnis ini berkategori tidak layak. Apalagi kalau mau menyelesaikan sampah dengan mengolah sampah di desa sendiri, nilai kelayakan usahanya kian turun. Upaya untuk menaikkan retribusi pun tidak mudah. BUMDes pun sangat kesulitan untuk memberlakukan retribusi di atas Rp20.000.
Di beberapa desa, dalam pengenaan tarif retribusi masih terikat dengan perdes pungutan dengan alasan agar tidak menjadi pungutan liar. Usulan perubahan tarif pun tidak jarang menimbulkan penolakan, baik dari warga, pemerintah desa, maupun BPD. Oleh sebagian kepala desa, kebijakan menaikkan retribusi sampah dianggap mengancam eksistensi jabatannya. Kebijakan ini dianggap memberatkan warga yang menjadi basis elektoral pemilihan kepala desa.
Di beberapa desa, penolakan datang dari BPD. Alih-alih sebagai wakil masyarakat, mereka berdalih mewakili suara warga yang merasa keberatan atas kenaikan retribusi sampah. Sebagian perangkat desapun demikian. Mereka beranggapan, pendapatan dari retribusi saat ini seharusnya sudah menguntungkan.
Para direktur BUMDes mengalami dilema. Di satu sisi, dituntut oleh desa (kepala desa, BPD, perangkat, masyarakat) untuk menyelesaikan permasalahan sampah. Di sisi lain, desa menolak kenaikan retribusi dengan berbagai macam alasan. Padahal untuk layanan sampah yang optimal, diperlukan pula retribusi yang proporsional. Di sebagian kasus, dengan biaya retribusi yang rendah, BUMDes masih “dipaksa” untuk memilah dan mengolah sampah. Secara operasional, hal ini jelas tidak mungkin.
Praktik BUMDes Kedungdowo dan Garung Lor, misalnya, menunjukkan bahwa upah tenaga kerja yang harus dibayarkan untuk tenaga pemilah dibandingkan hasil jual sampah pilahan sangat tidak sebanding. Itu baru memilah, belum mengolah. Sementara kalau mau mengolah butuh biaya yang lebih besar lagi terutama untuk tenaga kerja.
Bukankah bisa menggunakan mesin pemilah dan pengolah? Iya, menggunakan mesin juga masih butuh tenaga kerja dan bahan bakar, ujungnya biaya juga. Belum lagi memperhitungkan alokasi biaya perolehan mesin, atau dalam istilah akuntansi disebut beban penyusutan. Bukankah dari hasil olahan bisa dijual? Menjual hasil olahan sampah baik pupuk organik, maggot, dan sebagainya juga perlu aktivitas pemasaran yang bermuara pada biaya lagi.
Agar BUMDes tidak merugi: solusi jangka pendek
Solusi jangka pendek, idealnya menurut perhitungan, jika masih mau memberlakukan tarif secara flat, besaran retribusi yang layak ada pada angka antara Rp30.000 sampai Rp50.000 – bergantung kondisi desa masing-masing. Penetapan tarif flat, meskipun sudah dianggap lazim, sebenarnya ini tidak adil. Karena, jumlah sampah yang dihasilkan setiap pelanggan tidaklah sama. Mestinya pembayaranya juga tidaklah sama. Jika mau adil sebenarnya bisa diterapkan tarif progresif, mencontoh Desa Panggungharjo, DI Yogyakarta. Sampah dari rumah tangga ditimbang dan dibayar berdasarkan berat sampah yang dihasilkan.
Kedua, mencabut atau mengubah perdes pungutan yang didalamnya ada klausul tentang pengenaan tarif retribusi sampah yang sudah dikelola BUMDes. Pemberlakuan pungutan desa atas aktivitas pengelolaan sampah yang masih dikelola pemerintah desa langsung, dasarnya memang perdes pungutan. Ini dipandang sebagai imbal balik atas jasa layanan yang diberikan pemerintah desa kepada warga desanya.
Namun, jika pengelolaan sampah desa dikelola BUMDes sebagai sebuah entitas badan usaha yang terpisah dengan pemerintah desa, maka pengenaan tarif retribusi sampah cukup ditetapkan dengan SK kepala desa atas usulan direktur BUMDes yang tentu berdasarkan analisis kelayakan usahanya.
Pengenaan tarif retribusi pengelolaan sampah oleh BUMDes sebenarnya sudah menjadi urusan BUMDes dengan para pengguna jasa (pelanggan). Artinya ini dipandang sebagai sebuah hubungan bisnis antara perusahaan penyedia jasa pengambilan sampah (BUMDes) dengan pengguna jasa. Hubungan antara penjual dengan pembeli. Bukan lagi dipandang sebagai hubungan antara pemerintah desa langsung dengan warga. Seperti halnya antara PDAM dengan pelanggan airnya. Tarif PDAM ditetapkan dengan SK bupati atas usulan direktur PDAM.
