Tekad Lestari Para Pembudidaya Lebah Lemahsugih
Pemuda Desa Lemahsugih bergerak melestarikan lebah secara lestari dan berkelanjutan. Membentuk ekosistem yang berdampak pada pertanian dan sosial lingkungannya.
Sandi, 29 tahun, berjalan kaki melewati kebun brokoli dan cabai miliknya. Pagi itu, ia bergegas sambil membawa parang dan kantong plastik. Sesekali sambil mengecek demplot bibit cabainya yang baru tumbuh 3 – 5 helai daun hijau. Di antara jalan setapak kiri kanan kebunnya, tampak tumbuh pohon kaliandra yang teduh.
Kaliandra tak hanya penting sebagai pohon penyedia asupan pakan ternak domba dan kambing saja. Tapi pohon ini punya manfaat lain. Khususnya, menjadi salah satu makanan utama bagi lebah. Lebah Apis Cerana biasa menghisap nektar bunga kaliandra yang berwarna merah.
Bagi Sandi, semua tanaman dan makhluk hidup yang berada di kebunnya sangat penting. “Lebah untuk membantu penyerbukan tanaman sekaligus menambah penghasilan,” ujar Sandi sambil tersenyum.
Tiap jumat setiap minggunya, ia kerap kali memanen madu dari stup atau kotak lebah miliknya. Stup ini ia sebar tak hanya di kebun. Tapi juga di sekitar kaki Gunung Cakrabuana, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat yang banyak ditanami pinus dan pepohonan lainnya.
Turun Temurun Sebagai Pembudidaya Lebah
Bagi Sandi dan pemuda lainnya di Desa Lemahsugih, menjadi petani dan pembudidaya madu sudah menjadi pekerjaan turun temurun. Berbagai pengalaman dan pengetahuan pertanian dan perlebahan mereka dapatkan dari orangtuanya.
“Sudah turun menurun dan di sini dikenal karena madu hutannya,” ujar Sandi sambil istirahat di sebuah pondok bambu yang asri. Suara gemericik air bersih tak henti mengucur deras menuju kolam ikan.
Ada 15 warga Desa Lemahsugih yang kini menjadi pembudidaya lebah madu jenis Apis Cerana. Tiap bulan mereka mampu memanen madu hingga seberat 80 kilogram dari 30 – 40 stup yang ada. Sedangkan panen jenis madu hutan atau dari lebah Apis Dorsata bisa mencapai 2 kwintal tergantung musim.
“Saat ini berkurang karena masih ada hujannya,” ujar Sandi yang kini bisa mendapatkan penghasilan dari madu sekitar Rp 2 hingga 3 juta per bulannya.
Warga Lemahsugih sadar kualitas madu tergantung dari kondisi alamnya yang terjaga. Mulai dari pertanian yang ramah lingkungan hingga keberagaman akan pepohonan di sekitarnya.
Lebah-lebah yang hidup di sini punya kepekaan terhadap ekosistem di sekitar desa. Beruntung mereka tinggal di sekitar Gunung Cakrabuana yang relatif masih lestari. Sekalipun berada di jalur yang menghubungkan empat kabupaten. Mulai dari Sumedang, Majalengka, Garut, dan Tasikmalaya.
Wadah Pendidikan dan Sosial
“Kita ingin mengembangkan lebah sebagai pusat pendidikan, konservasi, dan sosial,” ujar Edi Hidayat dari Roem Instititute. Roem Institute adalah ruang belajar dan sosial untuk mengembangkan kelestarian, ekonomi, sekaligus jejaring dengan berbagai komunitas. Tujuannya, agar penghidupan warga di sini semakin membaik. Termasuk dalam menumbuhkan gerakan lingkungan dan konservasi di Gunung Cakrabuana.
Roem Institute berdiri pada tahun 2020 dan melibatkan pemuda di sini. Rata-rata usia mereka tergolong muda dan ingin desanya lebih berdaya tanpa menggantungkan hidup ke kota. Komoditas pertanian dan madu pun menjadi jalan bagaimana mereka tumbuh kembang secara seimbang dengan alam dan sosialnya.
“Di sini penghasil labu dan dikirimkan hingga ke Jakarta dan kota besar lainnya. Bagi warga, labu dari sini sudah seperti atm yang bisa menghasilkan uang tiap hari,” ujar Edi Hidayat. Menurutnya, pertanian yang baik tak bisa terlepas dari ekosistem di sekitarnya. Salah satunya keberadaan lebah yang membantu proses pembuahan. Termasuk etika bagaimana memanen madu secara lestari.
