Telaga Potorono, Wisata Murah BUMDes Potorono, Bantul.
Wisata Wana Desa dan Telaga Potorono, Bantul, memanfaatkan tanah desa tidak produktif bekas tambang menjadi pusat ekonomi dan konservasi.
Sore saat senja beranjak purna, Telaga Potorono mulai ramai di datangi oleh banyak pengunjung. Telaga yang mempunyai panjang sekitar 200 meter dengan lebar 20 meter tersebut, terlihat begitu asri, bersih dan banyak dikunjungi oleh masyarakat.
Tidak jauh dari telaga, di sebelah Selatan telaga berjejer ruko-ruko kecil mengitari panggung terbuka. Berbagai jenis jajanan dan minuman rakyat memenuhi ruko-ruko tersebut. Menariknya saat kita melempar pelet ke air, Telaga Potorono tampak seperti kolam ikan besar. Berbagai jenis ikan memang dikembangbiakkan, hal itu secara tidak langsung menjadi daya tarik tersendiri dari bagi pengunjung yang datang.
Bahron, 50 tahun, sebagai ketua pengelola Telaga Potorono, sambil menggunakan salah satu wahana perahu di tengah telaga menjelaskan, bahwa Telaga Potorono di bangun sekitar tahun 2017 dan di resmikan pada tahun 2018, dengan anggaran hampir 1,6 M. Adanya program dari pemerintah atas pengadaan embung desa melalui dinas lingkungan hidup provinsi Yogyakarta, membuat pembangunan Telaga Potorono mendapat sambutan hangat dari masyarakat pada saat itu.
“Daerah sini, dulu merupakan wilayah yang tidak produktif, berupa rawa-rawa yang banyak di tumbuh tumbuhan liar seperti eceng gondok. Sehingga pemerintah desa Potorono mempunyai inisiatif untuk dijadikan telaga, melalui progam pembangunan telaga dari provinsi Yogyakarta,” tutur Bahron yang setiap sore berjaga wahana Telaga Potorono.
Telaga Potorono bertempat di Kelurahan Potorono, tepatnya di Salakan, salah satu padukuhan dari 9 padukuhan di kelurahan tersebut. Tempat wisata ini sendiri, berada di bawah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Potorono. Karena lokasi telaga berada pada tanah kas desa. Berbarengan dengan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), dua lembaga ini menjadi fasilitator untuk tumbuh kembangnya tempat wisata ini.
Sementara itu operator dari pengelolaan obyek wisata telaga ini, di ambil dari 11 RT dari dukuh Salakan, jumlahnya hampir 30-an orang. Mereka terbagi-bagi menjadi sub bidang kerja, seperti petugas kebersihan, keamanan, humas, dan tim pengembangan.
Selain itu Buhron juga menjelaskan, bahwa Telaga Potorono berbeda dengan telaga atau embung pada umumnya. Biasanya telaga digunakan untuk irigasi untuk mengairi lahan pertanian, tetapi berbeda halnya dengan Telaga Potorono yang dijadikan sebagai tempat konservasi sumber air. Karena menurut penjelasan Buhron, di tengah telaga dan sekelilingnya banyak mata air, yang itu menopang kelangsungan sumber air bersih warga padukuhan Salakan.
Sementara itu Misbahul Munir, 38 tahun, sebagai salah satu orang yang ikut andil dalam masa awal perintis Telaga Potorono menambahkan bahwa, selain sebagai ruang konservasi air. Telaga Potorono juga dijadikan sebagai ruang untuk menjaga kelestarian alam sungai Ngrue yang berada tepat di sebelah telaga. Dari hal itu, nama obyek wisata ini adalah Wana Desa dan Telaga Potorono. Wana Desa yang dimaksudkan adalah daerah terbuka hijau atau hutan desa.
