Kiat ''putus air'' Bhuana Utama
Masuk dalam posisi tiga besar BUMDes terbaik di Buleleng, Bhuana Utama terus melakukan ekspansi usaha. Bermula mengelola air bersih dan dibantu teknologi digital.
Desa Panji di Kecamatan Sukasada hanya terletak delapan kilometer dari Kota Singaraja, Bali, tapi bukan karena lokasi itu yang membuatnya makmur. Desa Panji berkembang cepat berkat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Bhuana Utama. Badan usaha itu bahkan masuk dalam posisi tiga besar BUMDes terbaik di Buleleng, versi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Buleleng.
Dibangun sejak 2010 silam, badan usaha ini baru resmi terbentuk pada 16 Desember 2016 lewat Peraturan Desa (Perdes) Panji Nomor 9 Tahun 2016. Direktur BUMDes Bhuana Utama Panji, Edy Susena, 35 tahun, menuturkan, cikal bakal Bhuana Utama itu bertepatan saat dia ditunjuk mengikuti pelatihan pengelolaan BUMDes di Malang pada 2010. Sekembalinya dari pelatihan, ia diangkat sebagai Ketua BUMDes.
Salah satu tugas Edy saat itu adalah mengelola air bersih. Sayangnya ketika itu Edy tak leluasa bekerja. Desa tak kunjung menerbitkan Perdes sebagai dasar pembentukan BUMDes. Pengelolaan air bersih yang semestinya diserahkan pada BUMDes, masih dikuasai Badan Pengelola Air Bersih (BPAB) Desa Panji.
“Seharusnya air bersih dikelola BUMDes, malah tidak diserahkan. Waktu itu tetap dikelola Badan Pengelola Air Bersih (BPAB) Desa Panji. Dukungan dari Pemerintah Desa saat itu juga tidak jelas. Akhirnya BUMDes ya vakum,” ujar Edy Susena, pertengahan Agustus lalu.
Saat disahkan pada 2016, Desa Panji merekrut ulang tenaga BUMDes. Desa membuka lowongan sebagai pengurus BUMDes lewat sistem lelang jabatan. Berbekal pengalaman pelatihan pengelolaan BUMDes pada 2010, Edy melamar posisi direktur. “Saya kembali ikut dalam seleksi. Ya karena memang sudah niat untuk mengabdi di desa, pokoknya harus di desa, mengabdi untuk desa. Selama ini stigmanya di desa kebanyakan hanya sisa-sisa, orang yang pintar pasti sudah bekerja di luar desa,” ujarnya.
Dalam lelang jabatan itu, Edy berhasil meraih nilai tertinggi. Dia dilantik pada Februari 2017. Begitu dia sah dilantik, ternyata kisah lama terulang kembali. Pengelolaan air bersih yang mestinya diserahkan pada BUMDes, tak kunjung diserahkan oleh BPAB. Selama lima bulan Edy bahkan tak pernah menerima gaji sebagai direktur BUMdes. Tapi ia tak putus asa. Edy bahkan merancang standar pengelolaan dan standar pelayanan di BUMDes.
Desa baru mengalokasikan dana penyertaan modal pada APBDes Perubahan 2017. Saat itu penyertaan modal yang diberikan desa mencapai Rp 50 juta yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan inventaris kantor. Badan Pengelola Air Bersih (BPAB) Desa Panji juga baru menyerahkan seluruh pengelolaan, aset, dan kas ke BUMDes pada 26 Juli 2017.
Tapi limpahan aset itu membuat Edy kaget. Ada 3.200 pelanggan air, tapi ternyata sebanyak 2.800 pelanggan atau sekitar 87 persen dalam posisi menunggak. Kalau toh ada yang membayar, itu pun tidak lancar. Pelanggan membayar air sesuka hati. Selama itu memang tak ada sanksi bagi yang malas membayar, tidak ada juga pemutusan sambungan.
Pelan-pelan Edy membenahi problem itu. Dia membereskan jaringan pipa air induk. Pada 2017 Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Buleleng memperbaiki jalan dari Monumen Bhuana Kerta menuju Dusun Mekar Sari. Di sepanjang jalan itu terdapat banyak jaringan tua warisan BPAB Panji. Dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK) dari Pemprov Bali digunakan untuk meremajakan jaringan pipa induk.
