Desa

Kisah Perajin Gerabah Dari Desa Kesilir

Warga Desa Kesilir, Kabupaten Jember, hidupnya tak jauh dari tanah liat. Menjadi perajin sekaligus sentra gerabah tradisional yang kian diminati masyarakat.

Andi Saputra
Kisah Perajin Gerabah Dari Desa Kesilir
Perajin gerabah di Desa Kesilir Kabupaten Jember masih bergeliat dan memasok kebutuhan gerabah untuk berbagai tujuan. Andi Saputra / Kanal Desa

Gerabah menjadi kerajinan turun temurun yang diwariskan bagi banyak warga di Desa Kesilir. Setidaknya, ada sekitar 40 Kepala Keluarga (KK) di desa ini yang menjadi perajin sejak tahun 1960’an. Saat ini para perajin merupakan generasi ketiga yang masih bertahan dan menjadikan kerajinan gerabah sebagai salah satu sumber mata pencaharian warga desa.

Membuat gerabah atau alat-alat dapur berbahan dasar tanah liat, sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Para ibu rumah tangga di Desa Kesilir rata-rata memiliki keterampilan membuat gerabah dengan beragam bentuk. Mulai dari pot bunga, gentong, cobek, tempat dupa, kowi (tempat pelabur emas), dan kendil (wadah ari-ari bayi).

Tak jarang ada pelanggan yang memesan dengan bentuk tertentu dengan motif khusus juga disanggupi oleh perajin gerabah Desa Kesilir. Keterampilan yang didapat dari orang tua masing-masing itu sengaja dipertahankan karena dua dorongan utama.

Membuat gerabah tanah liat menjadi keterampilan bagi warga Desa Kesilir, Kabupaten Jember secara turun temurun.
Membuat gerabah tanah liat menjadi keterampilan bagi warga Desa Kesilir, Kabupaten Jember secara turun temurun. Andi Saputra / Andi Saputra

Pertama, karena bahan baku berupa tanah liat di Desa Kesilir terhitung melimpah dan mudah didapat. Kedua, permintaan akan gerabah dari pasar terhitung stabil hingga sekarang. Karena itu, selain hasil pertanian kerajinan gerabah menjadi sumber pendapatan yang dinilai menjanjikan oleh warga setempat.

Andreas Candra Triwandono, 27 tahun, salah seorang anak dari perajin gerabah Desa Kesilir menceritakan, permintaan akan produk gerabah dari pasaran untuk saat ini dinilai olehnya masih sangat baik. Selain untuk memasok sejumlah pasar tradisional yang ada di sekitaran Jember. Seperti pasar Wuluhan, Ambulu, Kencong, Tanjung, dan Mangli.

Produk-produk Gerabah Desa Kesilir juga diminati oleh pedagang di pasar daerah lain, mulai dari Lumajang hingga Surabaya. Bahkan untuk produk tertentu seperti kowi atau wadah pelebur emas permintaannya datang dari luar pulau. Seperti Palembang, Sulawesi, dan Kalimantan.

“Di luar pasar dan permintaan khusus, ada juga yang ngambil barang. Mereka perorangan atau istilahnya resseler, untuk mereka jual lagi,” kata Candra.

Menurutnya, produk gerabah masih diminati oleh pasar lantaran memiliki harga yang murah dan masuk kategori produk ramah lingkungan. Karena itulah juga selain dibeli oleh ibu rumah tangga, gerabah juga menjadi trend untuk mengisi koleksi hiasan kafe atau rumah makan yang berada di perkotaan.

Candara menyebut, gerabah Desa Kesilir termasuk gerabah dengan harga murah jika dibandingkan dengan gerabah dari perajin daerah lainnya. Bagaimana tidak, harga gerabah dari desanya hanya dipatok harga 3 ribu rupiah hingga 50 ribu rupiah setiap produknya. “Kalau rentan harganya segitu, pokok tergantung ukuran,” katanya.

Saat ini, kata Candra, ia mulai membantu usaha orang tuanya dengan ikut memasarkan produk gerabah melalui platform online. Ia mengaku, strategi penjualan lewat online karena gerabah produk dari Jember banyak diminati kelas menengah atas. Baik untuk keperluan fungsional maupun estetika pajangan rumah maupun rumah makan.

Warga Desa Kesilir Kabupaten Jember kebanyakan bekerja sebagai petani. Keterampilan membuat gerabah mereka dapatkan secara turun temurun.
Warga Desa Kesilir Kabupaten Jember kebanyakan bekerja sebagai petani. Keterampilan membuat gerabah mereka dapatkan secara turun temurun. Lokadata / Lokadata

Pemasaran online yang dilakukannya cukup sederhana. Pertama dengan membuatkan akun media sosial gerabah milik orang tuanya yang bernama “Gerabah Bulanjar”. Hasilnya memang belum signifikan tetapi mulai ada pelanggan yang datang karena melihat media sosial produk -produk gerabah Desa Kesilir.

Seluruh pengerjaan gerabah disesuaikan dengan permintaan dan jenis yang akan diproduksi. Seluruh proses bisa selesai satu minggu atau tergantung dari jumlah banyaknya pesanan. Rata-rata pengerjaan gerabah dilakukan secara gotong royong oleh sesama perajin.