Munir panggilan akrabnya, juga menjelaskan bahwa kelurahan Potorono atau lebih luas kecamatan Banguntapan, yang jaraknya dengan kota Yogyakarta hanya sekitar 10 km dengan jarak tempuh sekitar 25 menit. Menjadikan daerah tersebut bisa dikatakan semi urban yaitu daerah transisi antara desa dan kota. Dari hal itulah daerah tersebut ditetapkan sebagai daerah penyangga kota. Dengan letak geografis yang seperti itu, maka peran Telaga Potorono menjadi sangat strategis untuk menjaga keseimbangan laju pertumbuhan kota yang sangat pesat.
“Selain itu telaga juga menjadi ruang terbuka hijau. Saat ini perkembangan pemukiman penduduk sangat pesat, dan faktanya hal itu memunculkan persoalan kurangnya ruang terbuka hijau. Dari hal itu butuh ruang terbuka, yang asri, ramah anak, murah dan terjangkau, bagi masyarakat luas,” tutur Munir yang juga menjadi anggota DPD dan ketua Pokdarwis Kelurahan Potorono.
Selain fungsi ekologis, Munir juga menjelaskan fungsi lainnya yang tidak kalah penting yaitu fungsi sosial dan ekonomi. Fungsi sosial Telaga Potorono menurutnya menjadikan telaga ruang sosialisasi bertemu di antara masyarakat khususnya warga Potorono yang jumlahnya hampir 13 ribu dari 9 padukuhan. Dan lebih luas, warga kecamatan Banguntapan secara umum.
“Warga masyarakat yang dulunya banyak bekerja di luar desa Potorono , yang intensitas pekerjaannya sanggat tinggi, dengan adanya telaga menjadi bisa saling berinteraksi lagi, setelah mereka lelah bekerja di luar. Mereka dapat menikmati tempat wisata murah yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Sehingga hal itu, menumbuhkan rasa kebersamaan dan solidaritas yang penting dimiliki sebagai masyarakat desa,” jelas Munir dengan bersemangat.
Wisata Murah, dan Sumber Ekonomi Baru Bagi Masyarakat
Sebagai tempat wisata yang dikembangkan dari hasil swadaya masyarakat, pengunjung Telaga Potorono tidak dibebani biaya yang mahal untuk menikmatinya. Hal ini bisa di lihat dari biaya parkir yang tidak di pungut biaya, hanya saja disediakan kotak yang bertuliskan seikhlasnya. Sedangkan untuk menikmati wahana seperti perahu, pengunjung dikenakan biaya 20 ribu sekali putar. Sementara untuk yang lainnya tidak dikenai biaya.
Walaupun begitu tingkat pengunjung yang datang di Telaga Potorono bisa dikatakan sangat tinggi. Seperti dikatakan Buhron, setiap sore pengunjung yang datang cukup banyak. Biasanya mereka datang dengan keluarga menemani bermain anak, atau hanya sekedar untuk olahraga sore.
Belum lagi ketika hari libur, tingkat kedatanggannya bisa dari pagi dan peningkatannya bisa dua kali lipat dari hari biasa. Walaupun belum ada pencatatan secara baik, tapi tingkat kedatangan pengunjung bisa di lihat dari hasil kotak parkir, ketika hari biasa rata-rata bisa mencapai 200 ribu. Bahkan ketika hari libur, bisa mencapai dua juta.
Biasanya hasil dari pendapatan parkir dan wahana dimanfaatkan untuk mengembangkan perawatan dan pengembangan fasilitas telaga. Untuk pengeluaran perbulan saja, untuk kebutuhan gaji pengelola dan perawatan, mencapai 10 juta.
“Kalau menghitung nominal hal tersebut masih relatif kecil, harapan saya ke depan pemasukan ke telaga bisa lebih tinggi, agar bisa menjadi pekerjaan utama bagi pengelolanya,” tutur Buhron yang memiliki toko listrik sebagai pekerjaan utamanya.
