Ilusi BUMDes sebagai penyangga ekonomi desa
Banyak yang terlena dengan cerita kisah sukses desa dan kemajuan BUMDes di tempat lain. Kemudian saat bersamaan bingung eksekusi di desa masing-masing, malah meniru persis tanpa paham potensi desa dan peluang yang dimilikinya berbeda.

Berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) adalah angin segar bagi masyarakat dan pemerintah desa. Peraturan ini membuka peluang peningkatan kesejahteraan dan pembangunan masyarakat desa. Sebelumnya desa lebih banyak menjadi objek, kini memiliki kesempatan dan wewenang dalam merumuskan kebijakan dan menentukan arah pembangunan desanya sesuai potensi dan sumber daya yang dimiliki.
Dengan aturan itu diharapkan desa menjadi subyek yang aktif dan sebagai penggerak motor pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara teknis wadah aktivitas ekonomi desa diakomodir melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang termuat UU Desa Bab X. Keberadaan BUMDes diharapkan menjadi soko guru (tiang penyangga) ekonomi desa dan menjadi instrumen sosial menumbuh kembangkan semangat kekeluargaan dan gotong royong.
Pegiat ekonomi desa Mohamad Tamzil (38 tahun) mengatakan BUMDes merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa. Tujuan utamanya adalah untuk kesejahteraan masyarakat desa. “BUMDes merupakan entitas strategis skala desa untuk mendorong kemajuan dan kemandirian desa di masa depan,” Tamzil kepada Lokadata.id, Rabu (28/4/2020).
Kurun sepuluh tahun terakhir, Tamzil menuturkan, dia kerap diminta menjadi konsultan ekonomi dan pembangunan desa dan BUMDes di beberapa wilayah di Indonesia. Seperti di Kabupaten Mahakam Hulu, Kalimantan Timur, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, terakhir sedangkan mengmbangkan BUMDes dengan produk pelapah pinang sebagai piring pengganti styrofoam yang saat ini masuk tahap kerjasama dengan sejumlah restoran dan rumah makan di wilayah Bali dan Jawa.
BUMDes sebagai instrumen sosial ekonomi desa, menurut Tamzil yang juga Tenaga Ahli Perencanaan dan Pengembangan Usaha BUMDES & UKM Yayasan Penabulu, Jakarta, harus dikelola dengan profesional. Dari sisi pengelolaan juga seperti perusahaan pada umumnya. Hal yang membedakannya adalah orientasinya, tak semata mengejar keuntungan profit, yang lebih penting adalah orientasi benefit atau manfaat kepada desa dan masyarakat.
Ketentuan yang juga termuat dalam Pasal 89 UU Desa, bahwa hasil keuntungan dari BUMDes dimasukkan sebagai Pendapatan Asli Desa (PADes). Kemudian dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat desa dalam berbagai bentuk skema, seperti bantuan masyarakat miskin, bantuan sosial dan lain sebagainya.
Meski UU Desa berpeluang untuk kemandirian desa, dalam kenyataan di lapangan. Banyak kendala dan masalah yang dihadapi desa. Mulai lemahnya pemahaman regulasi, sumber daya manusia, hingga sejumlah kewenangan yang sunat oleh sejumlah elit atau segelintir orang di desa.
Menurut Tamzil, publik sering keliru dengan sejumlah kisah sukses desa dan kemajuan BUMDes di beberapa tempat di Indonesia. Namun kerap bingung dalam eksekusi di desa masing-masing, malah yang sering terjadi meniru persis tanpa paham potensi dan peluang yang dimiliki masing-masing desa yang memiliki karakteristiknya tersendiri.
Pria yang juga calon notaris ini menjelaskan, setiap desa di seluruh penjuru Indonesia memiliki potensi yang luar biasa, unik, dan khas. Namun selama ini potensi-potensi tersebut kurang terkelola dengan baik. Bahkan jika terkelola pun, tidak berdampak terhadap kemajuan dan kemandirian desa tersebut.
“Kenapa? Karena yang mengelola dan mengambil manfaat dari potensi-potensi tersebut hanya segelintir orang secara individu saja, bahkan tidak sedikit yang menikmati merupakan masyarakat luar desa bahkan luar kota,” ujar Tamzil yang tinggal di kawasan Jakarta Selatan.
Dengan adanya BUMDes, lanjut Tamzil, diharapkan semua potensi-potensi desa bisa dikelola dengan optimal dan berdampak kepada masyarakat desanya. Bagaimana itu bisa terjadi?
Dalam aturan dan skema pendirian BUMDes, seluruh atau sebagian besar kepemilikan modal (saham) BUMDes dimiliki oleh desa. Dengan kata lain, maka seluruh atau pun sebagian besar keuntungan akan kembali ke Desa berupa Pendapatan Asli Desa (PADes). Dari PADes inilah pembangunan desa akan terus dilakukan, tidak hanya dalam aspek ekonomi, aspek sosial, budaya, kesehatan bahkan pendidikan pun dapat didorong untuk lebih maju.
Mengukur dampak
Kisah sukses sejumlah BUMDes kerap membuat iri banyak kalangan. Termasuk pengurus desa itu sendiri dan segera berpacu tanpa perencanaan yang baik. Padahal kisah sukses melenakan tanpa melihat jerih payah dan proses yang sudah ditempuh, dan hal itu kerap hilang dalam berbagai kisah, walaupun ada, hanya dalam bentuk sisipan singkat.
Tamzil berbagi pandangan, agar tak cepat silau dengan segala bentuk kisah sukses BUMDes. Bahkan menurutnya, ada hal yang perlu dilihat lebih jeli dalam sejumlah kisah sukses itu. Salah satunya dampak BUMDes kepada desa itu sendiri dan kepada masyarakatnya. “Yang paling kentara dan relatif cepat dilihat dampak kemajuan suatu BUMDes adalah membuka lapangan kerja,” kata Tamzil lebih lanjut.
Dia mencontohkan, jika suatu BUMDes dikelola oleh pengurus BUMDes, setidaknya 5-8 orang lapangan kerja baru tercipta. Lalu dalam menjalankan usahanya, BUMDes bermitra dengan kelompok-kelompok masyarakat desa, seperti pengrajin, kelompok tani, kelompok usaha ibu-ibu dan sebagainya.
Dengan pola seperti itu, menurut Tamzil, bisa dibayangkan jika satu kelompok beranggotakan 5-10 orang, terdapat sekitar 50 sampai 100 lapangan kerja baru yang tercipta dari bisnis yang dilakukan oleh BUMDes. Dengan analogi mudahnya, semakin besar keuntungan yang didapat oleh BUMDes, mestinya semakin besar pula kesempatan masyarakat dan desa untuk maju dan mandiri.
Dengan begitu, amanah UU Desa yang membuka peluang desa untuk menentukan arah pembangunan dan menuju kemandirian ekonomi desa bukan pepesan kosong semata. Namun semua itu butuh proses dari masing-masing perangkat dan masyarakat desa itu sendiri, pemerintah dan semua pihak yang peduli akan masa depan desa.