Teripang Torosiaje : si buruk rupa penghasil cuan
Warga Desa Torosiaje mengembangkan budidaya teripang di kolam. Solusi mengatasi pasokan mata rantai teripang.
Matahari belum lama naik, tapi aktivitas masyarakat sudah sibuk layaknya pasar. Dari anak-anak hingga orang tua tumpah ruah, termasuk Tomy R. Umar, 25 tahun, yang dari kejauhan juga tampak sibuk dengan aktivitasnya, melebur dengan suara lalu lalang yang menggema di sepanjang jalan.
Tomy sapaan akrabnya adalah anak muda dari Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, yang tengah sibuk bergelut dengan usahanya. Bisnis yang ia jalankan ialah jual beli teripang, yang pada akhirnya menjerumuskan dirinya ke budidaya alami teripang di desanya.
Ketertarikannya pada bisnis teripang ini karena melihat peluang pasar yang bagus dalam meraup keuntungan. Meskipun sudah banyak yang memulai di desanya, anak muda itu tak takut rugi, permintaan pasar yang setiap tahunnya meningkat yang membuatnya semakin bersemangat. Didukung juga dengan ketersediaan teripang di desanya yang melimpah membuat ia semakin yakin tak akan kekurangan stok, jika permintaan pasar dalam jumlah yang banyak tiba-tiba datang.
Teripang Si Buruk Rupa
Teripang sendiri merupakan komoditas ekspor hasil laut yang banyak diperdagangkan Indonesia, harga jual yang cukup tinggi membuat semua orang berbondong-bondong mencari hewan yang dianggap “Buruk Rupa” oleh sebagian masyarakat yang belum mengenalnya. Hewan laut dengan nama ilmiah holothuroidea ini merupakan sumber penghasilan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, juga bagi mereka yang tinggal di Desa Torosiaje.
Umumnya teripang sangat mudah ditangkap dan ditemukan di perairan di Indonesia. Hewan yang dikenal dengan timun laut tersebut mudah ditemui di daerah yang berpasir dan ditumbuhi banyak lamun sebagai sumber makanan.
Sekiranya ada 1.700 jenis teripang yang teridentifikasi tersebar di seluruh dunia, dan hanya ada 400 spesies tercatat di Indonesia, 56 diantaranya telah diperdagangkan di dalam negeri bahkan diekspor ke luar negeri. Indonesia sendiri juga telah dikenal lama oleh negara-negara peminat teripang seperti Tiongkok, Hongkong, dan Singapura, sebagai negara produsen teripang di Asia Tenggara.
Seperti halnya Tiongkok, yang menjadi negara tujuan ekspor teripang paling tertinggi menjadikan teripang adalah menu paling penting untuk dihidangkan. Bukan hanya sekarang ini, Tiongkok sudah memulainya dari ribuan tahun yang lalu.
Negara-negara konsumen ini menjadikan teripang sebagai bahan olahan makanan dan juga tambahan untuk bahan obat-obatan dan kosmetik di negara mereka. Kandungan seperti asam amino, glukosamin, kondroitin, kolagen, omega 3 dan 6, mineral esensial, menjadikan timun laut ini sebagai sumber protein, kalori, lemak, dan gizi yang komplit jika diperuntukan untuk sebuah hidangan makanan, obat-obatan, dan kosmetik.
Selain digunakan untuk produk kecantikan, teripang juga disebut bisa dimanfaatkan sebagai obat untuk salah satu penyakit paling ditakuti karena tingkat keganasannya; kanker. Pada beberapa penelitian menyebutkan, penderita kanker dianjurkan untuk mulai mencoba mengkonsumsi teripang sebagai obat untuk membantu mereka sembuh.
