Analisis Kebijakan

Menangani stunting dari desa

Stunting menjadi pekerjaan rumah bersama, dari level pusat sampai desa. Sejauh ini, desa telah memiliki beberapa program termasuk penguatan tekanan terhadap penanggulangan stunting dalam SDGs Desa.

Moh Ali Khomsin
Menangani stunting dari desa
llustrai pengukuran tinggi anak Kanal Desa / Kanal Desa

Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan. Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi (-2SD) panjang atau tinggi anak seumurnya (Kementerian Dalam Negeri RI Kementerian PPN/Bappenas TNP2K, 2018). Jadi jelas sasaran stunting adalah ibu hamil, anak usia kurang dari 2 tahun, dan anak usia antara 2 tahun sampai dengan 5 tahun.

Stunting berbeda dengan flu, batuk atau masalah kesehatan lainnya yang dapat dirasakan dampaknya. Jika flu atau batuk diobati tidak sembuh juga, maka penderita akan terus berusaha agar segera sembuh dan sehat, sehingga terlepas dari gangguan batuk/ flu tersebut. Stunting bisa jadi dianggap "tidak sakit" selama tidak ada keluhan, dianggap biasa-biasa saja, dan membuat orang tua/pengasuh santai-santai, tidak melakukan treatment tertentu agar anak tumbuh kembang normal, tidak lagi terkena stunting, maupun dampak stunting. Hal demikian yang menganggap stunting bukan persoalan serius, harus diluruskan.

Rentetan dampak stunting

Beragam riset menunjukkan rentetan dampak-dampak yang ditumbulkan oleh stunting. Balita dengan status gizi stunting berisiko 2,96 kali menderita penyakit TBC (Penyakit tuberkulosis) dibandingkan balita dengan status gizi normal, dan balita dengan status gizi stunting berat berisiko 8,18 kali terkena penyakit TBC (Nadila, 2021). Ini menunjukkan, balita dengan status gizi stunting, apalagi stunting berat memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan balita dengan status gizi normal. Status gizi menunjukkan peran penting dalam proses tumbuh kembang anak. Status gizi yang buruk bahkan stunting berdampak negatif pada pertumbuhan anak. Salah satunya adalah anak yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah yang menyebabkan anak rentan terhadap penyakit infeksi. Status gizi stunting memiliki risiko yang tinggi untuk anak-anak yang sakit TB.

Aprilia Daracantika,dkk. (2021) yang melakukan penelitian systematic literature review mengenai pengaruh negatif stunting terhadap perkembangan kognitif anak. Riset ini menuturkan, keadaan stunting berpengaruh terhadap perkembangan motorik dan verbal anak, peningkatan penyakit degeneratif, dan kejadian kesakitan bahkan kematian. Kondisi stunting mengakibatkan pertumbuhan juga perkembangan sel-sel neuron (otak) terhambat sehingga mempengaruhi perkembangan kognitif pada anak.

Selain itu, stunting berdampak pada kapasitas belajar dan prestasi belajar di sekolah menjadi kurang optimal (Rafika, 2019). Dengan hambatan perkembangan kognitif dan motorik pada anak stunting, berdampak juga terhadap penurunan kemampuan menyerap pelajaran di usia sekolah, pencapaian pendidikan yang lebih rendah dimasa yang mendatang, serta produktivitasnya saat dewasa (Primasari & Keliat, 2020).

Dampak stunting terhadap pertumbuhan otak anak diperjelas dengan hasil penelitian (Daracantika et al., 2021) yang menunjukkan, bahwa stunting memiliki dampak biologis terhadap perkembangan otak dan neurologis yang kemudian terjadi penurunan nilai kognitif. Kondisi stunting yang parah yaitu dengan Z-score <-3SD (kurang dari minus tiga standar deviasi) dari indeks panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) menurut umur anak, mempunyai dampak negatif pada perkembangan anak. Anak usia kurang dari 2 tahun yang mengalami stunting terancam memiliki IQ non-verbal kurang dari 89 dan IQ lebih rendah 4,57 kali dibandingkan IQ anak yang tidak stunting. Hal Ini memiliki pengaruh negatif terhadap kemampuan kognitif anak yang berdampak pada kurangnya prestasi belajar.

