Rantai Madu dari Penakluk Lebah si Pemburu Cuan
Selamet Suryadi mendirikan area budidaya lebah madu dengan bendera Takoma. Menjadi sarana edukasi dan konservasi di Desa Saek Butu Saribu, Simalungun.
Asap mengepul tipis dari sebuah wadah yang terdapat ranting dibakar. Di situ ada Selamet Suryadi, berusia 40 tahun, dengan hati-hati dipegangnya wadah tersebut dan mendekat ke kotak penuh lebah tanpa pakaian pelindung.
Di hadapannya sudah ada kotak segi empat dan perlahan penutupnya dibuka tanpa suara. Seketika lebah-lebah yang sembunyi, berterbangan ke baju dan rambut.
“Ini termasuk lebah yang agresif. Penanganannya harus dengan tenang dan tidak ada suara. Maka tidak akan digigit karena lebahnya akan menganggap bukan ancaman,” kata Selamet Suryadi.
Sejak awal 2017 Selamet menekuni bisnis madu, sekaligus berbudidaya lebah. Bertempat di Desa Saek Butu Saribu Kecamatan Sidamanik Kabupaten Simalungun, dia membangun kerajaan peternakan tersebut.
Lokasinya dekat dengan aliran sungai, di sekelilingnya tumbuh subur pohon kaliandra yang tengah berbunga, dan tentu saja ada ratusan rumah lebah berbentuk kotak-kotak segi empat di bawahnya.
“Lebah hewan yang kebutuhan air bersihnya tinggi. Untuk itu saya membuat peternakan ini di dekat aliran sungai, dan pohon kaliandra sebagai sumber makanannya banyak tumbuh subur,” ucapnya.
Berawal dari Pelatihan Kopi
Kerajaan bisnis lebah madu yang digeluti Selamet ternyata dari langkah awalnya mengikuti pelatihan kopi Kementerian Riset dan Teknologi di Jember, Jawa Timur. Ilmu yang didapat tentang menanam kopi dan terintegrasi dengan lebah madu.
“Hati saya tergerak karena mengetahui kondisi lebah di kebun kopi semakin habis. Petani banyak tidak paham, karena menganggapnya hama. Ditambah tingginya pemakaian pestisida, membuat lebah menjauh,” ungkapnya.
Selamet menjelaskan mengapa kopi bisa terintegrasi dengan lebah, karena bunga kopi membutuhkan hewan ini untuk proses penyerbukan agar bisa berbuah sempurna. Agar lebah tidak pergi ke mana-mana, pemakaian pestisida tidak lagi dilakukan, kemudian menyediakan sumber pangannya secara melimpah.
“Ada salah satu referensi buku yang pernah dibaca, 20 persen peningkatan produksi kopi sebagian besar dipengaruhi penyerbukan oleh lebah madu,” katanya.
Selamet yang awalnya tidak tahu apa-apa tentang lebah, justru menjadi sayang dengan hewan bertubuh kecil ini karena manfaatnya. Usai mengikuti pelatihan, ilmu yang didapatnya langsung dipraktekkan.
“Saya cari papan bekas untuk membuat rumahnya. Kemudian berburu lebah di gundukan tanah atau kayu-kayu yang biasa jadi tempat tinggal hewan mungil ini. Saat itu sempat menemui kegagalan, tapi saya terus maju mencoba,” ucapnya.
Kegagalan di awal yang dihadapinya yakni lebah hasil tangkapannya mengalami stress. Selamet yang saat itu terkendala modal, dia berusaha mencari perusahaan yang bisa memodalinya. Ibarat pribahasa “pucuk dicinta, ulam pun tiba”, usahanya membuahkan hasil.
“Ada perusahaan yang klik dengan program saya. Akhirnya mereka mendanai dan dibuatlah klaster serta beberapa alat kebutuhan lebah,” jelasnya.
Usai mendapat suntikan modal, peternakan lebah madu Selamet kian melejit. Awalnya hanya ratusan koloni, meningkat hingga berkali-kali lipat. Untuk produksi, dari 100 kilogram (kg), naik menjadi 300 kg di 2018 dan kini bisa mencapai 500 kg madu perbulan.
Madu yang dijual Selamet diberi merek dagang Takoma. Izin juga sudah dikantonginya, mulai dari BPOM hingga sertifikasi halal. Permintaan pun membeludak. Untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tinggi, dibentuk kemitraan dengan petani madu lainnya.
“Kemitraan dengan pemanjat madu karena yang kita jual ada beberapa jenis lebah madu, yakni serana (lokal), madu dorsata (hutan tualang), lalu madu trigona atau sering dikenal orang madu propolis, dan lainnya,” sebutnya.
