BUMDes

BUMDes Gondosari: Dari pengelolaan sampah, berkontribusi ke pendapatan desa

BUMDes Gondosari memulai usahanya semenjak awal 2018. Tiap tahun berkontribusi ke PADes, total dalam lima tahun Rp75 juta.

Noor Syafaatul Udhma
BUMDes Gondosari: Dari pengelolaan sampah, berkontribusi ke pendapatan desa
TPS yang dikelola BUMDes Murakabi Gondosari Bambang Supriyanto / Bambang Supriyanto

Tin…tin…tin…Suara klakson mengagetkan Bambang Supriyanto, Direktur BUMDes Murakabi, Desa Gondosari, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Dia yang saat itu duduk di dekat tempat pemilah sampah langsung menengok sumber suara. “Itu mobilnya,” katanya sambil menunjuk mobil pengangkut sampah. Mobil itu masuk pelan-pelan melewati tempat Bambang duduk, menuju ke tempat pembuangan sampah (TPS). Setelah armada itu berhenti, satu per satu petugas keluar dari mobil lantas mengeluarkan sampah. Peluh terlihat di wajah mereka. Siang itu cuaca sedang bagus.

Salah satu petugas mengaku menjadi tim kedua yang bekerja pada 25 Juni 2023. Tak heran, sampah yang mereka bawa tidak terlalu banyak. “Kami sif kedua,” katanya usai berhasil memarkir mobilnya.

Bambang mengaku, seharusnya hari itu mereka libur. Namun karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan, maka libur pekerja akan diganti di hari lain. “Kami fleksibel, menyesuaikan kondisi. Yang penting komunikasi,” paparnya.

Bambang mengatakan, BUMDes Murakabi berdiri sejak 2017. Namun baru mulai berjalan pada Februari 2018. Unit yang dikelola hanya sampah. Sebab saat itu, banyak masalah yang ditimbulkan dari sampah. Misalnya banyak warga membuang sampah ke sungai hingga lokasi pembuangan sampah yang cukup jauh. Untuk itulah BUMDes Murakabi memilih mengelola sampah.

Mula-mula, kata Bambang, setelah terbentuk, BUMDes masih membuang sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA) Tanjungrejo di Jekulo. Namun hanya berlangsung enam bulan saja. Sebab biaya pengangkutan ke TPA Tanjungrejo justru lebih mahal. Untuk itu BUMDes memutuskan untuk mengelola sampah secara mandiri. Sampah-sampah itu kemudian ditampung di TPS yang berdiri di bengkok (tanah kas) milik desa.

TPS BUMDes Murakabi cukup jauh dari Balai Desa Gondosari. Untuk menuju ke lokasi, warga harus menuju ke perbatasan dengan Desa Menawan. Setelah masuk ke perkampungan dan melewati kebun sengon hingga area persawahan, barulah sampai di TPS seluas 3.500 meter persegi. Kendati cukup jauh dari permukiman warga, bau sampah yang menyengat rupanya kadang masih tercium warga. Warga yang terkena imbasnya langsung protes. Bambang tak tinggal diam. Dia langsung mengajak warga berdiskusi. Dengan pendekatan persuasif, warga pun luluh. “Dulu memang sempat ada gesekan dengan warga. Namun itu wajar. Sebab saat itu, kami baru merintis. Setelah ada obrolan dan kami beri pengertian, akhirnya warga bisa memahami,” katanya.

Tak hanya sekadar mengelola sampah, Bambang juga merekrut warga menjadi bagian dari BUMDes Murakabi. “Salah satu dampak adanya BUMDes yakni terbukanya lapangan pekerjaan. Kami rekrut orang-orang yang sudah terlalu tua untuk masuk ke perusahaan, tetapi tenaganya masih oke untuk mengelola sampah. Mereka sekaligus menjadi perwakilan warga atau penyambung lidah kepada warga bahwa sampah-sampah di sini diolah,” papar lelaki berusia 47 tahun itu. Banyaknya warga yang bergabung membuat situasi semakin kondusif.

Tak hanya itu, untuk meredam gesekan, Bambang pun mengenalkan bioreaktor kapal selam yang diklaim bisa mengatasi masalah sampah di Desa Gondosari. Bioreaktor tersebut mampu mengolah sampah menjadi kompos hingga biogas.