Dari ribuan teripang dan 56 spesies yang diperdagangkan, hanya ada beberapa spesies yang bernilai tinggi, seperti Teripang Putih atau Teripang Pasir atau Teripang Gosok (Holothuria Scabra), Teripang Koro (Microthele nobelis), Teripang Pandan (Thelenota ananas), dan Teripang Dongnga (Stichopu spp). Biota laut yang menjadi primadona dalam dunia eksportir itu yang membuat Tomy terpikat menyelami bisnisnya, yang sekaligus belajar lebih jauh tentang siklus hidup dari timun laut tersebut.
“Memang awalnya bisnis ini dijalankan saya sendiri, kemudian saya dibantu oleh bapak. Sampai berjalan dengan sekarang ini,” ujar Tomy menjelaskan usaha yang dibangunnya sejak tahun 2018. Menurutnya, usaha teripang menjajikan karena permintaan yang tinggi di pasar ekspor dan harga jual yang bagus.
Keputusan mengambil sektor bisnis teripang juga didukung dengan nelayan yang ada di desanya yang setiap harinya menangkap teripang. Namun, keterbatasan akses dalam menembus pasar menjadi kendala. Makanya, ia berinisiatif membuka akses tersebut.
“Akses yang dimaksud nelayan ini ialah harga, utamanya pembelian ditingkat desa, karena harga di pengepul tingkat desa juga tidak menentu,” jelasnya.
Teripang Berkualitas
Kata Tomy, penjualan teripang dengan harga yang bagus terletak pada kualitasnya juga. Teripang yang diperdagangkan biasanya teripang yang sudah dikeringkan dan siap untuk dijual. Harga jual teripang bisa mencapai jutaan rupiah jika kualitasnya bagus, begitupun sebaliknya. Rusaknya harga jual katanya, dipengaruhi oleh pengolahan teripang dari tingkat nelayan, dan sudah dipastikan harganya pasti di bawah rata-rata.
“Teripang gosok itu nilai jualnya sangat tinggi kalau sudah diolah dengan baik, seperti dibersihkan isi perutnya, dicampur pakai garam, lalu dijemur. Kisaran harganya pun kalau teripang gosok kering 1 kg sampai 3 juta, kalau basah biasanya dibeli dengan harga 10 ribu tapi dalam keadaan hidup,” beber Tomy.
Untuk penjualan teripang sendiri, Tomy masih menjajakan bisnisnya seputar wilayah Sulawesi seperti Makasar dan Manado, serta dalam provinsi Gorontalo. Dan penjualan ke luar daerah paling terjauh ialah ke Surabaya. Permintaan dari luar negeri sempat berbunyi di telinganya, tapi terhalang oleh pandemi. Sehingga mengubah semuanya.
“Pandemi memberikan dampak kuat. Semua akses ditutup. Bisnisnya saya mati. Makanya saya berpikir untuk mencari opsi lain, ketemu lah dengan budidaya teripang alami,” ujarnya.
Menjaga dengan Budidaya
Tak ada yang kepikiran bahwa pandemi akan menjadi hambatan bagi semua pelaku usaha termasuk Tomy. Pemuda yang baru saja menyelesaikan studinya di salah satu perguruan tinggi di Gorontalo tersebut ikut terdampak. Bisnisnya dibombardir kegagalan, semua pintu masuk tertutup rapat, tak ada yang bisa bernyali lebih kuat untuk tetap menyala saat-saat covid-19 mewabah. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan memutar otak. Mencari cara lain agar roda ekonomi tetap berputar.
Selain sibuk berbisnis, Tomy juga sedang menyelesaikan pendidikannya. Mahasiswa akhir Pendidikan Ekonomi itu tidak jauh-jauh mengambil fenomena studi kasusnya, ia memilih yang terdekat, dan akses yang mudah; bisnis teripang laut. Skripsinya yang berjudul, “Perkembangan Ekonomi Wirausaha Masyarakat terhadap Teripang Laut” yang kemudian mengantarkannya menyandang gelar sarjana sekarang ini.
“Berangkat dari penelitian juga, lalu saya terjerumus sampai ke bisnis ini. Sampai dengan saat ini, sampai mengenal budidaya teripang,” katanya.
