Desa

Ragam kisah dalam motif batik Kudus

Secara umum batik Kudus tergolong sebagai batik pesisiran dengan ciri khas kaya warna dan mencolok. Bukti adanya persilangan budaya antarbangsa.

Noor Syafaatul Udhma Afthonul Afif
Ragam kisah dalam motif batik Kudus
Batik Kudus karya M Fadloli dipamerkan di ruang utama galeri Omah Batik-ku Batik Kudus (21/12/2020), yang berlokadi di RT 04, RW 01, Langgardalem, No 59, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus. Ada motif bunga hingga bulan bintang. M Fadloli / Lokadata

Sejak kecil, Fadloli sudah akrab dengan batik. Keluarganya memiliki perusahaan batik yang dikelola turun temurun.

Perusahaan itu didirikan pada 1819 oleh H.R. Abdul Wahab, kakek canggah Fadloli, di Langgar Dalem, sekarang ikut Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus. Di tangan Nganten Kusmirah, nenek buyut Fadloli, perusahaan berkembang pesat hingga memiliki banyak karyawan.

Perusahaan keluarga inilah yang kelak dilanjutkan oleh Mustofa Kamal dan Fatchiyah, ayah dan ibu Fadloli. Namun, pada 1965 perusahaan ini tumbang. Butuh waktu tiga dekade untuk kembali bangkit.

Pada 1994 hati Fadloli tergerak untuk belajar membatik. Dia terdorong untuk kembali melestarikan batik Kudus. Pembelajaran batik dimulai dengan menggambar, nyanting, pewarnaan, hingga nglorod (memisahkan malam dari kain).

Pelajaran yang paling sulit, kata Fadloli, adalah pewarnaan. “Kebetulan ayah saya rajin mencatat perpaduan warna pada batik. Catatan itulah yang hingga saat ini saya jadikan acuan pewarnaan,” ujarnya, Selasa (23/3/2021) di Omah Batik-ku Batik Kudus.

Setelah mahir, Fadloli, 47 tahun, mulai mereproduksi batik Kudus lawasan. Ada yang dijual, ada pula yang disimpan sebagai koleksi.

Pada 2018, bersama seorang temannya, Lukman El Hakim, 46 tahun, dia mendirikan Omah Batik-ku Batik Kudus, butik sekaligus tempat produksi batik Kudus yang berlokasi di Langgar Dalem. “Kami berkolaborasi. Mas Fadloli yang memproduksi. Sedangkan saya menyediakan tempat sekaligus memasarkan,” kata Luqman.

Rumah kuno milik keluarga Lukman El Hakim ini dijadikan galery Omah Batik-ku Batik Kudus (21/12/2020). Selain untuk memamerkan batik Kudus, galeri ini juga digunakan untuk membuat dan pelatihan membuat batik Kudus
Rumah kuno milik keluarga Lukman El Hakim ini dijadikan galery Omah Batik-ku Batik Kudus (21/12/2020). Selain untuk memamerkan batik Kudus, galeri ini juga digunakan untuk membuat dan pelatihan membuat batik Kudus M Fadloli / Lokadata

Selain memproduksi batik, Omah Batik-ku Batik Kudus juga membuat pelatihan membatik untuk anak-anak dan remaja. Selain untuk mengenalkan batik Kudus sekaligus mencari generasi pembatik baru.

Dalam sebulan, Omah Batik-ku Batik Kudus bisa menghasilkan lima potong batik tulis yang dikerjakan oleh empat karyawan. Sebelum pandemi, dalam sebulan, Omah Batik-ku Batik Kudus bisa menjual tiga sampai lima potong batik tulis. Penjualan merosot tajam begitu pandemi melanda. “Sejak pandemi hanya empat potong yang terjual dalam setahun,” terangnya.

Untuk setiap potongnya, harga yang dibandrol antara Rp800 ribu hingga Rp3,5 juta rupiah, tergantung ukuran dan tingkat kerumitannya. Pembelinya rata-rata adalah para pecinta batik dan pejabat.

Selain di Langgar Dalem, di Desa Gribig, Kecamatan Gebog, juga terdapat produsen batik bernama Alfa Shoofa. Rumah produksi sekaligus galeri batik yang didirikan Ummu Asiyati, 58 tahun, pada tahun 2008.

