Desa

Kampung Budaya Piji Wetan: berkarya melalui potensi budaya

Anak muda di Desa Lau, Kabupaten Kudus mengembangkan seni budaya sebagai potensi mendongkrak budaya sekaligus ekonomi. Melalui teater mereka merawat warisan Sunan Muria.

Islakhul Muttaqin
Kampung Budaya Piji Wetan: berkarya melalui potensi budaya
Kampung Wiji Wetan di Kudus mengembangkan budaya sebagai aset potensi desa. Islakhul Muttaqin / Pribadi

Lukisan bergaya mural dan didominasi warna ungu dan kuning itu bertuliskan “Kampung Budaya Piji Wetan, Asah Asih Asuh”, berada di sisi kanan Jl. Raya Dawe- Sunan Muria KM.9. Tembok yang berdekatan dengan gedung Haji Kecamatan Dawe itu menjadi pusat perhatian bagi setiap pengendara yang sedang melintas.

Lukisan mural tersebut menjadi tanda bahwa sudah memasuki area Kampung Budaya Piji Wetan yang disingkat KBPW. Sekitar 50 meter dari lukisan mural, terdapat gang dengan hiasan gapura bambu, ditujukan untuk memandu pengunjung yang hendak datang ke pusat kegiatan KBPW.

Kampung Piji Wetan memang tengah populer di Kota Kudus. Kampung yang berada di Desa Lau ini dikenal masyarakat sebagai kampung budaya. Sejak tahun 2015 kampung ini konsisten menggelar berbagai kegiatan yang mengangkat budaya lokal desa. Hasilnya nama Piji Wetan pun pada tahun 2020 berhasil menyabet juara 2 nasional pada ajang lomba "Cerita Budaya Desaku" yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada pertengahan tahun 2020.

Saat ini wajah Kampung Piji Wetan pun tampak berbeda seperti kebanyakan kampung lainnya. Di sepanjang rumah warga terlihat ornamen kebudayaan. Seperti gentong dan aneka mural. Pepohonan juga terlihat rimbun di halaman rumah warga.

Salah satu jantung kegiatan yang ramai berada di Pasar Ampiran sebagai tempat pusat kegiatan KBPW. Pasar ini layaknya pasar tradisional. Bedanya setiap deretan kios memiliki tema dan peranannya masing-masing. Seperti deretan kios kuliner yang menyajikan makanan tradisional. Ada sego aking, sego liwet, sego pager mangkok, wedang squad, telo squad dan jagung squad. Kios lainnya terdapat aneka permainan tradiional. Sementara di sisi timur lainnya terdapat panggung ngapringan.

Muchammad Zaini (36), salah seorang inisiator sekaligus pendiri teater Piji Wetan mengatakan, Pasar Ampiran ini diresmikan pada 15 November 2020 lalu. Dengan adanya tempat ini semua kegiatan KBPW bisa terpusat di satu tempat. Selain untuk pagelaran, tempat ini juga bisa dimanfaatkan arena bermain anak-anak maupun menjadi tempat ngobrol santai masyarakat setiap harinya.

“Tempat ini dibuat dibuat dengan cara gotong-royong, jadi fungsinya memang untuk bersama. Tetapi dibalik itu semua ada filosofi yang diambil dari budaya tutur yang diturunkan secara turun temurun oleh warga dukuh Piji Wetan,” terangnya.

Laki-laki yang sudah lama malang melintang di dunia keteateran Kudus ini menambahkan, budaya-budaya di dukuh Piji Wetan mempunyai korelasi dengan Sunan Muria. Konon katanya, nama dukuh pun diyakini hasil dari pemberian Sunan Muria. Sedangkan filosofi dari Pasar Ampiran sendiri diambil dari cerita tutur masyarakat sekitar.

Secara kolektif masyarakat Dukuh Piji Wetan meyakini pada zaman dahulu menjadi tempat pemberhentian sekaligus tempat peristirahatan bagi peziarah yang hendak ke Sunan Muria. Topografi daerah Piji Wetan yang berada di jalan tanjakan pertama membuat peziarah memilih beristirahat di tempat ini. Sedangkan masyarakat sekitar biasanya menyediakan air gratis sembari menjual makanan.