Tomy bercerita, perkenalannya dengan budidaya tidak instan, ia harus belajar secara otodidak melaui kanal-kanal youtube. Membaca literatur terkait siklus hidup teripang. Belajar memahami seluk beluk bisnis yang dijalankan wajib hukumnya.
Budidaya Teripang Di Kolam
Awal memulai, Tomy membuat kolam budidaya yang berukuran 2x3 meter. Kolam ditutup jaring secara menyeluruh, dari samping hingga bagian bawahnya. Setelah siap dipakai, ia membeli bibit teripang dari nelayan dalam keadaan hidup. Selama dua bulan lamanya, waktu hanya dihabiskan berjibaku dengan kolam percobaannya tersebut, dan hasilnya, semua teripang mati. tak ada yang hidup sesuai harapan. Peristiwa itu menampar Tomy agar lebih giat belajar lagi soal siklus hidup teripang.
“Panik sih, tapi tidak berhenti sampai disitu”.
Kesalahannya ternyata terletak pada lokasi budidaya. Lokasi yang dipilih bukan pada daerah berpasir dan banyak lamunnya, melainkan dibuat seperti keramba jaring apung (KJA), yang mengharuskan teripang harus bekerja ekstra kuat untuk dapat bertahan hidup di luar habitatnya. Alhasil, banyak teripang mati dan target produksi dari budidaya itu gagal.
Setelah mendapatkan pelajaran dari berbagai literatur, Tomy kemudian nekat memperbesar lokasi budidayanya. Ia melirik sebuah lokasi yang berukuran 2 hektare, ditumbuhi lamun dan berpasir. Ia memutuskan untuk membeli wilayah tersebut, dan mulai mengelolanya. Hal pertama yang ia lakukan adalah mulai memagari lokasi tersebut, kemudian ditutupi pakai jaring yang berlapis. Jaring-jaring ini nantinya akan dimasukan sampai ke dalam pasir, fungsinya agar teripang tak bisa kabur.
“Memang harus belajar dari pengalaman. Kalau tidak begitu kita tidak akan tahu,” ucap Tomy.
Tomy membeberkan, budidaya yang dibuat secara mandiri ini merupakan jembatan bagi para nelayan yang selalu resah terhadap teripang hasil tangkapan mereka yang ditangkap dalam keadaan hidup mau di kemanakan.
“Makanya ide membuat keramba budidaya ini juga lahir.”
“Ada puluhan bahkan ratusan nelayan yang terbantu dengan kehadiran budidaya teripang di sini,” bebernya.
Teripang yang dibudidayakan pun ditangkap dari alam, lalu dilepasliarkan di dalam keramba seluas 2 hektar tersebut. Jenis teripangnya berbagai macam, ada teripang gosok, teripang gamat, teripang cerah merah, karido, yang notabene bukan teripang yang hidup di air dalam tapi di area yang berpasir.
“Target yang akan kami isi di karamba ini sebanyak 100 ribu ekor, yang ada hanya 60 ribuan ekor saja. Dan belum pernah dipanen sampai dengan saat ini sejak tahun 2020 kemarin dimulai,” ungkapnya.
Zuma, 34 tahun nelayan asal Torosiaje yang sehari-hari menangkap teripang juga ikut merasakan dampak atas kehadiran keramba budidaya teripang yang dijalankan oleh Tomy. Ia merasa terbantu dengan adanya keramba tersebut. Menurutnya, nelayan yang kebingungan menjual teripang yang masih hidup dengan ukuran yang sangat kecil sudah mendapatkan jawabannya.
“Dulu kita sering rugi, karena kalau kecil tak ada yang mau mengambil. Sekarang sudah terbantu,” terangnya saat ditemui kanaldesa.
Selain Zuma, nelayan lain yang ditemui kanaldesa adalah Uman (40). Dirinya juga bagian penerima manfaat dari hadirnya keramba tersebut. Semangat mencari teripang yang dulunya mulai pudar kini hadir lagi dalam dirinya.
