Tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam poin ke-2, "Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan", masih menjadi isu kompleks.
Pasalnya, untuk urusan penderita gizi buruk di Indonesia pada 2019 angkanya masih tinggi. Jumlahnya mencapai 30 ribu. Jika dirasiokan, setiap 10 ribu penduduk ada 1 orang penderita gizi buruk.
Indikator Gizi buruk menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah keadaan kekurangan konsumsi zat gizi akibat rendahnya konsumsi energi protein dalam asupan harian. Ini ditandai dengan berat dan tinggi badan tidak sesuai umur (di bawah rata-rata). Kondisi ini hanya bisa diidentifikasi oleh tenaga medis.
Prof. Ali Khomsan, guru besar pangan dan gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, selain faktor ekonomi, ada dua faktor lain penyebab utama gizi buruk di Indonesia yaitu: aspek sosial budaya, dan aspek sanitasi lingkungan.
Dalam aspek sosial budaya, bagi masyarakat tertentu makanan bergizi seperti susu, telur, ikan, masih dianggap tabu. Padahal menjadikannya pantangan tidak dibenarkan menurut perintah kesehatan.
Kemudian, pendidikan orang tua. Rendahnya tingkat pendidikan orang tua menyebabkan efek domino. Selain keterbatasan lapangan pekerjaan yang berakibat pada pendapatan, mereka juga tidak bisa mengakses informasi gizi serta pola asuh baik untuk anak. “Oleh karena itu, masalah gizi buruk ini kompleks,” imbuh Prof. Ali saat dihubungi Lokadata.id, Senin (15/6)
Penulis buku pangan dan gizi untuk kesehatan ini menambahkan, sanitasi lingkungan tidak layak memperparah kondisi gizi buruk. “Jadi gizi dan timbulnya infeksi bersifat saling memperkuat. Artinya kalau anak kurang gizi mudah terkena infeksi. Kalau anak terkena infeksi, mudah kurang gizi,” jelas Prof. Ali.
Faktor lain penyebab kurang gizi adalah rendahnya pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan. Di Indonesia, prevalensi pemberian ASI eksklusif masih rendah jika dibandingkan 51 negara lain di dunia atau hanya 38%.
Padahal, bukan hanya bayi yang mendapatkan manfaat dalam menyusui, tapi juga ibu. Risiko kanker rahim, risiko terjangkit Human Papilloma Virus (HPV), penyebab kanker serviks bisa berkurang.
Kecukupan gizi tak sekadar urusan fisik. Kepada Lokadata.id, Psikolog klinis anak dan remaja Monica Sulistiawati mengungkapkan, nutrisi sangat penting untuk perkembangan dan pertumbuhan anak, termasuk dari sisi emosional. Sebab, perkembangan individu tidak dapat terlepas dari tiga aspek yang saling berkaitan fisik, kognitif-bahasa, dan sosial-emosional.
“Semakin baik kebutuhan nutrisi terpenuhi, semakin baik jumlah maupun kualitas sinaps pada otak yang terbentuk. Sebaliknya, jika nutrisi yang diterima tidak mencukupi kebutuhan tubuh kerjanya lambat dan bisa menimbulkan error thinking. Hal tersebut bisa menyebabkan kesalahan dalam memaknai kejadian tertentu ataupun kesalahan berperilaku,” ungkap Monica.
Perlu digarisbawahi, bukan hanya anak yang butuh gizi baik. Remaja, dewasa, bahkan lansia juga memerlukan nutrisi seimbang.
Dalam PMK No.28 Tahun 2019 disebutkan, Angka Kecukupan Gizi (AKG) harus dipenuhi setiap hari bagi hampir semua orang dengan karakteristik tertentu meliputi umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, dan kondisi fisiologis, untuk hidup sehat.
Namun, hal tersebut masih jauh panggang dari api. Dalam hasil olah data atas Potensi Desa (Podes) 2019 tercatat, penderita gizi buruk terserak dari wilayah barat hingga timur Indonesia.
Provinsi Aceh masuk dalam 10 wilayah tertinggi penderita gizi buruk. Dari 10 ribu penduduk, ada 2 orang terkena gizi buruk di Tanah Rencong.
“Aceh bertahun-tahun dalam situasi tidak aman, pembangunan terkendala, dan berakibat pada kesejahteraan masyarakat,” tandas Prof. Ali.
Permasalahan gizi buruk di Papua sampai mencetuskan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Tingkat kematian bayi tinggi karena tidak mendapatkan imunisasi. Ini terjadi di daerah yang terisolasi, dan tidak memiliki petugas kesehatan.
Menurut Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Siwanus Sumule, pola sama terjadi di sejumlah wilayah di Papua, salah satunya Kabupaten Deiyai.
Kabupaten hasil pemekaran tahun 2008 ini memiliki kasus gizi buruk terbanyak. Terdapat 449 penderita dari 73 ribu penduduk. Dari 10 ribu penduduk, terdapat 61 penderita gizi buruk.
Selanjutnya, ada Kabupaten Nias Barat. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi gizi buruk di wilayah ini merupakan yang tertinggi di Sumatra Utara dengan 12,57 persen.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Sumatra Utara, Teguh Supriyadi, menjelaskan, kendala yang sering dihadapi ialah telatnya penanganan dari pihak kesehatan. “Sebab selama ini orang tua tidak terbuka dan rata-rata kurang peduli dengan anaknya,” tutur Teguh.
Berkaca dari hal tersebut, Prof. Ali mengimbau agar bantuan dari pemerintah secara spesifik menyasar keluarga miskin yang punya anak balita.
“Program pemerintah untuk orang miskin seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), itu program yang bagus untuk orang-orang miskin tetapi tidak secara spesifik menyasar balita sebagai sasaran yang juga harus diperhatikan,” kata Prof. Ali.
Kalau menyasar balita, idealnya bantuan yang diberikan berupa susu dan telur. Jika penerima bantuan adalah orang miskin yang punya anak balita, maka sebaiknya diberi susu. Misal sepertiga dari kebutuhannya sebulan. Atau paling tidak pemerintah membantu dengan 3 karton susu.
“Sebab kalau bantuannya sumber karbohidrat semacam beras, yang menikmati pada akhirnya seluruh anggota keluarga. Padahal pada usia tertentu balita, AKG dengan kualitas yang baik itu diperlukan terutama dari pangan hewani dan itu akan mendukung pertumbuhan anak-anak,” tambah Prof. Ali.
Selain peran pemerintah, elemen penting lain ialah meningkatkan kesadaran masyarakat terutama kaum perempuan. Karena perannya sangat vital dalam menguasai pengetahuan dan memahami gizi serta pola asuh.
Menuju ke sana, Prof. Ali berpendapat di wilayah timur wajib belajar 9 tahun bisa ditingkatkan menjadi 12 tahun. Harapannya kaum muda tidak buru-buru menikah. “Itu juga menjadi kunci sukses membesarkan anak dengan baik,” tutupnya.
Masa pandemi Covid-19, menurut Monica, adalah saat tepat mengedukasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan nutrisi seimbang. Karena, pemenuhan nutrisi seimbang adalah bagian dari cara hidup sehat, sama halnya seperti mencuci tangan dan mengenakan masker. “Bahkan ini jauh lebih penting,” tandas Monica.