Solusi jangka pendek dengan menaikkan retribusi sampah di atas Rp20.000 dalam implementasinya memang tidak mudah. Ini memang sudah menjadi “resiko” atau tanggungjawab sebagai seorang direktur BUMDes yang dengan sadar sanggup menjadi direktur BUMDes dengan usaha pengelolaan sampah. Butuh kemampuan seorang Direktur BUMDes untuk melakukan pendekatan yang persuasif kepada semua pemangku kepentingan.
Kalaupun kepala desa menyetujui, atau bahkan musyawarah desa sudah menyepakati kenaikan retribusi sampah ke angka yang layak apakah serta merta warga desa yang notabene menjadi pelanggan langsung serentak patuh? Belum tentu. Langkah berikutnya, BUMDes harus melakukan sosialisasi tanpa lelah untuk menggugah kesadaran warga dengan cara-cara yang elegan. Salah satunya, warga desa sebagai pelanggan perlu disadarkan bahwa BUMDes telah berupaya membantu mereka menyelesaikan masalahnya berupa sampah yang telah dihasilkan, maka sudah menjadi kewajiban mereka untuk membayar “upah” yang wajar dan layak.
Tidak boleh menyerah, namanya juga pebisnis, ketika jualannya belum laku ya tawarkan terus menerus. Iringi dengan pelayanan yang lebih baik. Sampah diambil tepat waktu, sediakan tong sampah dan sediakan layanan pengaduan, misalnya. Jangan lupa bahwa BUMDes merupakan “alat politik” bagi kepala desa untuk mendidik warga desanya. Artinya, menyadarkan warga untuk membayar retribusi yang layak sebagai bentuk tanggungjawabnya merupakan salah satu cara mendidik warga desa.
Bagaimana jika upaya menaikkan retribusi gagal? Menjawab pertanyaan ini perlu diikuti pertanyaan berikutnya: apakah masih akan tetap mengoperasikan usaha pengelolaan sampah yang merugi dan berpotensi merugi terus menerus? Jika tidak, ya tutup saja usahanya. Toh di dalam aturan mengenai BUMDes, usaha BUMDes bisa ditutup jika usahanya mengalami kerugian. Meskipun ini jadi solusi, tetapi jawaban ini bukan yang ditunggu.
Jika tetap akan mengoperasikan usaha pengelolaan sampah meskipun rugi dengan alasan karena program desa demi kebersihan dan kenyamanan lingkungan atau alasan politis lainnya, maka masih di pengelolaan sampah, BUMDes bisa membuka bank sampah. Jadi tidak hanya mengurus sampah yang dianggap residu yang dibuang di tong sampah: sampah yang dianggap tidak lagi memiliki nilai ekonomis, padahal masih ada. BUMDes juga dapat mengurus sampah warga yang masih memiliki nilai ekonomis.
BUMDes Tunjung Seto Bae memilih menjalankan usaha Bank Sampah. BUMDes mengajak warga desa untuk memilah sampah yang memiliki nilai ekonomis, lalu ditabung atau dibeli, dikumpulkan, dipilah kembali lalu dijual oleh BUMDes. Harga jual belinya tergantung harga pasar, sehingga tidak tergantung keputusan musyawarah desa atau perdes pungutan.
Membuka usaha baru yang diproyeksikan lebih menguntungkan juga bisa menjadi solusi. Namun harus disadari, keuntungan yang diperoleh dari usaha lain akan digunakan untuk menutup kerugian dari usaha pengelolaan sampah.
Agar BUMDes tidak merugi: solusi jangka panjang
Namanya juga solusi jangka panjang, hasilnya tentu tidak akan serta merta kelihatan dan dirasakan. Kalau pemerintah desa masih mempertahankan cita-cita dan keinginan untuk menyelesaikan sampah di desanya sendiri, membuang sampah ke TPA Tanjungrejo bukan menjadi solusi. Ini sama halnya hanya akan menjauhkan sampah dari sumbernya. Selain membutuhkan biaya yang besar juga hanya akan menimbulkan masalah baru di sana. Menyelesaikan sampah di desa sendiri, karena lebih dekat sumber sampah mestinya lebih efisien. Maka setidaknya ada 4 langkah yang harus disiapkan dan dilakukan secara konsisten.
Pertama, pemerintah desa menyiapkan infrastruktur kebijakan. Pemerintah desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan bersama warga desa, salah satunya urusan sampah. Sebenarnya setiap orang memiliki tanggung jawabnya sendiri pada sampah yang dihasilkannya. Namun, saat ini urusan sampah malah menjadi urusan bersama.
Melahirkan peraturan desa tentang pengelolaan sampah menjadi salah satu tahap awal. Peraturan desa tersebut bisa mengatur tentang tugas dan tanggungjawab para pemangku kepentingan desa, mulai dari pemerintah desa, warga desa dan BUMDes.
Namun perlu diingat, bahwa salah satu landasan utama untuk melahirkan peraturan desa adalah landasan sosiologis. Artinya aturan tersebut memang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam aspek penyelesaian bersama masalah sampah. Sebab faktanya terdapat perkembangan kehidupan bermasyarakat yang menimbulkan masalah sampah.