“Saat Dinas PU melakukan perbaikan jalan, sekalian kami tuntaskan masalah jaringan air. Di pinggir jalan itu banyak jaringan kami. Rampungnya jaringan ini, cukup melegakan,” ujarnya.
Masalah belum tuntas. Sumber air bersih ternyata kurang banyak dan perlu ditambah. Tadinya BUMDes hanya mengandalkan sumber mata air Muara dan Tirta Kuning di hulu Desa Panji. Keduanya memberikan debit sekitar 25 liter per detik. Kini ditambah dengan sumber mata air yang berhulu di Desa Wanagiri. Ketiga sumber mata air itu kini menghasilkan debit 40 liter per detik.
Pekerjaan selanjutnya adalah memulihkan kepercayaan masyarakat. Awalnya, kata Edy, kepercayaan masyarakat terhadap BUMDes sangat rendah. Sistem manajerial dirombak. Pegawai yang tadinya masuk sesuka hati, wajib masuk kantor sesuai jam kerja. Kantor juga dibenahi sehingga lebih nyaman bagi pelanggan dan pegawai.
Langkah paling radikal adalah memperketat aturan pembayaran. Denda pembayaran air dinaikkan hingga 10 kali lipat. Tadinya denda hanya Rp 2.000 per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi Rp 20 ribu per bulan.
Warga yang tak membayar air bersih selama tiga bulan berturut-turut, dikenakan sanksi pemutusan sambungan. Apabila ingin air tersambung kembali, mereka harus membayar denda setara tarif sambungan baru. Tarifnya Rp1 juta per sambungan. Upaya itu ternyata efektif membuat cash flow perusahaan menjadi lancar.
Gebrakan pembenahan itu memberikan dampak yang baik bagi badanh usaha. Pada 2017, BUMDes mampu berkontribusi pada Pendapatan Asli Desa (PADes) sebanyak Rp63 juta. Kini pendapatan dari pengelolaan air bersih mencapai Rp36 juta per bulan, dengan beban operasional Rp12 juta per bulan.
Ekspansi bisnis
Tuntas membenahi sektor air bersih, Edy mulai merintis unit usaha baru. Pada 2018, BUMDes Bhuana Utama membuka unit usaha simpan pinjam. Pembentukan unit ini sebenarnya berawal dari pemikiran sederhana.
Di tahun itu, Edy mengaku tiap pagi nongkrong di depan Pasar Desa Panji yang dikelola oleh desa adat. Saat itu ia menyadari bahwa tiap pagi para pedagang didatangi pegawai koperasi. Dalam sehari, Edy menyebut ada 25 pegawai koperasi berbeda yang datang ke pasar. Mereka memungut pinjaman harian yang diajukan para pedagang.
Dari sana dia berpikir membuka unit simpan pinjam. Tapi Edy tak segera mewujudkan unit usaha itu. Dia butuh jaminan para debitur mengembalikan pinjaman dengan lancar. Bila tanpa jaminan, risiko kredit macet akan tinggi. Sedangkan bila menyalurkan kredit dengan jaminan Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) maupun sertifikat tanah, dibutuhkan landasan fidusia yang kuat. Edy paham betul hal ini, sebab dia sempat bekerja di salah satu perusahaan pembiayaan.
Edy akhirnya punya ide, dia membuat rekening air sebagai jaminan pinjaman. “Pikiran saya sederhana. Orang beraktifitas itu pasti butuh air. Jaminkan saja rekening airnya ke BUMDes,” ujar Edy. Jika kredit macet, dan tidak mau membayar, maka sambungan air akan diputus. Unit usaha itu akhirnya direalisasikan pada 2018. BUMDes menyiapkan modal sebesar Rp100 juta, ditambah penyertaan modal dari pemerintah desa sebanyak Rp50 juta.
Bunganya terbilang rendah, hanya 5 persen untuk pinjaman harian. Lalu 1,98 persen menurun untuk pinjaman bulanan, dan 1,5 persen menetap untuk pinjaman musiman. Warga yang mengajukan pinjaman harus menyertakan rekening air mereka sebagai jaminan.
