Desa

Memecah Krisis Pengelolaan Sampah di Desa

Pengelolaan sampah menjadi salah satu problem mendesak yang perlu ditangani. Beberapa langkah strategis dapat segera dijalankan.

Mikdon Purba
Memecah Krisis Pengelolaan Sampah di Desa
ilustari AI dari canva.com canva.com / canva.com

Sampah telah menjadi masalah serius yang harus segera ditangani terutama untuk memelihara kelestarian dan kesehatan lingkungan. Serakan sampah di pinggir jalan, di kali, dan di ruang-ruang publik lain mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan dan merusak nilai estetik. Soal penanganan sampah pada lingkungan masyarakat desa pun sejauh ini, kebanyakan masih berupa penimbunan di TPS, pembakaran atau pengangkutan ke TPA.

Pertumbuhan timbulan sampah di hulu menjadi eksponensial dan tidak diimbangi oleh upaya-upaya pengurangan sampah di hilir. Timbulan sampah di TPS/TPA justru semakin menggunung dari hari ke hari. Beberapa daerah bahkan sudah mengalami darurat sampah. TPA Piyungan di Yogyakarta telah beberapa kali melakukan penutupan. TPA Sarimukti di Kota Bandung telah menerapkan sistem pembatasan terhadap sampah yang masuk. Masalah darurat sampah ini akan terjadi di mana-mana kalau tidak segera didapatkan solusi pengelolaan sampah mandiri yang tepat.

Di Desa Kedungdowo dan Garung Lor, Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kudus, sampah ditangani oleh BUMDesa. Petugas mengambil sampah dari warga secara rutin dan membawanya ke TPS desa untuk ditangani lebih lanjut. Di TPS sebagian sampah dipilah secara manual oleh petugas pemilah sampah untuk mengambil sampah yang masih bernilai ekonomi. Tidak semua sampah sanggup dipilah karena jumlah pekerja pemilah yang terbatas tidak sebanding dengan volume sampah yang masuk setiap hari. Ada beberapa pelanggan yang sudah memisahkan sampah organik dan non organik di Desa Kedungdowo, meski jumlahnya belum signifikan.

Kedua desa menggunakan incinerator untuk mengurangi volume sampah di TPS. Walaupun begitu semua upaya ini belum bisa menyelesaikan sampah di TPS. Pengurangan volume sampah di TPS tidak sebanding dengan volume sampah yang masuk sehingga agar tidak terjadi penumpukan sampah di TPS maka sampah harus diangkut ke TPA Tanjungrejo.

Melacak darurat sampah di desa

Mengapa darurat sampah ini bisa terjadi? Menurut penulis, ada beberapa kesalahan pendekatan dalam penanganan sampah desa yang terjadi selama ini. Pertama, orientasi pengelolaan sampah sebagai layanan. Sampah dihasilkan warga setiap hari. Kalau tidak ditangani maka sampah akan mengganggu lingkungan dan kenyamanan di desa. Dengan dasar ini maka pemerintah desa berinisiatif melakukan penanganan sampah desa. Pemerintah desa menyediakan tempat pembuangan sampah, armada, petugas pengangkut sampah, program penanganan sampah, sampai peraturan desa tentang pengelolaan sampah.

Karena orientasinya adalah layanan, penentuan tarif retribusi sampah dilakukan bukan berdasarkan hasil analisa kelayakan usaha tapi atas pertimbangan tidak memberatkan warga. Misalnya tarif retribusi sampah di Desa Garung Lor telah diatur dalam Perdes Pungutan Desa. Nilainya ditetapkan sebesar Rp15.000,- padahal setelah dilakukan analisa kelayakan usaha tarif retribusi seharusnya Rp25.000,- per pelanggan.

Belum lagi penentuan tarif retribusi biasanya rentan ditunggangi oleh kepentingan politik karena menyangkut kepentingan masyarakat banyak. Sehingga yang terjadi adalah beban operasional penanganan sampah desa lebih besar dari pada pendapatan retribusi, tapi usaha ini tetap dijalankan.

Kedua, kurangnya pelibatan banyak pihak (multi stakeholder collaboration). Tanggung jawab penanganan sampah biasanya adalah pemerintah desa atau lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah desa. Belum ada upaya maksimal untuk melibatkan pihak-pihak lain secara kolaboratif. Pengelola sampah desa biasanya ‘single fighter’ di desa. Setiap tahun pemerintah desa menganggarkan biaya penanganan sampah. Atau kalau sudah ditangani BUMDesa maka pemerintah desa biasanya lepas tangan dan melimpahkan sepenuhnya beban penanganan sampah kepada BUMDesa.

Ketiga, terlalu berfokus pada pendekatan teknologi. Karena sampah diproduksi setiap hari maka penanganan tercepat yang dilakukan adalah dengan memilah dan memusnahkan sampah di TPS. Beberapa desa menyediakan mesin press, pencacah plastik, pemilah sampah, incinerator, dan pirolisis di TPS. Mesin dan peralatan ini membutuhkan biaya investasi yang belum tentu mampu disediakan pemerintah desa. Biaya operasionalnya pun besar yang tidak sebanding dengan output yang dihasilkan.