Ibu hamil, orang tua/ pengasuh anak usia 0-2 tahun, dan juga termasuk keluarga yang di dalamnya terdapat anggota keluarga sedang hamil, masih anak usia 0-2 tahun, tidak boleh masa bodoh dengan mereka. Sekalipun kondisi kehamilan maupun status gizi anak normal dan bagus. Karena, ibu hamil dan anak usia 0-2 tahun harus diperlakukan dengan sangat istimewa, karena di fase itu, mereka termasuk kelompok rentan, sementara dari mereka akan melahirkan calon generasi terbaik bangsa. Dalam fase itu, hal-hal negatif terjadi akan berdampak besar. Terlebih jika ibu hamil itu memiliki status kehamilan kurang energi kronis (KEK) atau risiko tinggi (RESTI) dan anak yang berusia 0–2 tahun itu memiliki status gizi stunting (termasuk gizi buruk dan gizi kurang).

Menurut TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) dampak stunting sebagaimana disebutkan di atas menjadikan hilangnya 11% produk domestik bruto (PDB), kemiskinan antar generasi, warga yang mudah sakit, mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20%, mengurangi 10% dari total pendapatan seumur hidup, kemampuan kognitif kurang.

Jadi pemangku kepentingan yang tidak mengambil peran strategis terkait stunting, dapat dikatakan, telah melahirkan calon warga miskin, calon generasi kurang sehat, tidak berdaya saing, sehingga negara lemah di masa yang akan datang. Dan sayangnya, calon yang dimaksud itu bisa saja adalah anak kita, keluarga kita, teman kita, atau warga kita. Dengan demikian, para pemangku kepentingan, apapun perannya harus mengambil peran strategis dalam rangka pencegahan, penanganan maupun penurunan stunting, tanpa melihat stunting ini menjadi sektor dan program siapa.

Peran Pemerintah Desa dalam penurunan stunting

Pemerintah desa menurut Peraturan Bupati Kudus Nomor 9 Tahun 2021, memiliki peran cukup strategis dalam penurunan stunting, yakni: menetapkan KPM (Kader Pembangunan Manusia), membentuk RDS (Rumah Desa Sehat), mengalokasikan anggaran kegiatan KPS (Konvergensi Pencegahan Stunting) dalam APB Desa, mendukung dan memfasilitasi KPS, dan menetapkan TPPS Desa (Tim Percepatan Penurunan Stunting Desa).

KPM setiap desa paling sedikit berjumlah 1 orang. KPM bertugas menyosialisasikan Konververgensi Pencegahan Stunting (KPS) kepada masyarakat, mendata sasaran rumah tangga 1.000 HPK, memastikan sasaran 1.000 HPK menerima layanan stunting. Selain itu, KPM juga mengusulkan kegiatan dalam rangka intervensi gizi spesifik maupun sensitif. Konvergensi dapat diartikan "keroyokan" semua pihak mengeroyok menurunkan stunting.

Disamping itu, KPM juga bertugas memfasilitasi suami ibu hamil, dan bapak dari anak usia di bawah 2 tahun untuk mengikuti konseling gizi, serta kesehatan ibu dan anak. Kelompok ini bertugas pula memfasilitasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pemenuhan layanan intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. KPM juga berkoordinasi, kerjasama dengan para pihak yang menyediakan layanan pencegahan stunting (misal bidan desa, ahli gizi/ sanitarian puskesmas, guru PAUD, perangkat desa, atau yang lain. Terakhir, tugas KPM adalah melaporkan pelaksanaan tugas kepada kepala desa.

Pencegahan stunting merupakan sektor strategis nasional. Mengacu pada Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 7 Tahun 2021 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2022, bahwa sektor strategis nasional antara lain komunikasi, pariwisata, pencegahan stunting, desa inklusif, dan mitigasi bencana dan penanganan bencana. Pada tahun 2022, penggunaan Dana Desa itu untuk program prioritas nasional yang sesuai kewenangan desa, dan diprioritaskan untuk pencapaian SDGs Desa, dimana pencegahan stunting itu sendiri untuk mewujudkan Desa Sehat dan Sejahtera (Tujuan Ketiga).

Dalam peraturan menteri ini dijelaskan bahwa pencegahan stunting di Desa itu dilakukan melalui 3 kegiatan. Pertama, pengelolaan KPS dilakukan melalui aplikasi e-HDW. Kedua, tindakan promotif dan preventif dalam rangka pencegahan stunting dilakukan melalui RDS. Ketiga, peningkatan pelayanan kesehatan, gizi, dan pengasuhan anak itu dilakukan melalui 9 kegiatan.

