Haji Kakao Dari Desa Selelos
Desa Selelos, Kabupaten Lombok Utara mengandalkan komoditas kakao sebagai tulang punggung ekonomi masyarakatnya. Bermimpi menjadikan desanya sebagai desa wisata yang terkelola lewat BUMDes Mandiri.
Siang itu, jalanan di lereng utara Gunung Rinjani terasa licin. Hujan rintik-rintik baru saja jatuh ke bumi. Jalan terlihat menanjak dan berkelok-kelok. Selain licin, kiri kanan juga juga tampak ditumbuhi berbagai tanaman kebun.
Sabardi, warga Desa Selelos, Kabupaten Lombok Utara bercerita sejak tahun 1980’an, desanya terkenal sebagai “Kabupaten Kakao” atau daerah penghasil coklat berkualitas di Lombok. Saat itu, kualitasnya terkenal hingga ke manca negara.
Desa Selelos adalah salah satu desa penting penghasil kakao di Lombok. Di rumahnya Sabardi yang asri, terlihat bangunan Baruga atau saung khas Lombok. Inilah tempat tinggal Sabardi yang persis berbatasan dengan kawasan hutan lindung.
Sabardi memiliki lahan seluas 1,5 hektar. Di kebunnya juga tumbuh pohon durian. Bagi masyarakat Selelos, kakao adalah pohon kehidupan yang selama ini telah menjadi penyangga ekonomi masyarakatnya.
“Saat ini mulai diperhatikan oleh pemerintah agar para petaninya semakin sejahtera,” katanya sambil menyeruput kopi.
Memang, komoditas kakao telah menjadi produk industri coklat yang penting di Indonesia dan dunia. Tak salah jika komoditas ini menjadi salah satu yang mendapatkan perhatian besar oleh negara karena memberi dampak bagi perekonomian nasional. Selain itu, keberadaan kakao juga menjadi penyangga ekonomi masyarakat.
Menurut Sabardi, keberadaan kakao di Lombok Utara telah diberikan oleh pemerintah pada tahun 1980 secara gratis. Program ini pun memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Sejak itu, Desa Selelos pun semakin terkenal sebagai pemasok kakao. Bahkan, mendapatkan julukan haji kakao karena keberhasilannya dalam meningkatkan ekonomi masyarakat.
”Banyak masyarakat yang pergi ke Mekkah dari hasil tanaman kakao ini sehingga disebut sebagai haji kakao,” kata Sabardi sambil tersenyum.
Perjalanan kakao di Desa Selelos memang tak selamanya mulus. Mata rantai kakao sangat panjang dan harganya disesuaikan dengan permintaan dunia. Pada tahun 2000'an, seingat Sabardi merupakan titik terendah nilai jual kakao. Kondisi ini pun berdampak besar bagi masyarakat Desa Selelos. "Harga biji kakao kering bahkan hanya dihargai 500 rupiah per kilo,” ungkap Sabardi.
Namun, cerita sedih ini tak lagi ada. Saat ini, jika dalam kondisi normal, rata-rata per kilonya di atas 20 ribu rupiah per kilogram. Dari harga sebesar ini, menurut Sabardi, ia bisa mendapatkan uang sebesar Rp 3 juta hingga 4 juta per bulan. Inilah salah satu penghasilan utama dari kebun miliknya yang sudah menghidupi keluarga Sabardi selama 20 tahun.
Menurut catatan Data Desa Selelos, 90 persen warganya bekerja sebagai petani. Sebagian besar kebun-kebun ini ditanami tanaman kakao, kelapa, dan kopi. Sementara untuk jumlah petani kakao sebanyak 467 kepala keluarga. Dengan total luasan lahan sekitar 550 hektar dan menjadi potensi desa yang sangat besar.
"Pemerintah juga memberikan bantuan yang cukup seperti bibit, pupuk, dan bantuan lainnya," ujar Sabardi.
BUMDes Mandiri Selelos
Keberadaan komoditas kakao yang melimpah menjadi salah satu potensi yang kini digarap oleh BUMDes Mandiri. Bagi BUMDes Mandiri, keberadaan tanaman kakao bisa menjadi sumber pendapatan yang menguntungkan. Apalagi, jika diproses dengan baik sehingga meningkatkan nilai ekonominya.