Awalnya Ummu hanya mereproduksi batik lawasan, seperti motif kapal kandas, bulan sabit, hingga romo kembang. Namun belakangan mulai berinovasi dengan membuat motif parijoto, kopi muria, lentog, gerbang Kudus Kota Kretek, jenang, lung-lungan parijoto, wayang klitik, menara Kudus, hingga sekar jagad.

Selain batik tulis, Ummu juga memproduksi batik cap. Di musim pandemi, penjualan batik tulis mengalami penurunan dan batik cap yang sekarang menyelamatkan usahanya.

Dengan dibantu 11 orang karyawan, Ummu mampu memproduksi 30 potong batik tulis dan tiga kali lipatnya untuk batik cap. Harga batik tulisnya bervariasi, mulai 500 ribu hingga 15 juta rupiah. Sementara batik cap harganya mulai dari Rp100 ribu.

Batik Kudus karya M.Fadloli dipajang di salah satu ruangan di galeri Omah Batik-ku Batik Kudus (19/4/2019).
Batik Kudus karya M.Fadloli dipajang di salah satu ruangan di galeri Omah Batik-ku Batik Kudus (19/4/2019). Lukman El Hakim / Lokadata

Usahanya untuk melestarikan batik Kudus rupanya dilirik Djarum Foundation. Pada 2016, perempuan berusia 58 tahun ini menjadi salah satu pengrajin batik binaan Djarum Foundation melalui program Djarum Bakti Budaya. Selain memantau produksi, Djarum Foundation juga membantu memasarkan batik Kudus melalui pameran, menawarkan kepada pejabat dan sejumlah artis ternama Indonesia.

Batik tulis buatan Ummu juga dilirik oleh para perancang busana ternama, seperti Malik Moestaram, Nita Seno Adji, Denny Wirawan, dan Ria Miranda. “Terakhir digunakan Nita Seno Adji yang bekerja sama dengan Bank Indonesia pada 2020 lalu,” kata Ummu Asiyati pada Jumat (16/4/2021) di galeri Alfa Shoofa.

Selain Ummu, di Kecamatan Gebog juga ada pengrajin sekaligus pelestari batik Kudus. Namanya Yuli Astuti, 45 tahun, pemilik merek dagang Muria Batik. Dialah yang mempopulerkan batik Kudus setelah sekian lama mati suri.

Saat ditemui di galeri Muria Batik pada Jumat (26/3/2021), Yuli mengatakan perjalanan melestarikan batik Kudus cukup panjang. Mula-mula dia harus bolak-balik Solo dan Pekalongan untuk belajar membatik. Untuk mendapatkan kisah dan sejarah di balik motif batik Kudus, dia juga aktif melakukan penelitian mandiri sejak 2005.

Motif batik yang dibuatnya bermacam-macam. Ada kapal terbalik, kaligrafi, merah katleya, ukir gebyok, cerita kretek, parijoto, pakis haji, hingga air tiga rasa. Sama seperti Ummu Asiyati, Yuli juga dirangkul oleh Djarum Foundation untuk mengembangkan dan mempopulerkan batik Kudus.

Dengan dibantu 20 orang karyawan, Yuli mengaku mampu memproduksi antara 500 hingga 1.000 potong per bulan. Untuk batik tulis maksimal 100 potong, sisanya batik cap.

Sebelum pandemi, Muria Batik rata-rata menjual 500 potong dalam sebulan, sementara di musim pandemi maksimal 200 potong. Sebagian besarnya adalah batik cap. Harganya bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Ummu Asiyati, pemilik galeri Alfa Shoofa memamerkan batik kudus motif sekar jagad yang berisi motif rumah adat kudus, menara kudus, penjual lentog, gunung muria, hingga parijoto, (16/4/2021).
Ummu Asiyati, pemilik galeri Alfa Shoofa memamerkan batik kudus motif sekar jagad yang berisi motif rumah adat kudus, menara kudus, penjual lentog, gunung muria, hingga parijoto, (16/4/2021). Noor Syafaatul Udhma / Lokadata

Pembelinya datang dari dalam dan luar negeri. Untuk dalam negeri, pelanggannya nyaris menjangkau seluruh wilayah di Indonesia, dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, hingga Nusa Tenggara Timur. Untuk luar negeri, pembelinya berasal dari Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Jerman.