Sembilan kegiatan yang dimaksud yaitu kesehatan ibu dan anak, konseling gizi, air bersih dan sanitasi, perlindungan sosial (untuk ibu hamil, menyusui dan balita) terhadap jaminan kesehatan dan administrasi kependudukan, pendidikan pengasuhan anak melalui PAUD dan BKB, upaya pencegahan perkawinan anak, pendayagunaan lahan pekarangan keluarga dan tanah kas desa untuk pembangunan 3K (kandang, kolam, dan kebun) dalam rangka penyediaan makanan sehat dan bergizi untuk ibu hamil, balita dan anak sekolah, peningkatan kapasitas KPM, kader posyandu, dan pendidik PAUD, serta pemberian insentif untuk KPM, kader posyandu, dan pendidik pada PAUD.

Menekankan kembali peran penting Kader Pembangunan Manusia

Sebagaimana dipahami, sasaran stunting adalah ibu hamil, anak usia 0–2 tahun, dan anak usia 2–5 tahun. Sasaran stunting itu harus diberikan pelayanan. Misalkan ibu hamil itu harus periksa kehamilan kepada tenaga kesehatan. Tugas KPM adalah mendata siapa saja ibu hamil tersebut yang ada di desa dan melakukan pemantauan siapa saja ibu hamil yang telah periksa kesehatan ke tenaga kesehatan. Periksa kehamilan merupakan salah satu dari 8 indikator layanan yang harus dipantau oleh KPM. Delapan indikator yang harus dipantau oleh KPM adalah:

1. Ibu hamil periksa kehamilan paling sedikit 4 kali selama kehamilan kehamilan.

2. Ibu hamil mendapatkan dan minum 1 tablet tambah darah (pil FE) setiap hari minimal selama 90 hari

3. Ibu bersalin mendapatkan layanan nifas oleh nakes dilaksanakan minimal 3 kali

4. Ibu hamil mengikuti kegiatan konseling gizi atau kelas ibu hamil minimal 4 kali selama kehamilan

5. Ibu hamil dengan kondisi resiko tinggi dan/atau Kekurangan Energi Kronis (KEK) mendapat kunjungan ke rumah oleh bidan Desa secara terpadu minimal 1 bulan sekali

6. Rumah tangga ibu hamil memiliki sarana akses air minum yang aman

7. Rumah tangga ibu hamil memiliki sarana jamban keluarga yang layak.

8. Ibu hamil memiliki jaminan layanan kesehatan

Sementara untuk indikator layanan terhadap anak usia 0-2 tahun yang harus dipantau oleh KPM adalah:

1. Bayi usia 12 bulan ke bawah mendapatkan imunisasi dasar lengkap

2. Anak usia 0-23 bulan diukur berat badannya di posyandu secara rutin setiap bulan

3. Anak usia 0-23 bulan diukur panjang/tinggi badannya oleh tenaga kesehatan terlatih minimal 2 kali dalam setahun

4. Orang tua/pengasuh yang memiliki anak usia 0-23 bulan mengikuti kegiatan konseling gizi secara rutin minimal sebulan sekali.

5. Anak usia 0-23 bulan dengan status gizi buruk, gizi kurang, dan stunting mendapat kunjungan ke rumah secara terpadu minimal 1 bulan sekali

6. Rumah tangga anak usia 0-23 bulan memiliki sarana akses air minum yang aman

7. Rumah tangga anak usia 0-23 bulan memiliki sarana jamban yang layak

8. Anak usia 0-23 bulan memiliki akte kelahiran

9. Anak usia 0-23 bulan memiliki jaminan layanan kesehatan

10. Orang tua/pengasuh yang memiliki anak usia 0-23 bulan mengikuti Kelas Pengasuhan minimal sebulan sekali

Dan untuk anak usia 2-6 tahun hanya layanan terkait keikutsertaan di PAUD (pendidikan anak usia dini).

Tugas KPM sebagaimana di atas cukuplah berat jika tidak didukung pihak lain. Karena disamping melakukan pemantauan penerimaan layanan oleh ibu hamil, anak usia 0-2 tahun, dan usia 2-6 tahun itu setiap bulan, pun juga harus mempertanggungjawabkan atas kerjanya. Salah satu pihak harus bersinergi aktif dengan KPM adalah RDS.