“Di desa banyak pembeli teripang, tapi yang punya karamba seperti ini tidak ada. Dan cuman di karamba sini membeli teripang yang masih kecil asal dalam keadaan hidup, katanya mau dikembangbiakan lagi,” katanya.
Ruang Edukasi Teripang
Sejak keramba budidaya teripang berjalan, Tomy melihat ada pergerakan yang signifikan terjadi. Ada harapan yang menguat dari proses pembudidayaan secara alami tersebut.
“Dua tiga bulan saya lihat progresnya. Dan menunjukan pergerakan yang bagus, potensi hidup teripang lebih tinggi,” kata Tomy.
Metode jaring tancap yang digagas oleh Tomy memang mengandalkan pakan secara alami. Perkembangan kehidupan teripang dalam keramba budidaya meningkat. Itu semua terjadi berkat ketekunannya yang tak berhenti belajar memahami siklus hidup teripang.
Tomy menuturkan, sejak melakukan budidaya teripang, pola pikirnya berubah. Dari yang mengejar keuntungan, menjadi tempat belajar bersama nelayan dan masyarakat Torosiaje.
“Sekarang bibit yang telah kita tabur itu sudah besar karena sudah masuk usia 2 tahun, dan yang awalnya diperuntukan langsung dijual saya ubah untuk dijadikan indukan,” tegasnya.
Ia sadar, penangkapan nelayan yang secara berlebihan terhadap teripang akan memperburuk keberadaannya di alam. Permintaan pasar yang tinggi juga tidak bisa dibendung, salah satu cara menekannya melalui menjaga populasi teripang dengan cara budidaya. Apalagi penangkapan yang secara brutal tanpa mempertimbangkan ukuran dari teripang juga ikut memberi dampak.
“Saya berpikir, nelayan yang menangkap teripang tanpa memperhatikan ukuran besar dan kecil tidak menjadi masalah. Padahal tidak demikian. Semakin banyak mengambil ukuran kecil malah akan memperburuk laju pertumbuhan teripang semakin berkurang. Tapi dengan adanya keramba ini, kami memfokuskan yang besar saja dijual, yang ukuran kecil bisa dilepaskan dan biar tumbuh lebih lama lagi.”
Staf Lapangan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) untuk Desa Torosiaje, Jalipati Tuheteru mengatakan, permintaan teripang yang tinggi membuat seluruh nelayan di Torosiaje menangkap teripang tanpa melihat ukuran besar kecilnya.
Alhasil, ancaman terhadap komoditi ekspor tersebut semakin nyata adanya. Perlu didukung dengan aturan melalui kebijakan-kebijakan tertentu terhadap pola tangkap. Agar kekhawatiran terhadap kepunahannya di alam dapat ditekan.
“Metode budidaya dapat membantu menekan lajunya penangkapan yang tidak ramah terhadap teripang. Keberadaan lokasi budidaya yang ada di desa seperti di Torosiaje agar mampu memberikan waktu hidup teripang tumbuh lebih lama, dan ini bisa dijadikan model pembelajaran secara bersama, baik pembudidaya, pihak desa, dan nelayan di desa itu sendiri,” tuturnya.
Kini, lokasi budidaya teripang yang dijalankan Tomy bergerak seiringan dengan mulai tumbuhnya perekonomian di desa. Salah satunya ialah dengan keterlibatan pemerintah desa yang membuat bangunan serupa cottage untuk objek wisata. Selain meraup keuntungan dari wisata tersebut, edukasi bagi pengunjung turut didorong tentang kehidupan teripang dengan cara budidaya alami.
“Setelah ada perkembangan, kepala desa mulai melirik peluang wisatanya. Misalnya membuat jalan dan cottage untuk kunjungan. Makanya pemdes mengusulkan membuat “Alo Cinta” untuk menjadi tempat spot wisata di atas tempat budidaya teripang. Ide ini juga sudah lama, tapi belum ketemu saja dengan pihak desanya,” tutup Tomy saat matahari sudah di atas kepala.