“Cerita itu bagi kami sangat otentik. Karena bisa dilihat akses jalan yang menanjak menuju ke makam Sunan Muria memang pertama kali berada di wilayah kami,” ujar Zaini.

Budaya yang berkaitan erat dengan Sunan Muria tersebut dinilai menjadi kekuatan utama dalam mengusung konsep kampung budaya. Zaini yang kesehariannya mengajar teater di SMK Duta Karya Kudus mulai memaparkan secara detail tentang perjalanan dalam mengusung konsep kampung budaya.

Gagasan membentuk kampung budaya sudah terlintas sejak tahun 2015. Pada waktu itu, Pemerintah Desa Lau Tengah menyelenggarakan perlombaan untuk memeriahkan kegiatan peringatan hari kemerdekaan. Salah satu jenis dari perlombaan di kegiatan tersebut adalah pementasan panggung dengan tema bebas. Zaini sebagai penggerak memilih menampilkan teatrikal di ajang perlombaan itu.

“Karena latar belakang saya adalah orang teater, saya menampilkan teater di lomba itu. Alhamdulillah apa yang kita tampilkan mendapat juara pertama. Dari situ masyarakat Lau, khususnya masyarakat di dukuh Piji Wetan mulai peduli dengan karya teater masyarakatnya sendiri,” tutur Zaini.

Pengetahuan serta kemahiran dalam berteater akhirnya ditularkan melalui Zaini kepada anak muda lainnya. Sejak itu, terbentuklah komunitas teater Piji Wetan dan mengisi berbagai kegiatan seperti pada Hari Santri Nasional pada tahun 20019 lalu.

“Pementasan yang kami buat dengan memanfaatkan kekayaan budaya yang ada di desa, Karya pementasan teater yang sudah kami pentaskan diantaranya, Weweh, Legenda Belik Ngecis, Tonilan dan Lelangit”.

Karya-karya yang ditorehkan oleh teater Piji Wetan kemudian diasah terus menerus, terutama untuk mendalami kebudayaan masyarakat. Dan mengkaji dengan fenomena yang terjadi saat ini. Seperti pementasan Topo Ngeli dan Pager Mangkok tentang ajaran dari Sunan Muria. Pementasan berlatar sosial budaya ini pun menjadi tema besar saat mengikuti lomba dari Kemendikbud.

Zaini pun menggandeng Ulul Azmi, Rhy Husaini dari dukuh Piji Wetan dan M. Farid yang semuanya merupakan warga Dukuh Piji Wetan. Keempat orang ini merupakan komposisi yang lengkap karena memiliki keahlian berbeda-beda sehingga bisa melengkapi satu sama lain.

“Saya dan adik saya latar belakangnya teater. Kemudian dilengkapi oleh Rhy, yang bergerak di Sastra dan Farid, bergerak di bidang literasi yang konsentrasi di bidang kebudayaan dan Islam,” terang Zaini.

“Waktu yang singkat itu kemudian kami melakukan pendalaman dengan cara menggali langsung kebudayaan itu ke sesepuh desa Colo, desa berkaitan erat dengan Sunan Muria. Praktik kebudayaannya sudah kami lihat. Jadi kami tekankan di muatan sumber sejarah tuturnya. ”

Pager Mangkok dan Topo Ngeli mempunyai nilai filosofis yang dalam. Kedua istilah ini menjadi fondasi pengembangan kampung budaya Piji Wetan. Dalam arti harfiah, topo ngeli berarti bertapa dan mengikuti arus. Nilai ini digambarkan sebagai masyarakat yang hidup di era modern tetap memegang teguh tradisi lokal. Sementara sarat nilai-nilai ajaran sedekah dan gotong royong tercermin pada Pager Mangkok.

Dari dua simbol ajaran Sunan Muria ini akhirnya membawa kampung Piji Wetan berhasil meraih penghargaan juara 2 dalam kategori narasi terbaik. Dan masuk sebagai 30 terbaik dari 486 desa yang mendaftar dalam Lomba Cerita Budaya Desaku tingkat Nasional.