Ada yang mencoba memanfaatkan sampah untuk menghasilkan produk daur ulang seperti piring plastik, paving block, tas dan kerajinan lainnya. Faktanya produk ini membutuhkan biaya produksi yang lebih besar sehingga harga jualnya menjadi lebih mahal. Pangsa pasarnya juga terbatas di kalangan yang peduli dengan isu-isu perlindungan lingkungan saja.

Di desa mungkin sudah dilakukan sosialisasi metode 3R (Reduce, Reuse, Recycle) kepada warga tetapi yang terjadi selama ini hasilnya belum signifikan mengurangi timbulan sampah. Dengan begitu volume sampah yang diangkut ke TPS/TPA tetap besar.

Empat Langkah strategis

Ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan agar penanganan sampah desa ini bisa berjalan efektif. Pertama, memahami akar masalah. Kalau ditelusuri, masalah sampah berawal dari di mana sampah tersebut dihasilkan (produsen). Sampah yang berada di lingkungan produsen (ruang domestik) adalah masalah pribadi. Karena tidak semua produsen mampu mengelola sampahnya di ruang domestik maka sampah harus dipindahkan ke ruang komunal. Di ruang komunal sampah menjadi masalah bersama. Ketika sampah telah berada di ruang komunal maka setiap individu harus tunduk kepada aturan komunal. Di ruang komunal upaya pengelolaan harus dilakukan agar tidak berdampak kepada masyarakat luas. Di sinilah mulai dibutuhkan fasilitas, waktu dan tenaga, serta biaya.

UU nomor 18 tahun 2008 pasal 13 menyatakan bahwa setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan. Kemudian pasal 3 menyatakan pengelolaan sampah di antaranya berdasarkan asas tanggung jawab dan keadilan. Regulasi tentang pengelolaan sampah ini bisa dimaknai bahwa karena sumber masalah sampah berasal dari produsen maka sampah itu menjadi tanggung jawabnya. Produsen bertanggungjawab untuk mengurangi dan menangani sampahnya sendiri. Kalau produsen tidak sanggup mengurangi dan menangani sampahnya sendiri maka ada konsekuensi yang ditanggungkan kepadanya berdasarkan asas keadilan. Konsekuensi itu bisa berupa tarif retribusi yang layak atau kewajiban untuk mengurangi dan memilah sampah. Tidak adil ketika masalah yang ditimbulkan oleh satu pihak justru menyebabkan kerugian pada pihak lain yang membantu penyelesaian masalah itu.

Kalau akar masalah ini tidak dipahami maka masyarakat sebagai produsen sampah akan merasa tanggung jawabnya selesai ketika dia sudah membayar retribusi. Padahal sering terjadi pengelola sampah mengalami kerugian karena tarif retribusi yang dikenakan tidak bisa menutupi beban operasional. Harusnya tarif retribusi ditetapkan secara adil berdasarkan hasil analisa kelayakan usaha bukan berdasarkan keberatan masyarakat.

Produsen sampah harusnya dipandang sebagai warga desa yang merupakan salah satu komponen dalam ekosistem desa. Interaksi antar komponen yang berada dalam ekosistem desa akan saling mempengaruhi. Interaksi yang tidak adil antara produsen dengan pengelola sampah harus dipandang sebagai masalah yang dampaknya akan mengganggu keseluruhan ekosistem desa. Begitu juga dukungan dari setiap komponen akan menguntungkan ekosistem desa secara keseluruhan.

Langkah strategis kedua adalah dengan mengadopsi pendekatan holistik. Bisa dikatakan tanpa disadari telah terjadi penanganan sampah dengan fokus terbalik. Biasanya fokus penanganan sampah dilakukan di hilir yaitu di TPS/TPA. Pemerintah membangun TPS di desa-desa atau TPA di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah desa menganggarkan biaya yang besar untuk operasional dan pengadaan fasilitas-fasilitas pengelolaan sampah di TPS. Di tingkat produsen pendekatannya hanya sebatas pada manfaat ekonomi yang justru tidak menarik karena nilainya memang tidak besar.

Belum ada upaya maksimal untuk mendorong masyarakat sebagai produsen sampah melakukan metode 3R. Kalau metode 3R ini bisa dilakukan di tingkat produsen sampah maka dampaknya terhadap pengurangan volume sampah akan sangat besar. Kalau warga bisa mengurangi volume sampahnya sendiri maka akan menekan beban dan biaya operasional di TPS/TPA karena biaya penanganan sampah akan semakin besar ketika sampah semakin jauh dari sumbernya.