Memperkuat peran Rumah Desa Sehat (RDS)

RDS atau rumah desa sehat memiliki kegiatan utama sebagai berikut. Pertama, sebagai pusat pembelajaran masyarakat, dapat dilakukan dengan berembug mateng (diskusi matang) dan maton (fokus) soal kesehatan. Analogi sederhananya, untuk masyarakat yang hidup dipedesaan dengan mayoritas gezag-nya pertanian, maka hampir di setiap saat ngobrol ringan di teras, di komunitas pengajian, bahkan pertemuan sesaat itu ngobrolnya ya soal sawah, soal padi, soal pupuk, dan seluk beluk tentang tani. Demikian halnya, di masyarakat di wilayah pegunungan dengan pertanian kopi, hampir setiap obrolan non formal, informal temanya selalu soal kopi. Dalam kaitan dengan RDS, besar harapan, ada pertemuan kecil, santai berkelanjutan yang membahas tema-tema kesehatan, baik soal kesehatan ibu anak, gizi/ nutrisi, pengasuhan anak, air bersih, sanitasi, kebersihan lingkungan dan lain seterusnya tema-tema dapat menjadikan masyarakat lebih sehat dan produktif. Kegiatan RDS sebagai pusat pembelajaran masyarakat ini dapat diwujudkan dengan diskusi terarah (FGD) RDS setiap 3 bulan sekali, yang inti pembicaraan salah satunya adalah membahas dan membedah laporan KPM.

Kedua, literasi kesehatan, atau dapat dibilang kemelekan kesehatan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk memperoleh, membaca, memahami, dan menggunakan informasi kesehatan untuk membuat keputusan dalam perilaku sehatnya warga. Misal soal septic tank dan pencegahan penyakit berbasis lingkungan, atau pola hidup, pola makan dan risiko penyakit, dan lain-lain.

Ketiga, penyebaran informasi kesehatan, dapat dikerjakan melalui lisan, tulisan, maupun dengan bahan. Penyebaran informasi kesehatan dapat juga tergantung pada pendekatan yang dilakukan dan dan media yang digunakan. Namun yang utama adalah penyebaran informasi itu dilakukan sebanyak-banyak orang yang telah tercerahkan. Bahasa dan perilaku orang yang tercerahkan dan mau mempengaruhi orang lain itu menjadi corong moral yang sangat berharga.

Keempat, promosi kesehatan, merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran diri oleh dan untuk masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri. Kelima, advokasi kebijakan pembangunan desa di bidang kesehatan. semisal dalam hal terdapat keluarga yang tidak memiliki jamban karena kondisi ekonomi, maka RDS dapat mengusulkan kepada Pemerintah Desa dan memperjuangkan keluarga tidak mampu tersebut dapat memiliki jamban. Advokasi kebijakan ini diwujudkan dengan menyelenggarakan rembug stunting desa, yang merupakan musyawarah desa khusus stunting, dimana hasil rembug stunting menjadi input dalam musyawarah desa perencanaan pembangunan desa (RKP Desa tahun n+1).

Stunting dalam SDGs Desa

Kementeriaan Desa PDTT menghadirkan Sustainable Development Goals Desa (SDGs Desa) sebagai barometer capaian pembangunan Desa. Melalui Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa disebutkan, pencapaian tujuan SDGs Desa diukur dengan melakukan evaluasi laju SDGs Desa berdasarkan Sistem Informasi Desa (SID). Evaluasi laju pencapaian SDGs Desa tersebut dilakukan oleh kepala desa dengan melibatkan masyarakat desa, untuk kemudian menjadi dasar bagi tim penyusun Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) dalam menyusun RKP Desa setiap tahunnya.

Dari sistem informasi desa Kementerian Desa PDTT diketahui bahwa stunting termasuk dalam tujuan kedua SDGs Desa (Desa Tanpa Kelaparan). Dimana pada tujuan SDGs Desa yang kedua ini, memiliki 3 indikator, yaitu prevalensi kurang gizi, kurus, stunting, anemia turun menjadi 0%, prevalensi bayi mendapat ASI eksklusif mencapai 100%, dan adanya kawasan pertanian pangan berkelanjutan.