Sementara mengenai dampak ekonomi adanya Telaga Potorono sangat bisa di rasakan oleh masyarakat. Daerah Potorono yang dulu dikenal masyarakatnya sebagian besar petani di sawah dan buruh di pabrik, sekarang setelah adanya telaga sedikit banyak masyarakat mulai terserap untuk bekerja sehingga mendapatkan dampak ekonomi adanya wisata Telaga Potorono.
Dampak yang paling bisa dirasakan di sektor ekonomi adalah terserapnya para warga desa yang secara usia sudah tidak produktif mbah-mbah sepuh untuk bekerja. Mereka bisa ikut terlibat dalam aktivitas ekonomi dengan berjualan, sehingga dapat pemasukan di usia senjanya.
Selain itu, sebagian besar masyarakat menjadi pedagang di warung-warung di sekitar telaga. Atau menjajakan pelet pakan ikan bagi pengunjung. Adanya fasilitas ruko dengan biaya sewa per tahun 900 ribu, yang di sediakan oleh pengelola telaga khusus bagi masyarakat Potorono, cukup membantu perekonomian masyarakat di sekitar telaga. Di samping itu, untuk biaya distribusi bagi masyarakat yang jualan, mereka di kenai biaya tiga ribu rupiah setiap harinya.
Dengan nominal yang relatif kecil yang diperuntukkan untuk masyarakat yang jualan, menjadikan pendapatan mereka menjadi maksimal. Hal tersebut seperti diceritakan salah satu pedagang di sana Marlin, 62 tahun. Ia menjelaskan bahwa adanya telaga sangat membantu perekonomian keluarganya. Apalagi di usianya yang sudah tua, ia bisa mendapatkan penghasilan dengan hanya menjual makanan ringan di belakang rumahnya.
“ Njih cukup terbantu mas, wong di sini dulunya sepi rawa-rawa sekarang rame, dan bisa jualan, disini hasilnya lumayan bisa untuk nyangoni putu-putuku” Tutur Marlin yang rumahnya pas di samping telaga.
Soal pengembangan Telaga Potorono sendiri, Munir menjelaskan sejak awal ditekankan untuk menerapkan Saptapesona pariwisata acuan dalam mengembangkan obyek wisata yaitu Keamanan, Ketertiban, Kebersihan, Kesejukan, Keindahan, Keramahan, dan Kenangan. Hal-hal tersebutlah yang berusaha ditekankan pada pengelola Telaga Potorono.
Salah satu hal yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas SDM adalah adanya penyuluhan dan pelatihan dari Dinas Pariwisata dan studi banding ke tempat lain menjadi agenda utama yang sering dilakukan. Sementara untuk mendongkrak kunjungan pengunjung. Salah satu langkah yang dilakukan adalah event di Telaga. Tahun ini saja ada tiga event besar seperti, festival durian, lomba mancing, dan lomba karaoke di momen kemerdekaan RI yang sudah di lakukan di Telaga Potorono.
Lomba mancing bisa jadi salah satu event utama yang melambungkan nama Telaga Potorono. Telaga yang di dalamnya di isi bibit ikan hampir satu ton tersebut, ketika panen raya dengan di buat event dapat mengundang para orang yang hobi mancing seantero provinsi Yogyakarta. Biasanya peserta lomba merebutkan satu motor baru yang disediakan panitia. Di samping itu, dengan biaya pendaftaran lomba hampir 500 ribu mereka dapat membawa pulang ikan hampir satu karung.
Penting dicatat lagi menurut Munir setelah Telaga Potorono yang hampir lima tahun berjalan sedikit demi sedikit keuntungan ekonominya sudah bisa dapat di rasakan. “Salah satu yang bisa di lihat adalah meningkatnya fasilitas publik, seperti jalan, adanya wc umum yang semakin baik, adanya pendapa untuk pertemuan, ke depan menurutnya akan dikembangkan restoran yang dan kolam renang anak. Dan semua itu semuanya hasil kerja sama pengelola dan seluruh elemen masyarakat kelurahan Potorono, “tegas Munir.