Manajemen Koloni dan Kemitraan
Selamet bersama timnya melakukan manajemen koloni. Bukan hanya produksi madu yang melimpah, bahkan bisa menjual bibit-bibit lebah.
“Sejak 2020 kita dapat kontrak untuk menjual bibit lebah,” ucapnya.
Selamet di samping berternak lebah, kemudian madunya dijual ke pasaran, pria murah senyum ini juga mengedukasi ke banyak orang, tentang pengetahuan jika madu bisa dilakukan hilirisasi hingga 70 produk turunan.
“Saya harus rubah mindset masyarakat bahwa bukan hanya madunya saja bisa dijual,” terangnya.
Selamet mencontohkan, hilirisasi dari hewan lebah selain madu, ada propolis, bipolen dengan nilai jual lebih tinggi. Sementara sampai saat ini, ada banyak petani yang membuang bagian lilin lebahnya karena kesulitan mengolahnya.
“Kenapa propolisnya tidak dikumpul, namun karena ga mau ribet, dibuang saja, padahal bisa menghilangkan pundi ekonomi, sementara di Sumut belum ada sentral pengolahan hilirisasi lebah madu, sementara bahan bakunya melimpah,” imbuhnya.
Untuk bisa memenuhi kebutuhan madu yang tinggi, Selamet di bawah naungan Takoma, bersama dengan tim lainnya membentu kemitraan dengan para pemburu lebah liar. Mereka tersebar di beberapa kabupaten/kota Sumatra Utara, juga ada di Sumatra Barat, Riau dan provinsi lainnya.
“Kemitraannya dengan pemanjat lebah tualang, trigona dan propolis. Sudah berjalan dari 2022, produksinya sekitar 1,2 ton,” ucapnya.
Lebah Tidak Kabur
Luasan lahan penangkaran lebah yang dikelola Selamet sekitar satu hektare dan berada di bibir sungai sepanjang 4 kilometer, dengan jumlah koloni lebih dari 900 ekor. Masa panennya dilakukan sebulan sekali untuk menjaga kematangan madu.
“Kalau diakumulasikan setahun bisa 9-11 kali panen, karena tergantung cuaca,” tuturnya.
Selamet memilih membuat penangkaran lebah di bibir sungai untuk mendekatkan dengan sumber nektar, yakni tanaman kaliandra. Air yang berlimpah juga tempat favorite hewan mungil ini untuk bisa hidup.
Kata dia, ini bagian dari manajemen koloni. Kaliandra adalah sumber nektar yang ketersediaannya lama, karena bunganya bisa mekar antara 2-3 bulan. Lebah juga butuh air bersih tanpa terkontaminasi pestisida atau limbah industri, maka di pinggir sungai pilhan tepat.
Lahan yang digunakan Selamet milik PTPN IV, dengan sistem izin pakai. Di kawasan tersebut, sudah tumbuh subur tanaman kaliandra yang kini jumlahnya sudah mencapai 1.500-an pohon, termasuk jenis lainnya.
Bagi Selamet, melakukan penangkaran lebah madu antara susah dan gampang.
“Dibilang mudah tapi ada yang gagal, kalau disebut susah ya tidak juga. Begitupun ada juga yang sepele, dianggap budidayanya bisa ditinggal, padahal harus dirawat dan ada triknya juga,” katanya.
Selamet pun membagikan tips agar budidaya lebah berhasil, dengan memastikan ketersediaan pangan di sekitar tempat tinggalnya terjamin. Di samping itu, air bersih juga menjadi komponen penting.
“Lainnya suhu udara di dalam sarang harus stabil di level 30-an derajat. Saat dilanda musim hujan terus menerus, sarang diperkecil, dengan mengatur sekat antara satu dengan lainnya,” sebutnya.
Selamet menyebut, paham memanajemen lebah bisa menyelamatkan dari kaburnya hewan mungil tersebut. Mereka akan melakukan hijrah jika ketersediaan pangannya terganggu. Jika ada yang ingin belajar, pria murah senyum ini siap memberikan.
“Saat ada orang yang mau belajar, pertama saya tanya, tinggalnya di mana, sudah pernah ketemu lebah tidak di tempat tinggalnya,” ucapnya.
Penangkaran Berbasis Edukasi
Lahan penangkaran madu yang dikelola Selamet, layaknya sekolah, karena tempat bisnisnya dibuka untuk umum sebagai lokasi edukasi.
“Orang yang beli madu, sering tanya, ada lebahnya pak? Alasan itu juga, Takoma ini ada untuk menjadi tempat konservasi dan edukasi,” terangnya.
Awal-awal tempat penangkaran lebah ini berdiri, sebut Selamet, hanya lima orang yang berkunjung, kini seiring lahan peternakannya semakin terkenal, dari berbagai penjuru provinsi lain di Indonesia datang untuk melihat langsung.