Sebelum memilih bioreaktor, Bambang mengaku, melakukan studi banding ke berbagai daerah untuk melihat sistem pengolahan sampah. Setelah melihat sistem dan prosesnya, Bambang akhirnya mantap memilih bioreaktor. “Kenapa bioreaktor?” kata Bambang, “Sebab kelebihan sistem ini mampu bekerja di segala musim. Musim kemarau bisa, musim hujan juga bisa. Kalau pakai sistem pengolahan sampah yang lain, kami tidak bisa mengolah sampah saat musim hujan. Karena bioreaktor ini menggunakan sistem pengolahan sampah basah,” katanya lantas tertawa. Sesekali dia menghisap rokok lantas mengembuskan asap ke udara. Sebatang rokok terselip di antara dua jarinya.

Delapan ruang pengomposan milik BUMDes Gondosari untuk mengolah sampah organik dan non-organik. Hasilnya berupa pupuk padat dan cair.
Delapan ruang pengomposan milik BUMDes Gondosari untuk mengolah sampah organik dan non-organik. Hasilnya berupa pupuk padat dan cair. Noor Syafaatul Udhma / Kanal Desa

Tak hanya itu, Bambang mengklaim, pengkomposan menggunakan sistem pengolahan bioreaktor ini prosesnya jauh lebih cepat ketimbang pengkomposan menggunakan bak-bak di tempat lain. “Tidak bolak balik, tidak perlu dicampur. Nah sistem ini sudah jalan sendiri,” katanya.

Untuk penyertaan modal, BUMDes memperoleh dana dari bantuan gubernur (Bangub) sebanyak Rp30 juta pada 2017. Kemudian pada 2018, dari APBDes sebanyak Rp87,5; Bangub 20 juta; dan hibah 17,8. Pada 2019, tambahan modal diperoleh dari Bangub sebanyak Rp20 juta. Pada 2020 tambahan modal sebesar Rp20 juta, dan pada 2021 penyertaan modal dari APBDes sebanyak Rp280 juta dan CSR dan donatur sebanyak Rp 930 juta untuk pembangunan instalasi pengolahan sampah. Tidak ada penyertaan modal pada 2022. Teranyar, pada 2023 desa menambahkan modal sebanyak Rp91,6. "Delapan puluh juta nanti akan digunakan untuk mesin dan perlengkapan pengolahan sampah,” katanya.

Kades Gondosari Aliya Himawati mengatakan unit usaha yang dikolola BUMDes Murakabi sampah saat ini memang sampah. Untuk menunjang pengelolaan sampah, maka dibuatlah bioreaktor kapal selam. Alasan mengelola sampah karena Desa Gondosari tidak lagi membuat sampah di TPA Tanjungrejo. “Makanya oleh BUMDes dikelola sendiri,” katanya.

Selain unit usaha sampah, BUMDes juga mengelola pembayaran pajak kendaraan bermotor. Namun karena syaratnya ribet, maka banyak warga yang memilih membayar di Samsat keliling.

Untuk penyertaan modal, pihaknya mengaku BUMDesa dibantu APBDes, Bangub, hingga dari swasta. Harapannya penyertaan modal yang sudah diberikan PADes yang disetorkan semakin banyak. Selain itu usaha yang dijalankan semakin maju. “Kami juga berharap ada unit baru yang dikelola BUMDes. Misalnya parkir hingga destinasi wisata,” terangnya.

Bioreaktor: mampu memilah sampah hingga 6 ton per hari

Gudang seluas 135 meter persegi itu berisi peralatan, sampah, dan mesin pengolah sampah. Mesin itulah yang setiap hari memilah dan mengolah sampah Desa Gondosari. Setiap harinya, mesin itu mampu mengolah 6 ton sampah.

“Sebetulnya mesin ini bisa mengolah 6 ton sampah per hari. Karena masih manual dan menggunakan tenaga manusia pada proses memasukkan sampah ke mesin, maka paling efektif mesin bekerja selama empat jam dengan tiga ton sampah,” kata Bambang sambil memegang mesin dengan panjang 260 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 150 cm itu.