Untuk membuat warga melakukan metode 3R itu bukan perkara mudah. Perlu disiapkan beberapa infrastruktur. Pertama, infrastruktur politik. Pemerintah desa perlu membuat kebijakan yang fungsinya untuk penegakan dan penindakan. Selain itu juga harus disiapkan sistem yang baik. Mengubah perilaku masyarakat lebih mudah kalau ada aturan yang baik dan didukung oleh sistem yang dibangun dengan baik pula. Jadi pemerintah desa tidak hanya mengatur tapi juga harus mengurus.

Kedua, infrastruktur sosial. Penanganan sampah harus memanfaatkan lembaga-lembaga sosial di desa seperti Rukun Warga, Rukun Tetangga, PKK, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, karang taruna, kelompok agama, kelompok pemuda, kelompok seni, komunitas, dan lain-lain. Memang dibutuhkan ide-ide kreatif agar upaya penanggulangan sampah desa bisa beririsan dengan kegiatan dari lembaga-lembaga sosial tersebut.

Ketiga, infrastruktur ekonomi. Untuk membangun sistem tentunya akan membutuhkan biaya. Pemerintah Desa harus menyiapkan anggaran untuk teknologi dan fasilitas pengelolaan sampah atau untuk kegiatan kampanye membangun kesadaran masyarakat. Terakhir, infrastruktur teknologi. Penerapan teknologi akan memudahkan penyelesaian masalah sampah. Misalnya digitalisasi dan penggunaan aplikasi akan mempercepat arus informasi antara pelanggan dan pengelola sampah.

Langkah ketiga, melibatkan banyak pihak. Merujuk ke UU nomor 18 tahun 2008, adanya TPS di desa sebenarnya bisa menjadi posisi tawar desa kepada pemerintah daerah berkaitan dengan anggaran dan kebijakan pengelolaan sampah. Pasal 6 huruf (c) menyatakan bahwa tugas pemerintah dan pemerintahan daerah adalah memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah. Penanganan sampah akan sulit kalau dilakukan hanya di tingkat desa sehingga perlu dibawa ke tingkat yang lebih tinggi yaitu pemerintah daerah.

Kemudian masih jarang yang memanfaatkan pihak-pihak di luar pemerintah sebagai mitra kerja. Misalnya perguruan tinggi yang merupakan salah satu pusat riset yang mungkin saja bisa menemukan teknologi dan metode pengelolaan sampah yang paling sesuai. Selain itu perguruan tinggi setiap tahun menyediakan anggaran pengabdian kepada masyarakat yang bisa dimanfaatkan di desa. Pihak lainnya adalah organisasi masyarakat, lembaga swasta, dan pegiat lingkungan yang peduli terhadap masalah sampah. Apalagi kalau bisa mengakses dana CSR (Corporate Social Responsibility) dari suatu perusahaan. Membina jaringan dan berkolaborasi dengan pihak-pihak yang punya concern yang sama tentunya akan sangat membantu.

Dari pengamatan penulis hampir semua pengelola sampah desa mengalami kerugian, baik yang dilakukan oleh pemerintah desa maupun BUMDesa. Salah satu penyebab kerugian adalah karena pengelola sampah menangani seluruh tahapan operasionalnya. Padahal tahapan-tahapan operasional bisa didistribusikan bebannya melalui kemitraan dengan pihak lain. Misalnya untuk pengambilan sampah di warga bisa bermitra dengan pihak swasta untuk meminimalisir potensi resiko yang dialami pengelola sampah. Biasanya warga tidak akan keberatan dengan tarif retribusi yang ditentukan oleh pihak pengelola sampah swasta karena warga menyadari bahwa orientasinya memang bisnis.

Langkah keempat, kreativitas dan inovasi terus-menerus. Kearifan lokal harus dimanfaatkan untuk mendukung upaya penanganan sampah. Hasil yang diperoleh warga dari bank sampah sebenarnya kecil secara ekonomi sehingga membuat aktivitas ini tidak menarik. Namun, misalnya hasil bank sampah ini ditujukan untuk tujuan keagamaan, untuk membangun fasilitas ibadah atau membantu warga yang kurang mampu, mungkin warga akan lebih termotivasi melakukannya. Ide-ide kreatif seperti ini yang seharusnya terus digali di setiap desa.

Sampah adalah masalah kritis yang dihadapi di hampir semua desa dan penanganannya bersifat mendesak. Pengembangan metode pengelolaan sampah mandiri tidak akan pernah selesai. Setiap wilayah sedang membangun metode-metode penanganan sampahnya sendiri. Artinya kalau desa bisa membangun metode penanganan sampah yang efektif maka akan menarik perhatian pihak lain untuk turut bekerjasama.

Sampah itu ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi dia merupakan kebutuhan yang mendesak untuk ditangani, di sisi lain kalau ditangani rawan menimbulkan kerugian. Namun karena sifatnya yang mendesak maka sampah ditangani. Tinggal bagaimana metode penanganannya dilakukan. Sudah saatnya mengubah paradigma bahwa sampah adalah masalah menjadi sampah adalah peluang agar timbul spirit untuk selalu mencari solusi terbaik.

Baca Lainnya