Selain ketiga pengrajin tersebut, di Desa Gondangmanis, Kecamatan Bae, muncul pembatik generasi baru bernama Theresia Leony, 39 tahun. Perempuan asli Pekalongan yang kini menetap di Kudus ini sejak kecil sudah akrab dengan batik, mengingat keluarganya memiliki perusahaan batik.

“Batik sudah mendarah daging dalam diri saya. Sudah seperti meditasi dan ibadah,” kata There saat ditemui di galerinya bernama Tere Batik di Desa Gondangmanis, Kecamatan Bae, Kudus.

Selain mereproduksi batik Kudus klasik 1930-an dengan motif kapal kandas, dia juga meluncurkan inovasi baru berbasis cerita rakyat di Gondangmanis. Dulu, di desanya ada pohon gondang yang berbuah manis. Padahal, buah gondang umumnya rasanya pahit. Itulah mengapa desanya bernama Gondangmanis. “Dari situlah saya tertarik membuat batik motif Gondangmanis,” ujarnya.

Umumnya para pembatik lainnya di Kudus, Tere Batik juga memproduksi berbagai motif seperti parijoto, pakis haji, Kudus religi (berisi orang mengaji), macan muria, pintu gerbang Kudus Kota Kretek, dan sekar jagad yang di dalamnya terdapat sosok pebulu tangkis.

Dalam sebulan, Tere mengaku bisa memproduksi 50 batik tulis, sementara untuk batik cap bisa lima kali lipatnya. Namun, di musim pandemi seperti sekarang jumlah produksinya menurun. Kini dia hanya mampu memproduksi maksimal 20 batik tulis.

Harga yang dipatok bervariasi, tergantung tingkat kerumitan motifnya. Batik tulis dibandrol antara 800 ribu rupiah hingga 15 juta rupiah. Sedangkan untuk batik cap antara 80 ribu rupiah hingga 5 juta rupiah.

Di musim pandemi, dia mengaku mampu menjual batik tulis antara 5-10 potong, sementara untuk batik cap jumlahnya masih ratusan. Pembelinya datang dari berbagai kalangan, dari orang biasa, pengusaha, hingga pejabat. Selain dari kota-kota di tanah air, pembelinya dari luar negeri juga mulai berdatangan, terutama dari Malaysia.

Teresia Leony, pembatik sekaligus pemilik Tere Batik memamerkan batik kudus motif gondang (hijau) dan batik kudus motif peta Kabupaten Kudus (biru). Teresia Leony merupakan pembatik asal Pekalongan yang saat ini sudah berdomisili di Kabupaten Kudus. Foto diambil pada 22/3/2021.
Teresia Leony, pembatik sekaligus pemilik Tere Batik memamerkan batik kudus motif gondang (hijau) dan batik kudus motif peta Kabupaten Kudus (biru). Teresia Leony merupakan pembatik asal Pekalongan yang saat ini sudah berdomisili di Kabupaten Kudus. Foto diambil pada 22/3/2021. Noor Syafaatul Udhma / Lokadata

Sempat mati suri

Menurut cerita tutur, batik Kudus sudah dibuat sejak era Sunan Kudus, sekitar abad ke-16 Masehi. Batik Kudus berawal dari suatu kampung di Kudus Kulon bernama Langgar Dalem. Pada masa itu, Langgar Dalem merupakan tempat bermukim keturunan dan para pengikut Sunan Kudus.

Batik yang dihasilkan pengrajin dari daerah ini memiliki ciri tata warna yang disebut babaran Langgar Dalem dan Babaran Kerjasan dengan warna dasar soga (cokelat).

Setelah Babaran Langgar Dalem terkenal, kampung pembatik lainnya bermunculan. Di desa tetangga, Janggalan, berkembang motif batik Babaran Kedung Paso dengan ciri khas kombinasi warna ungu, hijau, biru, dan cokelat. Motif ini juga dikenal sebagai busono kelir.

Dalam buku Batik Kudus The Haritage, yang ditulis Miranti Serad Ginanjar menyebutkan tradisi pembuatan batik di Kudus berlanjut di era VOC sekitar abad ke-17. Saat itu warna dasar yang populer adalah indigo, merah mengkudu, dan hijau dengan motif lereng hingga lung-lungan (motif sulur).