Setelah mendapatkan penghargaan dari Kemendikbud, para inisiator kampung Piji Wetan mendesain adanya kegiatan lain selain teatrikal. Pengembangan tersebut berlandaskan dengan nilai-nilai tradisi yang dirasa mulai ditinggalkan oleh generasi hari ini. Seperti permainan tradisional, makanan tradisional dan mempopulerkan kembali budaya-budaya tutur yang semakin hari semakin jauh dari ingatan generasi milenial.

Rhy Husaini (27), salah seorang inisiator yang bergerak di bidang sastra mengatakan desa ini menjadi ruang yang nyaman untuk mengasah laku-laku keseharian. Dan ini menjadi bagian penting dalam sebuah kebudayaan. Ia berharap generasi saat ini terus belajar dan menggali kebudayaan dari desa. Sebab kemajuan ilmu dan teknologi harus dibarengi dengan pola pikir dan perilaku yang luhur.

Warga tengah menikmati aneka sajian makanan tradisional khas Pasar Ampiran
Warga tengah menikmati aneka sajian makanan tradisional khas Pasar Ampiran Islakhul Muttaqin / Pribadi

Pengembangan kegiatan tersebut tercermin pada konsep Pasar Ampiran. Menurut Rhy, Pasar Ampiran digelar setiap satu sebulan sekali. Di akhir pekan terdapat program Minggu Sehat yang menyajikat konsep makanan tradisional khas Piji Wetan. Partisipasi warga pun menjadi ruh setiap kegiatan di sini. Anak-anak bisa bermain aneka mainan tradisional. Sementara warga bisa saling silaturahmi.

“Yang terpenting itu anak-anak dapat terwadahi di tempat ini. Kami menyediakan fasilitas permainan tradisional seperti, egrang, gobak sodor, gedrik, dakon dan lain-lain,” tutur Rhy.

Setiap minggu selalu mengangkat tema-tema tertentu. Misalnya tema tentang kopi, tanaman hias, kesenian tradisional, hingga fotografi. Tema-tema ini cukup menggenjot minat masyarakat untuk meramaikan acara setiap pekan itu.

Acara ini berdampak pada ekonomi warga. Masyarakat membuat aneka makanan dan jajanan untuk diperdagangkan. Stand-stand perwakilan RT mendapat lapaknya masing-masing yang dikelola oleh kelompok perempuan.

“Menu yang disediakan sesuai dengan kemampuan dan kemauan dari ibu-ibu di RT tersebut. Kami tidak ikut intervensi karena memang ruang ini menjadi kreasi bagi kelompok perempuan”.

"Tamu tidak cepat bosan karena sajian makanan selalu berbeda," ungkap Azizah, 21 tahun penjaga stand yang biasa berjualan nasi aking, sop dan bothok. Setiap kegiatan, rata-rata mendapatkan dua juta rupiah. Pendapatan ini pun membantu ekonomi masyarakat.

Kegiatan berbasis budaya ini berdampak pada banyak hal. Nilai budaya dan peningkatan ekonomi warga terwadahi melalui pengembangan kebudayaan. Masyarakat pun menikmati dan berpartisipasi untuk meramaikan aneka kegiatannya.

Kampung budaya yang digagas empat orang tersebut akhirnya menuai respon yang positif dari pemerintah desa Lau. Rawuh Hadiyanto, selaku Kepala Desa Lau menuturkan, di bulan Januari 2021 Pemdes Lau sudah menganggarkan dana untuk menunjang kegiatan KBPW. Desa sangat diuntungkan dengan adanya kegiatan yang digerakkan oleh anak-anak muda tersebut.

“Meski namanya diambil dari nama dukuh, tetapi kegiatan ini mampu melibatkan semua kalangan desa Lau. Dampaknya pun dapat dirasakan oleh semua masyarakat. Terutama di sektor UMKM Desa Lau sendiri,” pungkasnya.

l

Baca Lainnya