Kebutuhan menyelesaikan sampah tidak hanya menjadi keinginan pemerintah desa, tetapi harus menjadi kebutuhan bersama warga desa yang disepakati dalam musyawarah desa. Bukan hanya musyawarah desa formalitas, yang dihadiri oleh pemerintah desa, BPD dan sebagian tokoh masyarakat: hadir, setuju, menandatangani berita acara, lalu foto bersama. Bukan. Yang dibutuhkan adalah musyawarah desa yang benar-benar dilakukan dan dihadiri oleh semua unsur yang ada di desa. Musyawarah yang benar-benar menjadi arena rembug warga, sebagai sebuah cerminan kehendak bersama.
Peraturan desa yang telah dilahirkan jangan hanya menjadi dokumen yang pada akhirnya juga hanya menjadi sampah regulasi, tetapi harus diimplementasikan. Pemberlakuannya perlu diikuti komitmen dari pemerintah desa untuk mengawalnya dengan menyediakan instrumen kebijakannya. Misalnya menyediakan tempat sampahnya melalui belanja anggaran desa. Jika pengolahan sampah dilakukan oleh warga desa, pemerintah desa juga harus memfasilitasi instrumennya, misalnya berupa hewan ternak dan alat komposter.
Langkah kedua, pemerintah desa harus menyediakan infrastruktur sosialnya. Membangun kesadaran warga untuk mulai memilah sampah di level rumah tangga harus dimulai dan terus dilakukan. Memang sulit, tetapi kalau langkah ini tidak dimulai, cita-cita yang diharapkan juga mustahil tergapai. Proses membangun kesadaran sosial harus dibarengi dengan keteladanan dari para pemimpin di desa mulai dari kepala desa, perangkat desa, BPD dan lembaga-lembaga desa lainnya. Mustahil masyarakat akan sadar jika para pemimpinnya tidak memberikan keteladanan yang nyata.
Pembentukan bank-bank sampah melibatkan kaum perempuan sangat efektif diterapkan. Bank-bank sampah bisa bekerjasama dengan BUMDes. Fasilitas bank sampah juga perlu disediakan oleh pemerintah desa.
Ketiga, pemerintah desa perlu menyiapkan infrastruktur ekonomi. BUMDes yang telah dibentuk perlu diberikan permodalan yang cukup untuk menjalankan usaha pengelolaan sampah yang tidak hanya pengambilan tetapi sampai pengolahan. Pemerintah desa harus memfasilitasi pemasaran produk olahan sampah. Misalnya melalui program ketahanan pangan desa, pemerintah desa bisa membeli produk pupuk organik yang dihasilkan BUMDes atau warga masyarakat. Ekosistem bisnis sampah diawali dari desa sembari terus melakukan perluasan pasar.
Langkah terakhir, baru menyiapkan infrastruktur teknologi. Pengadaan berbagai macam peralatan teknologi harus diperhitungkan dengan cermat dan terukur. Seperti kapasitas mesin, timbulan sampah dan biaya untuk mengoperasikannya.
Sering ditemukan, pemerintah desa langsung menyediakan infrastruktur teknologi seperti mesin insinerator, mesin pemilah, mesin pencacah dan lain-lain tetapi karena belum disiapkan infrastruktur kebijakan, sosial dan ekonominya; akhirnya peralatannya banyak yang mangkrak. Menjadi rongsokan besi berkarat, penanda ketidaksiapan untuk mewujudkan cita-cita sampah selesai di desa.
Dari mana anggarannya? Dana Desa bisa digunakan untuk apapun sepanjang tidak dilarang. Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai urusan-urusan yang menjadi kewenangan desa. Seperti musyawarah desa, membuat peraturan desa, pembinaan kemasyarakatan untuk memilah sampah, membangun bank sampah dan pengadaan peralatan sampah serta memberikan modal ke BUMDes.
Penyusunan peraturan desa bisa menganggarkan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa. Sosialisasi dan pembinaan masyarakat dianggarkan di bidang pembinaan kemasyarakatan. Pembangunan TPA dan pengadaan peralatan bisa dianggarkan di bidang pembangunan. Penguatan permodalan BUMDes pun selalu diprioritaskan oleh pengaturan penggunaan Dana Desa.
Dana Desa mungkin terbatas, karena untuk merealisasikan langkah-langkah itu perlu anggaran besar. Namun langkah ini bisa dilakukan secara bertahap. Pemerintah desa juga bisa mengadvokasi program-program dari pemerintah daerah yang mendukung upaya penyelesaian sampah seperti program TPS3R dan dana aspirasi. Program proklim yang digalakkan Pemerintah Kabupaten Kudus pun bisa jadi program kolaborasi.
*Eko Sujatmo, spesialis tata kelola desa dari Perkumpulan Desa Lestari, aktif mendampingi BUMDes di Kabupaten Kudus sejak 2019.