Skor SDGs Desa tingkat Kabupaten Kudus pada tahun 2023 ini 34,78. Sementara skor SDGs Desa masing-masing kecamatan sebagai berikut Dawe (36,25), Gebog (35,61), Jekulo (34,75), Bae (34,73), Mejobo (34,25), Undaan (34,17), Kaliwungu (33,62), Kota Kudus (33,53), Jati (33,33). Hal ini dapat ditafsirkan bahwa perolehan skor tujuan SDGs Desa ke dua ini kurang begitu meyakinkan, baik di tingkat kabupaten maupun tingkat desa. Sudah barang tentu, hal ini menjadi bahan evaluasi bersama dalam rangka memperbaiki penanganan stunting yang berdampak positif terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat, dan tentu perbaikan skor perolehan SDGs Desa.

Sementara itu data stunting Kabupaten Kudus menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus sebanyak 3.601 balita atau 5,85% dari balita yang ditimbang di posyandu 61.668 balita (Joglo Jateng, 2023). Angka stunting di Jawa Tengah sebesar 20,8 % pada tahun 2022 (Kompas.com, 2023). Sementara angka stunting secara nasional tahun 2022 sebagaimana disampaikan presiden sebesar 21,6% (Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan, 2023). Ini artinya angka stunting di Kabupaten Kudus terhitung jauh di bawah angka stunting di Jawa Tengah dan Nasional. Bahkan angka stunting Kabupaten Kudus sudah dibawah target, dimana tahun 2024, angka stunting secara nasional ditargetkan sebesar 14%. Namun, ditingkat desa, telah dipasang passing grade yang tinggi untuk stunting yaitu 0 stunting.

Anggaran stunting di Desa

Berdasarkan laporan KPM bahwa anggaran total untuk penanganan stunting di Desa dari Dana Desa tingkat Kabupaten Kudus tahun 2021 sebesar Rp 10.745.593.809, tahun 2022 sebesar 16.831.178.682. Dana yang tidak sedikit untuk menunjukkan satu komitmen dalam penanganan stunting.

Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Bappeda Kabupaten Kudus Nomor 360.2/387/27.03/2021 tentang desa/kelurahan prioritas percepatan penurunan stunting terintegrasi di Kabupaten Kudus Tahun 2021-2022 tanggal 24 Maret 2021, berikut 23 desa/kelurahan prioritas stunting tahun 2021 – 2022 dan telah diolah dengan jumlah anggaran pencegahan stunting masing-masing desa:

Dengan alokasi anggaran di atas, diketahui bahwa alokasi anggaran terbesarnya adalah insentif kader, pemberian makanan tambahan, ada juga pekerjaan fisik berupa rehab gedung PAUD/posyandu/dan fasilitas jamban.

Dalam rangka melakukan analisis situasi stunting, langkah berikutnya adalah memperdalam masalah adanya stunting dengan indikator ibu hamil, anak usia 0-2 tahun, dan anak usia lebih dari 2 tahun sampai dengan 6 tahun.

Berikut skor indikator ibu hamil untuk konvergensi pencegahan stunting di Kabupaten Kudus tahun 2021:

Berikut skor indikator anak usia 0-2 tahun untuk konvergensi pencegahan stunting di Kabupaten Kudus Tahun 2021:

Dan skor anak >2-6 tahun untuk konvergensi pencegahan stunting di Kabupaten Kudus tahun 2021 adalah 76.86 % untuk indikator PAUD.

Beberapa indikator yang masih harus diperhatikan adalah orang tua/ pengasuh mengikuti parenting bulanan, kunjungan rumah bagi anak gizi buruk/kurang/stunting, Ibu bersalin mendapat layanan pemeriksaan nifas 3 kali, Ibu Hamil (KEK/Resti) mendapat kunjungan rumah bulanan. Dan perlunya mengarahkan anggaran, serta mengerahkan sumber daya juga untuk memperkuat layanan yang kurang.

Terkhusus untuk kunjungan rumah, itu hanya berlaku bagi anak dengan status gizi buruk/kurang/stunting dan bagi ibu hamil dengan status kehamilan KEK/RESTI. Apakah rendahnya kunjungan ini disebutkan data KPM tidak lengkap, ataukah yang dikunjungi adalah semua sasaran anak 0-2 tahun dan ibu hamil, sehingga yang menjadi sasaran utama kunjungan rumah sering terlewatkan, ataukah memang data benar apa adanya ini perlu kajian mendalam kembali, termasuk dalam hal ini layanan pemeriksaan nifas? Sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan yang sekiranya dapat menjadi kebijakan penurunan stunting di Kabupaten Kudus.

*Moh Ali Khomsin, Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat P3MD Kabupaten Kudus

Baca Lainnya