“Kita panen hanya sebagian saja agar tetap menjadi sarang lebah alami di hutan,” ujar Edi Hidayat.
Edi Hidayat bersama Sandi terus bergerak mengembangkan pertanian dan perlebahan di Desa Lemahsugih. Berbagai produk madu kini telah dikemas dengan baik. Mulai dari desain, perizinan, halal, hingga pemasaran. Lewat brand “Roem” mereka memasarkan produk ke perusahaan, pameran, dan langganan tetap dari Majalengka hingga Bandung.
Potensi Madu Nusantara
Menurut BPS, produksi madu di Indonesia selama kurun waktu 2016 hingga 2020 tercatat sangat fluktuatif. Di tahun 2016 madu nasional mencapai 362, 2 ribu liter dan turun drastis menjadi 54,3 ribu liter di tahun 2017. Di tahun 2018, produksi madu nasional meningkat menjadi 147,3 ribu liter dan turun kembali ke angka 51,34 ribu liter.
Sedangkan Pulau Jawa menjadi salah satu penghasil madu terbesar nasional di tahun 2020 dan mencapai angka 41,6 ribu liter. Urutan kedua diikuti oleh Sumatera, Kalimatan, Sulawesi dan wilayah Indonesia Timur lainnya.
Menurut Asosiasi Perlebahan Indonesia (API), kondisi naik turunnya produksi madu nasional karena terkendala rendahnya tanaman pakan lebah. Seperti kaliandra, hingga tanaman buah-buahan. Tak hanya itu, kondisi perubahan iklim dan rusaknya hutan ikut mempengaruhi keberadaan lebah.
Indonesia sepatutnya bisa menjadi penghasil madu berkualitas dunia. Dari hasil penelitian perlebahan, setidaknya ada sembilan dari sebelas spesies lebah madu dunia yang hidup di negeri ini. Kekayaaan keragaman lebah ini harusnya menjadi asset nasional penting dan menjadikan Indonesia sebagai pusat perlebahan dunia.
Menurut data API, kebutuhan madu orang Indonesia mencapai 15 hingga 150 ribu ton per tahun. Sayangnya, sebagaian besar masih dipasok dari Cina untuk keperluan konsumsi maupun pengobatan.
Menurut pakar lebah dari Beekeeping Gatton University Australia Mochamad Chandra Widjaja, lebah madu Indonesia masih menggantungkan dari lebah hutan. Untuk itu, menjaga hutan sangat penting agar lebah-lebah yang ada bisa hidup berkembang dengan baik di tengah ancaman lingkungan saat ini.
“Guna mendapatkan produksi madu yang maksimal, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, maka harus mengetahui faktor penentu produksinya. Inilah yang paling penting, faktor produksi pertama adalah sumber pakan lebah. Lebah tanpa ketersediaan sumber pakan adalah non sense, karena no tree no bee no honey, itu adalah tiga hal yang tidak bisa dipisahkan,” ujar Chandra yang juga lulusan program studi Biologi Universitas Padjajaran, Bandung ini.
Saat ini menurut data Food and Agrciculture Organization (FAO), Cina memang menjadi penghasil madu alami terbesar di dunia dengan kapasitas mencapai 458 ribu ton di tahun 2020. Salah satunya berasal dari Provinsi Zhejiang yang memiliki lebih dari 1 juta sarang lebah madu. Penghasil kedua dunia diikuti oleh Turki, Iran, Argentia, dan Ukraina.
Tak salah jika dengan luasan hutan yang ada, dan juga keragaman berbagai jenis lebah yang hidup di Nusantara, sudah sepatutnya Indonesia masuk dalam jajaran besar penghasil madu berkualitas ini.
Mimpi Dari Lemahsugih
Anak muda yang tergabung ke dalam wadah Roem Institute punya tekad baja. Mereka bergerak ke depan dan menjadikan penghidupan di desa semakin lestari dan berdampak secara ekonomi. Berbagai pendekatan mereka terapkan agar budidaya madu lebih modern dan menerapkan prinsip keberlanjutan. Mulai dari pemasangan barcode di setiap stup hingga kampanye ke para pemburu madu di tingkat lokal.
Kelestarian alam dan sinergi anak-anak muda di sini menjadi ujung tombak perubahan yang baik agar madu dari Gunung Cakrabuana semakin produktif dan berkualitas. Tanpa perlu melakukan eksploitasi lingkungan yang justru merusak masa depan kehidupan di Desa Lemahsugih, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.