Selamet menggratiskan siapapun yang datang untuk melihat, belajar atau sekadar bermain. Tujuannya agar manusia bisa bersahabat dengan lebah.
“Banyak orang masih menganggap lebah seram dan musuh. Mindset itu yang mau diubah. Siapapun bisa bersahabat dan main dengan lebah, namun ada caranya memegang tanpa disengat,” ucapnya bersemangat.
Madu-madu yang diproduksinya dijual dengan harga bervariasi, dan pemasarannya selain di kawasan Sumatra Utara bagian utara, juga tersebar hingga ke Batam, Jakarta, Kalimantan dan Jawa.
“Ke luar negeri belum berani karena keterbatasan produksi. Berbicara madu kan bertarung dengan alam, stabilitas kita adalah alam,” katanya.
Hilirisasi Madu
Selamet mendirikan kerjaan bisnis madu dengan merek Takoma tidak sendiri, melainkan bersama sembilan rekannya dan dibantu pekerja lainnya. Membawa semangat besar, targetnya hilirisasi produk terlaksana di 2023.
Rencana untuk hilirisasi, yang paling awal dikejar propolis, di mana saat ini yang mereka jual adalah madu propolis, bukan propolis.
Selamet menjelaskan, madu propolis berasal dari nektar, sedangkan propolis adalah resin, getah-getah tanaman yang diambil oleh lebah dan dijadikan sarang (tempat madu) atau tempat polen. “Sementara jenis apis membangun sarang dari serpihan lilin yang turun dari perutnya,” jelasnya.
Masih kata dia, kandungan propolis sebagai anti oksidan, anti radikal bebas, bahkan ketika luka sekalipun disiram propolis bisa sembuh atau kering. “Pemanfaatannya lebih banyak untuk medis, ketika kami membuat propolis maka akan mendaftarkan kembali HAKI kami dalam bentuk kelas yang berbeda,” ujarnya.
Dijelaskannya, pasar penjualan propolis peluangnya cukup besar, kemudian tidak ada yang. “Sementara madu setiap konsumen baru akan tanya, pak madunya asli pak, kalau propolis tidak akan tanya,” imbuhnya,
Selamet menjabarkan manfaat polen yakni memiliki kandungan protein yang tinggi, di mana 18 asam amino essentialnya setara dengan ikan salmon dan selama ini banyak dibuang oleh peternak lebah madu.
Bagi Selamet, berternak madu sama dengan ikut berkontribusi menjaga alam, karena harus menanam pohon dan memastikan debit air sungai tetap terjaga.
“Kami punya semboyan gerakan tanam pakan lebah Ada alam ada madu,” ucapnya.
Selamet bersama rekan sesama peternak madu lainnya memiliki harapan besar, agar sektor perlebahan diperhatikan pemerintah, karena selama ini hanya pada aspek pendistribusi bibis lebah saja, setelah itu dibiarkan.
Regulasinya, kata Selamet juga perlu diatur dengan baik, agar madu dalam negeri tidak kalah dengan impor.
“Kemudahan regulasi tentang madu, sampai hari ini kita masih kalah dengan madu impor, padahal secara produksi jika didata dengan baik, jujur saja indonesia surganya madu— kenapa kita disebut paru-paru dunia, artinya hutan masih bagus dan sumber nektar banyak, tapi kenapa impor madu dari negara-negara yang notabene hutan cukup kecil— ada apa?” tanya Selamet
“Disamping itu, selama ini distribusi bibit lebah di Sumut banyak dilakukan broker, bukan tim ahli di lapangan,” katanya kembali. Atas hal-hal itulah, kata Selamet, memunculkan keresahan di kalangan peternak lebah, termasuk dirinya sendiri.
“Hal ini yang membuat saya pribadi resah kenapa potensi yang ada di negeri ini tidak juga belum diatur secara regulasi,” sebutnya.
Kata Selamet, dunia perlebahan adalah hal baru dan menarik, di mana orang-orang akan suka. Dia mencontohkan negara Thailand, begitu wisatawan tiba di bandara, sudah ada yang memberikan paket wisata perjalanan, salah satu komponennya ke lokasi penangkaran lebah.
Provinsi Sumut, sebut Selamet, ada kebun Sidamanik salah satunya, memiliki kekayaan alam dan berada di lokasi yang strategis.
“Saya menyayangkan sekali— kawasan ini salah satu yang strategis dalam hal pariwisata, satu-satunya kebun teh di sidamanik, kenapa pemerintah tidak buat paket ke kebun teh, kemudian ada juga air terjun— padahal bisa mendatangkan wisatawan, namun jadi lost saja,” katanya menutup pembicaraan.