Belanda memberi pengaruh motif flora terhadap batik Kudus. Yang terkenal adalah motif bunga krisan, tulip, lili, dan terang bulan. Pembatik Belanda yang kondang masa itu adalah Carolina Josephina von Franquemont, Catherina Carolina van Oosterom, Eliza van Zuylen, B. Fisher, Lien Metzelaar, dan Willer.

Perkembangan batik Kudus berlanjut pada 1920-an yang dipengaruhi oleh kaum Tionghoa peranakan. Pengaruh budaya Tionghoa pada batik Kudus ditunjukkan lewat motif flora dan fauna yang unik, seperti naga, burung merah, dan burung hong. Warna-warnanya cerah dan mencolok.

Pembatik peranakan Tionghoa yang terkenal kala itu adalah Lie Boen In yang mempopulerkan motif Chrysant Bloemen. Selain itu ada juga Kwee Siauw Tjay dengan motif Merak Katleya, dan motif buketan dari Oei Tjoe Soen dan Ok Hwa.

Batik Kudus koleksi Hartono Sumarsono (14/4/2021) dengan motif bunga seruni atau krisan pagi sore. Latar pada sebelah kiri berupa dlorong beras tumpah dan ukel buah buni atau wuni. Sedangkan untuk latar sebelah kanan berupa buah buni atau wuni. Filosofi seruni atau krisan yakni pengharapan kesehatan, keselamatan, sejahtera, dan panjang umur. Sedangkan filosofi isen buni lambang pengharapan doa dan harapan terkabul. Untuk beras wutah melambangkan kemakmuran.
Batik Kudus koleksi Hartono Sumarsono (14/4/2021) dengan motif bunga seruni atau krisan pagi sore. Latar pada sebelah kiri berupa dlorong beras tumpah dan ukel buah buni atau wuni. Sedangkan untuk latar sebelah kanan berupa buah buni atau wuni. Filosofi seruni atau krisan yakni pengharapan kesehatan, keselamatan, sejahtera, dan panjang umur. Sedangkan filosofi isen buni lambang pengharapan doa dan harapan terkabul. Untuk beras wutah melambangkan kemakmuran. Hartono Sumarsono / Lokadata

Pada 1939-1945, usaha batik mengalami kesulitan bahan baku. Pasokan kain katun dari Belanda macet. Pembuatan batik Kudus pun vakum beberapa tahun. Pada 1948 produksi batik berjalan kembali ditandai dengan dibentuknya Koperasi Batik Indonesia (Kobain) yang dipelopori oleh H. Djama’ah Mashadi.

Untuk membantu membangkitkan lagi batik Kudus, perusahan rokok kretek menggunakan batik untuk mempromosikan produknya. Akhirnya memunculkan motif alat pembuat rokok, logo perusahaan, dan belakangan ada motif cengkeh.

Pada 1960-an produksi batik Kudus kembali merosot sebagai dampak dari pergolakan politik nasional. Membanjirnya batik cap di pasaran juga makin menekan produksi batik Kudus.

Batik Kudus pun mati suri hingga puluhan tahun. Baru kemudian bangkit lagi sejak 2005 setelah lahir generasi pembatik baru seperti M. Fadloli, Ummu Asiyati, dan Yuli Astuti.

Ciri khas batik Kudus

Secara umum batik Kudus tergolong sebagai batik pesisiran dengan ciri khas kaya warna dan mencolok. Bukti adanya persilangan budaya antarbangsa.

Kolektor batik Indonesia Hartono Sumarso mengatakan bahwa batik Kudus terkenal dengan motif sigar godong atau daun dua warna (biasanya cokelat dan hijau), beras wutah, hingga kembang randu.

“Batik Kudus juga terkenal halus dengan isen-isen (ragam hias yang mengisi latar pola/motif batik) yang rumit. Misalnya saja sigar godong. Dalam satu daun, pembatik memutuskan untuk memberi dua warna, hijau dan cokelat atau merah dan cokelat,” katanya.

Secara warna, batik Kudus tersusun dari kombinasi antara cokelat soga, indigo, hitam, kemudian ada merah, biru, dan hijau, karena pengaruh budaya Tionghoa.