Dia mengatakan, setiap hari ada empat petugas yang memasukkan sampah ke dalam mesin. Ada yang tugasnya memilah sampah, ada pula yang memasukkan sampah ke mesin. “Untuk memudahkan proses pengerjaan, sebetulnya kami membutuhkan conveyor. Kebetulan kami diusulkan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa untuk mendapatkan bantuan keuangan (Bankeu) pada 2024. Kalau cair, uangnya akan kami belikan mesin conveyor. Dengan mesin itu pekerjaan pemilihan sampah akan jauh lebih cepat dan mudah,” katanya.

Direktur BUMDes Murakabi, Desa Gondosari, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus Bambang Supriyanto memperlihatkan mesin pengolah sampah yang mampu menampung 3 ton hingga 6 ton per hari.
Direktur BUMDes Murakabi, Desa Gondosari, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus Bambang Supriyanto memperlihatkan mesin pengolah sampah yang mampu menampung 3 ton hingga 6 ton per hari. Noor Syafaatul Udhma / Kanal Desa

Setelah sampah dipilah oleh mesin, selanjutnya sampah akan diolah menjadi kompos padat atau cair, peptisida, hingga biogas melalui sistem pengolahan bioreaktor yang oleh Bambang dinamakan Murakabi Recycle System (MRS) Kombi.

Untuk mengolah sampah menjadi biogas, ada sebuah sumur biodigester. Sekilas biodigester ini berupa kolam persegi panjang yang berisi air. Bentuknya nyaris mirip dengan kolam renang. Biodigester BUMDes Murakabi ini memiliki panjang 12 meter, lebar tiga meter, dan kedalaman 5 meter. Di bawah biodigester ini ada sebuah tabung yang terendam di dalam air yang mengolah sampah menjadi biogas. Biogas itu sendiri merupakan salah satu energi terbarukan yang dapat digunakan untuk kebutuhan listrik hingga kebutuhan memasak.

“Prosesnya pengolahan sampah menjadi biogas akan memakan waktu hingga 7 hari. Setelah tujuh hari, biogas baru bisa digunakan,” katanya. Biogas tersebut digunakan untuk memasak para petugas sampah dan karyawan BUMDes Murakabi.

Untuk sampah yang akan diubah menjadi kompos, kata Bambang, diolah di delapan ruang penampungan yang letaknya bersebelahan dengan biodigester. Delapan penampung itu berupa ruangan bawah tanah berbentuk persegi panjang. Ruangan itu ditutup dan diberi warna menyesuaikan dengan jenis sampahnya. Untuk warna merah dan kuning khusus untuk sampah plastik, sedangkan penampung berwarna hijau dan biru berisi sampah organik, seperti sayuran, buah-buahan, hingga sisa makanan.

“Khusus sampah plastik, dulunya kami menggunakan mesin perajang. Plastik-plastik rajangan akan dicampur dengan pupuk padat. Untuk sampah organik akan menghasilkan pupuk padat dan cair,” katanya. Pembangunan sistem bioreaktor ini dilakukan pada Juni 2021 dan berakhir pada Februari 2022.

Sudah lima kali setor PADes

Tumpukan sampah teronggok di sekitar gedung pengolahan sampah di TPS Murakabi. Sampah-sampah itu kebanyakan sampah plastik setoran dari warga. Sampah-sampah itu tentu saja diangkut oleh tim pengangkut sampah. “Kami memiliki dua tim. Setiap satu tim berisi empat orang pengangkut sampah. Mereka warga Gondosari sendiri,” kata Bambang yang juga seorang pebisnis itu.

Setiap hari, tim akan berkeliling ke rumah warga untuk mengangkut sampah 1.170 pelanggan. “Kami ada mobil pick up dan kendaraan roda tiga. Kerja full dari pagi sampai sore,” terangnya. Bambang mengatakan, pengangkutan sampah dilakukan sepekan dua kali. Khusus untuk toko dan perusahaan dilakukan setiap hari.

Sebanyak 1.170 pelanggan ini terdiri dari berbagai golongan menyesuaikan dengan jumlah sampah dan biaya pengangkutan. Untuk golongan rumah tangga dibagi dua: (1) yang menghasilkan tidak terlalu banyak sampah cukup membayar Rp20 ribu; golongan rumah tangga dengan sampah yang cukup banyak biayanya Rp30 ribu. Sedangkan untuk golongan toko atau warung tarifnya Rp70 ribu. Golongan instansi Rp100 ribu dan golongan perusahaan Rp300 ribu hingga Rp 650 ribu, menyesuaikan dengan jumlah sampah. Untuk fasilitas sosial seperti masjid dan musala digratiskan.