Seperti diduga, ada saja yang tak mau membayar pinjaman. “Sempat kami putus sambungannya, karena sebulan lebih nggak mau bayar. Mungkin mau coba-coba, apa iya BUMDes berani memutus sambungan,” ujar Edy. Dia bersikap tegas untuk kasus itu. Sambungan air benar-benar diputus, dan Edy memimpin langsung eksekusi itu disaksikan Bhabinkamtibmas dan Babinsa. Aksi tegas itu rupanya cukup manjur. “Begitu diputus, nasabah kami ini beberapa jam langsung bayar kredit”.
Pada tahun sama, Edy kembali melebarkan sayap usaha. Dia membentuk unit toko bangunan. Ide usaha toko ini berawal dari hasil audit internal BUMDes. Saat itu Edy menemukan tiap bulan badan usaha itu harus mengeluarkan biaya antara Rp4 juta hingga Rp6 juta per bulan untuk peremajaan jaringan air bersih. Edy mencium ada hal yang tidak beres.
Dia memberikan solusi bagi segala kebutuhan unit air bersih lewat toko bangunan bentukan BUMDes. Jadi, teknisi tak perlu lagi pergi ke kota untuk sekadar membeli pipa. Cukup mengambil di unit toko bangunan BUMDes. Pembentukan unit usaha itu ternyata bermanfaat ganda. Biaya peremajaan jaringan air bersih dapat ditekan, bahkan mendatangkan keuntungan.
“Di desa kami ini banyak pengembang perumahan. Mereka juga beli bahan bangunan di kami. Minimal semen. Teknisi juga saya naikkan gajinya dari Rp 1,1 juta jadi Rp 2,1 juta sebulan. Biar kesejahteraannya lebih baik,” ujarnya.
Optimalisasi teknologi
Pada tahun 2018 pula, BUMDes Bhuana Utama melakukan pembaruan pada sistem pelaporan dan pencatatan transaksi. Edy menyadari bahwa stafnya belum cakap dengan sistem pencatatan transaksi perusahaan. Soalnya, transaksi harus dicatat dengan pendekatan akuntansi.
Dia kemudian mencari penyedia jasa aplikasi yang bisa mengoptimalkan pencatatan laporan. Bukan hanya sebatas pencatatan arus kas, namun juga pencatatan model akuntansi. Saat itu dia merogoh biaya hingga Rp7,5 juta. Sayangnya sistem itu hanya mampu digunakan secara offline.
Baru pada pertengahan 2019, dia mengenal platform online berbasis web pada laman pam.bumdesaku.id. Lewat laman ini dia meminta agar pengembang platform itu membuat sistem pencatatan pembukuan. Bukan itu saja, Edy juga menambah daftar permintaan berupa aneka sistem informasi, mulai dari tagihan untuk pelanggan PAM Desa, Catat Meter untuk PAM Desa, Sistem Informasi PAM Desa dan BumDes, E-Tabungan, Akuntansi, transfer dana antar nasabah, transaksi, hingga pengelolaan bank sampah.
Lewat platform ini, pelanggan pun mudah mengakses informasi tagihan dan melakukan pembayaran. “Dengan fitur yang cukup banyak itu, platform ini memudahkan saya mengontrol kinerja BUMDes. Saya bisa tahu berapa orang yang sudah bayar tagihan air, berapa orang debitur yang belum bayar. Ini realtime dan ada tag GPS. Tidak ada rumah pelanggan dan debitur yang tidak kita tahu posisinya. Kalau tidak bayar tagihan air atau pinjaman ya tinggal cari ke rumahnya,” ujar Edy.
Upaya Edy mengelola dan mengembangkan BUMDes itu pun berbuah manis. Mengacu data dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Buleleng, pada tahun buku 2019 BUMDes Bhuana Utama telah membukukan omzet sebanyak Rp1,69 miliar, dengan keuntungan sebanyak Rp421,68 juta. BUMDes juga telah memberikan PADes sebesar Rp 107 juta, bantuan sosial untuk Desa Adat Panji dan Subak Tiing Tali masing-masing sebesar Rp 17 juta.