Batik kudus buatan Lie Boen In era 1930-an ini menjadi salah satu koleksi batik Kudus peranakan milik kolektor batik  Hartono Sumarsono (14/4/2021).  Salah satu ciri batik kudus yakni bunganya besar dengan latar yang rapat.
Batik kudus buatan Lie Boen In era 1930-an ini menjadi salah satu koleksi batik Kudus peranakan milik kolektor batik Hartono Sumarsono (14/4/2021). Salah satu ciri batik kudus yakni bunganya besar dengan latar yang rapat. Hartono Sumarsono / Lokadata

Ciri khasnya lagi, kata Hartono, terlihat dengan adanya buketan, kepala dlorong atau miring, dan motif bunga putih besar dengan latar yang padat. “Jadi bunganya terlihat besar-besar di samping latar yang padat,” terang lelaki yang mulai mengoleksi batik sejak 1983 ini.

Hal yang sering disalahartikan, lanjut Hartono, batik Kudus tidak memiliki stempel di bagian pinggir. “Yang ada stempelnya itu batik Pekalongan. Bukan Kudus,” terangnya. Ciri lainnya yaitu motif pagi sore, satu kain dengan dua warna berbeda. Batik pesisiran juga memiliki motif ini dan yang mencolok dari batik Kudus adalah kedetilan dan kehalusan motifnya.

Menariknya, batik Kudus juga banyak ditemukan di Palembang, dan kota-kota lain di Sumatra. Hartono sendiri mengoleksi batik Kudus berusia 80 dan 100 tahun yang dia temukan di Palembang dan Minang.

Menurut Hartono, persebaran batik Kudus ke kawasan Sumatra terjadi karena aktivitas perdagangan dan dakwah yang dilakukan oleh Panembahan Palembang, putra Sunan Kudus. Bangsawan Minang dan Palembang kala itu sangat menyukai batik-batik Kudus.

Tentang hal ini, Fadloli menambahkan, “Saat itu batik hanya berkembang di Jawa. Tidak heran kalau banyak ditemukan batik Kudus di Sumatra, terutama di Palembang.”

Promosi dan pelestarian

Dengan kekhasan motifnya, juga proses silang budaya ratusan tahun yang ada di baliknya, tidak heran jika batik Kudus kini ditetapkan sebagai produk unggulan daerah. Bupati Kudus Hartopo terus melakukan upaya-upaya untuk mengangkat batik Kudus menjadi produk unggulan daerah melalui berbagai pameran.

Batik kudus dengan motif golden rain yang didapatkan kolektor Batik Hartono Sumarsono di Belanda. Batik ini berusia antara 70 tahun hingga 80 tahun-an. Foto diambil pada 14/4/2021.
Batik kudus dengan motif golden rain yang didapatkan kolektor Batik Hartono Sumarsono di Belanda. Batik ini berusia antara 70 tahun hingga 80 tahun-an. Foto diambil pada 14/4/2021. Hartono Sumarsono / Lokadata

Sejak 2015, Pemerintah Kabupaten Kudus juga membuat pelatihan membatik dengan tujuan mendapatkan generasi pembatik baru untuk melestarikan batik Kudus. Pelatihan sempat berhenti karena pandemi. Namun awal tahun 2021 pelatihan kembali dilakukan dengan memperhatikan standar kesehatan.

“Bulan ini kami akan kembali mengadakan pelatihan membatik. Tujuannya untuk menghasilkan generasi pembatik baru.” ujarnya lewat sambungan telepon pada 5 April 2021.

Pihaknya juga mewajibkan para ASN di lingkungan pemerintahan daerah untuk memakai batik Kudus pada tanggal 23 setiap bulannya. “Ini adalah langkah konkret untuk mendukung dan melestarikan batik Kudus. Kalau mau dikenal luas, harus dimulai dari diri sendiri,” ujar Hartopo.

Baca Lainnya

Kerancang Laba-laba dalam bordir Kudus
Desa

Kerancang Laba-laba dalam bordir Kudus

Kerancang jadi pembeda bordir Kudus dengan bordir lain. Kerancang adalah lubang-lubang yang terbentuk dari jalinan benang bordir dan bentuknya beragam mulai dari watu pecah, laba-laba, hingga kotak.

Noor Syafaatul Udhma

Geliat dan peluang lain setelah sukses industri di Kudus
Desa

Geliat dan peluang lain setelah sukses industri di Kudus

Hampir 80 persen ekonomi Kabupaten Kudus ditopang industri pengolahan. Sektor lain bisa memanfaatkan hal itu dengan jeli melihat peluang dan pasar serta kerjasama antar industri besar, sedang, hingga skala mikro kecil menengah.

Afthonul Afif