Tak hanya sampah, BUMDes Murakabi juga mengelola bank sampah yang diberi nama Kelingsari. Untuk bank sampah, Bambang mengaku aktif di RW 2, RW 3, dan RW 4. "Warga yang menyetor sampah kami hargai Rp 1.500 hingga Rp 2.000 per kg untuk sampah plastik, sedangkan untuk samah kertas dihargai Rp 1.000 hingga Rp 2.000 per kg. Untuk sampah kaleng dan kardus dihargai Rp 2.000 hingga Rp 3.000 ribu," rinci Bambang.

Dengan sistem pengelolaan sampah ini, desa memiliki banyak manfaat, khususnya masalah sampah. Sebab sebelum ada sistem pengelolaan sampah, warga Gondosari memilih membuang sampah di sungai. Akibatnya sampah menumpuk di jembatan dan banjir. Namun setelah ada sistem pengelolaan sampah hingga bank sampah, budaya membuang sampah di sungai berkurang. Warga justru semangat untuk menukarkan sampahnya.

Kebetulan, kata Bambang, hasil kompos organik dari BUMDes Murakabi yang diberi nama Sari Organik kini sudah mulai dipasarkan. Saat ini BUMDes memberi promo harga. Satu sak dihargai Rp 20 ribu. Untuk harga normal Rp 25 ribu. Selain itu juga ada gratis ongkir untuk seluruh wilayah Kudus.

Kendati hanya mengelola satu unit usaha saja, BUMDes Murakabi sudah lima kali setor PADes. Pada 2018, BUMDes setor Rp20 juta, 2019 Rp 5 juta, pada 2020 Rp 33 juta, pada 2021 Rp11,6 juta, dan pada 2022 Rp 5,75 juta.

"Sari Organik", kompos buatan BUMDes Murakabi ini diberi nama Sari Organik sudah mulai dipasarkan. Harganya terjangkau. Satu sak hanya dihargai Rp20 ribu saja.
"Sari Organik", kompos buatan BUMDes Murakabi ini diberi nama Sari Organik sudah mulai dipasarkan. Harganya terjangkau. Satu sak hanya dihargai Rp20 ribu saja. Noor Syafaatul Udhma / Kanal Desa

Sampah dijadikan wisata edukasi

Bunga warna warni itu tertata rapi di kantor BUMDes Murakabi di Balai Desa Gondosari. Bunga-bunga itu terbuat dari sampah plastik warga Desa Gondosari. “Selain dicacah, sampah plastik juga dibuat kerajinan seperti ini,” kata Ika Laila Agustin, Sekretaris BUMDes Murakabi pada 26 Juni 2023.

Baru-baru ini, BUMDes juga menerima kunjungan sekolah yang belajar mengelola sampah. Slah satu yang diajarkan kepada siswa yakni membuat bunga dari sampah plastik.

Bambang mengatakan, ke depan, TPS BUMDes Murakabi ini akan dijadikan wisata edukasi. Bahkan, Bambang akan membuat kebun buah yang menggunakan kompos yang dia buat. “Lahannya ada di samping TPS. Nanti kami sewa. Di lahan itu akan saya tanami pisang dan buah-buahan lain dengan pupuk dari sini. Anak-anak sekolah bisa berwisata di sini. Bisa melihat kebun buah, melihat proses pengolahan sampahnya. Pasti akan seru,” kata Bambang bersemangat. Dia yakin BUMDes Murakabi akan besar dan bermanfaat untuk warga sesuai dengan impiannya.

BUMDes Murakabi juga memanfaatkan pengelolaan sampah mereka untuk melakukan eduwisata kepada anak-anak sekolah dasar di Kabupaten Kudus
BUMDes Murakabi juga memanfaatkan pengelolaan sampah mereka untuk melakukan eduwisata kepada anak-anak sekolah dasar di Kabupaten Kudus Bambang Supriyanto / Bambang Supriyanto

Baca Lainnya

Apa saja sumber pendapatan desa?
Desa

Apa saja sumber pendapatan desa?

Desa memiliki bermacam sumber pendapatan untuk menyokong pemberdayaan, pembangunan, dan ekonomi desa. Apa saja sumber pendapatan desa?

Muhammad Nafi'