“Kini menjadi andalan dan dikembangkan oleh BUMDes Mandiri,” kata Judin, Kepala Desa Selelos. Saat ini, BUMDes Mandiri telah mengolah biji kakao dari kakao basah menjadi kering dalam bentuk fermentasi. Biji kakao fermentasi ini tentu saja harganya jauh lebih besar dari harga biji kering biasa.
Pengolahan sistem fermentasi membuat harga kakao naik besar. Dari harga biasa Rp 20 ribu per kilo menjadi Rp 50 ribu per kilogramnya. Namun, membuat biji kakao fermentasi tentu saja perlu pengolahan yang baik. Misalnya, tidak menggunakan terpal sebagai alas penjemuran. Selain itu, biji kakao perlu difermentasikan selama empat hingga lima hari untuk mendapatkan hasil yang berkualitas.
“Penjemuran pun tidak boleh sembarangan karena akan mengubah kualitasnya. Baik rasa maupun aroma,” tutur Judin.
BUMDes Mandiri terus meningkatkan kualitas biji kakao dan market yang lebih besar. Selain itu, mereka juga mengadakan berbagai pelatihan agar para petani kakao memiliki pengetahuan. Untuk pemasaran, rata-rata biji kakao ini dipasarkan ke kota besar, seperti Surabaya dan Bali.
“Tiap tahun bisa mencapai 500 juta rupiah, " ujar Judin dari hasil transaksi ini.
Tak ingin sekedar pemasok biji kakao saja, kini pemerintahan Desa Selelos juga tengah mengembangkan sektor pariwisata. Bersama BUMDes Mandiri mereka melihat ada peluang besar agar Desa Selelos menjadi desa wisata karena perkebunan kakao dan sumber daya alam lainnya. Misalnya, mendirikan usaha homestay sebagai penambah nilai ekonomi warga desa. Kondisi ini didukung oleh keberadaan air terjun.
“Jadi wisatawan bisa datang menikmati secangkir coklat dan air terjun,” “ ungkap Judin menambahkan.
BUMDes Mandiri juga punya usaha lain, seperti usaha simpan pinjam dan penyedia kebutuhan pokok masyarakat. Dua usaha yang menjadi bisnis harian bagi BUMDes Mandiri. Ke depan, pengelola BUMDes Mandiri juga akan mempelajari digital marketing agar pemasaran semakin luas.
Ketua BUMDes Mandiri, Didi Suganti menjelaskan BUMDes Mandiri di Selelos berdiri sejak tahun 2018. Kerja sama berbagai pihak, menurutnya sangat membantu dalam meningkatkan pengelolaan manajemen BUMDes Mandiri ini. “Ini penting bagi pengelola BUMDes dan petani agar tahu pasar mana yang potensial,” katanya.
Desa Selelos bergerak sekuat tenaga agar masyarakatnya bisa lebih berdaya dan mandiri. Keberadaan kakao bisa jadi motor dan daya tarik desa ini. Ada banyak contoh desa yang berhasil tumbuh dan berkembang dari modal berbasis agrowisata. Perlahan dan pasti, masyarakat Desa Selelos, pengelola BUMDes Kakao Selelos, dan dukungan pemerintah desa, berjuang agar mimpi mereka segera terwujud. Menjadikan Desa Selelos sebagai desa wisata baru di Lombok Utara yang menyatu dengan Gunung Rinjani yang megah.
Masyarakat Desa Selelos memang tengah bergerak agar ekonomi desanya lebih berdaya dan mandiri. Keberadaan kakao, cengkeh, kopi, porang, pisang, hingga vanili bisa menjadi penopang ekonomi desa. Kondisi ini juga didukung masyarakat yang telah mendirikan usaha olahan, seperti pisang sale maupun kopi. Tak hanya itu, warga juga telah membentuk kelompok sadar wisata agar mampu mengembangkan potensi sumber daya alamnya. Seperti keberadaan tiga air terjun di desanya, Tiu Saong, Tiu Frendo dan mata air Kakong sebagai destinasi wisata alam.
Pengeloa BUMDes Mandiri dan Pemerintah Desa Selelos percaya berbagai potensi ini bisa mendorong perkembangan desanya. Apalagi keberadaan Desa Selelos sudah terkenal sejak dulu. Ditambah, telah banyak contoh desa-desa di Lombok yang berhasil tumbuh karena sektor agrowisata.