Menurutnya, dari macam-macam produk gerabah Desa Kesilir, produk jenis cobek masih menjadi primadona. Di mana cobek adalah jenis produk yang memiliki permintaan paling stabil karena setiap harinya pasti laku. Dari pengamatanya, permintaan akan cobek paling tinggi dan konsiten dari tahun ke tahun, jika dibandingkan dengan produk gerabah jenis lainya.

Sehingga sekitar 50 perajin di Desa Kesilir selalu ready stock cobek. Sementara itu, pot bunga adalah jenis produk gerabah primadona nomor dua karena pot bunga adalah produk gerabah yang permintaanya bisa tiba-tiba melonjak. Hal itu, bisa terjadi lantaran penggunaan pot bunga sangat dipengaruhi oleh para pecinta bunga yang naik turunnya tidak bisa diprediksi.

“Untuk pot anggrek pesanan nomor dua,” katanya.

Perajin lanjut usia masih produktif membuat aneka bentuk gerabah sebagai penambah penghasilan ekonomi keluarga.
Perajin lanjut usia masih produktif membuat aneka bentuk gerabah sebagai penambah penghasilan ekonomi keluarga. Andi Saputra / Andi Saputra

Perajin gerabah lainya bernama Masiem, 70 tahun, saat ditemui terlihat tengah sibuk meletakan kowi hasil buatanya di halaman rumah. Kowi berukuran sedang itu akan dijemur selama 2 sampai 3 hari ke depan sebelum nantinya akan dikirim ke Sulawesi dan Kalimantan.

Ia mengaku, menjadi perajin gerabah telah digeluti Masiem sejak kanak-kanak. Dulu, orang tua dan kakeknya, menurut cerita Masiem, selama puluhan tahun juga dikenal sebagai perajin gerabah. Ibaratnya, menjadi perajin gerabah sudah seperti garis hidup bagi Masiem.

Oleh karena itu, ia juga mengajarkan keterampilan membuat gerabah kepada anaknya, Lilis, 50 tahun. Selain membuat gerabah, Lilis lah yang saat ini, bertugas memasarkan produk-produk gerabah buatanya. Masiem mengaku tidak tahu menahu soal harga gerabah dan bagaimana cara menjualnya. Ia setiap harinya hanya fokus untuk membuat gerabah dengan jenis yang ia bisa buat.

Meski membuat gerabah adalah usaha turun menurun, Masiem tidak yakin keterampilanya membuat gerabah akan diminati oleh cucu-cucunya. Ia melihat anak muda hari ini tidak tertarik jika harus berjibaku dengan tanah liat dan kotor-kotoran hanya untuk uang Rp 30 ribu sampai 50 ribu per hari. Baginya, ilmu membuat gerabah yang ia dapatkan dari orang tuanya dulu tidak harus ia teruskan kepada cucu-cucunya.

Namun, ia berharap agar keterampilan membuat gerabah dari desa ini tetap lestari. Sekalipun tidak menjadikan mata pencaharian utama bagi generasi ke depan. Desa Kesilir akan dikenang sebagai desa para perajin gerabah di desa ini.

Meski memiliki nama besar sebagai desa penghasil gerabah. Hingga saat ini belum ada pendampingan khusus dari pemerintah setempat agar gerabah Desa Kesilir lebih maju dan berkembang.

Berdasarkan penuturan perajin bantuan yang pernah diberikan pemerintah hanya di tahun 2012 berupa penggilingan tanah liat, kemudian pada pertengahan tahun 2023 lalu kelompok pengabdian masyarakat dari Universitas Negeri Jember datang untuk mengajak para perajin membuat koperasi dan mulai mengembangkan produk dengan membuat jenis gerabah dengan model dan motif kekinian.

Hanya saja, kegiatan pengembangan semacam itu, menurut para perajin masih kurang baik dari segi durasi waktu maupun tenaga yang diterjunkan. Para perajin berharap agar pendampingan dari kampus, pemerintah, maupun swasta bisa lebih lama baik sehingga mutu dan kualitas gerabah dari desa ini semakin membaik.

Gerabah memang menjadi salah satu produk dari desa kebanyakan di Indonesia. Keberadaan desa perajin gerabah ini naik turun tergantung pada musim, ketersediaan generasi, hingga geliat dalam membaca trend dan kebutuhan pasar. Padahal, gerabah di Indonesia memiliki keunikan karena bahan baku, proses, hingga motif yang unik.

Beberapa sentra perajin gerabah di Indonesia, misalnya Parjono Keramik Jaya di Bantul, Jatiwangi di Majalengka, maupun Plered di Purwakarta, bahkan produk mereka berhasil menembus pasar ekspor. Beberapa negara tujuan besar adalah Denmark Yunani, Inggris, Australia, Jepang, Korea Selatan hingga Amerika Serikat.

Kolaborasi antara perajin gerabah, desainer, hingga pelaku usaha memang sangat penting dalam mendongkrak usaha seperti pembuatan gerabah tanah liat tradisional. Inovasi produk hingga pendekatan budaya bisa menjadi sarana pengembangan pariwisata hingga sejarah di sentra perajin gerabah. Seperti, gerabah Kasongan di Bantul yang kental dengan sejarah Pangeran Diponegoro.

Narasi sejarah seperti ini bisa menambah nilai ekonomi sekaligus pengembangan kreatifitas bagi sentra-sentra perajin gerabah tradisional di Indonesia.

Baca Lainnya