Di Bawah Naungan Pohon Bambu: Suara Perempuan Untuk Pertanian Lestari
Festival Perempuan Istimewa menjadi ajang edukasi sekaligus refleksi persoalan pertanian di tengah perubahan iklim.
Perubahan iklim mengancam ketahanan pangan manusia. Tentu saja risiko ini bisa terjadi mengingat dampak perubahan iklim yang begitu nyata mampu mengubah iklim bumi. Iklim bumi kian memanas dan berdampak besar pada pola iklim di berbagai belahan dunia. Peristiwa ini tampak pada keseharian manusia saat ini. Mulai kekeringan, banjir yang melanda secara hebat, kekurangan air bersih, dan devolusi pertanian yang mengancam pangan manusia.
Kondisi ini membuat para petani bekerja keras dan pasrah dengan keberhasilan panen tanamannya. Namun seringkali para petani mengalami gagal panen dan membuat kondisi kehidupannya semakin sulit. Tak hanya itu, hama tikus dan serangga juga menyerang tanaman mereka secara massif. Kalender musim kemarau atau penghujan tak terprediksi lagi. Nilai-nilai tradisi budaya atau kearifan lokal yang selama ini mereka yakini, seolah tak bisa menjawab mengapa kondisi ini terjadi secara cepat,
Perubahan iklim mengubah ini semua dan banyak penelitian menangkap gejala ini berkaitan dengan perilaku manusia secara umum. Mulai cara mengkonsumsi energi yang tidak ramah lingkungan, mengubah lanskap hutan menjadi area perkebunan besar, aktivitas tambang, hingga cara mengolah pertanian yang tidak lestari.
Ancaman perubahan iklim di masa depan dan risiko keberlangsungan umat manusia perlahan tapi pasti menghadapi persoalan ini. Wajah bumi memang tak lagi sama. Populasi manusia yang semakin membengkak, degradasi lingkungan, dan konsumsi energi yang berlebih, menyebabkan kerusakan lingkungan dan beban pada atmosfir bumi yang menebal.
Bumi kian rintih dan tak berdaya. Timbal baliknya, kini manusia memanen kerusakan di berbagai lini kehidupan.
Namun pernahkah kita sadari bagaimana kita harus beradaptasi dengan perubahan iklim ini? Dan kemudian mengubah perilaku sehat agar lingkungan kian membaik dan bisa berdampak pada iklim yang lebih sehat.
Salah satu upayanya adalah menerapkan pola hidup sehat. Mulai dari apa yang kita santap di meja makan dan bagaimana kita menghasilkan makanan itu secara sehat bagi lingkungan.
Upaya ini sedang dilakukan oleh Kelompok Tani Perempuan Karya Lestari Mandiri atau Karisma yang berada di wilayah Bukit Menoreh, Kulonprogo, Yogyakarta. Kelompok ini memang semuanya para petani perempuan yang peduli menerapkan cara bertani yang lestari. Termasuk menumbuhkan keragaman pangan lokal dan perlindungan kekayaan benih lokal.
Kelompok Tani Perempuan Karisma menjadi ujung tombak di desa mereka untuk berjuang menghasilkan pertanian yang sehat sekaligus bisa menghidupi mereka secara berkelanjutan. Gerakan kelompok ini menjadi oase di tengah ancaman krisis pangan dan perubahan iklim.
Praktik baik pertanian menjadi pola pertanian yang kini gencar mereka lakukan. Pengamatan bertahun-tahun dalam mengolah tanah, menanam aneka ragam sayuran, dan mengamati iklim menjadi mercusuar mengapa pertanian secara lestari menjadi jawaban tepat di tengah kondisi bumi yang tidak baik-baik saja.
Saat ini ada lima jenis benih padi unggulan lokal yang mereka tanam. Padi merah, pandang wangi, berong, mentik susu, dan rojolele. Dari lima jenis padi ini, mentik susu dan rojolele menjadi bibit paling unggul dan produktif di lahan sawah mereka.
Tak hanya itu. Warga juga menerapkan penggunaan pupuk organik hasil dari olahan pupuk kotoran hewan ternak, kompos organik sekitar desa, dan pembuata cairan enzim agar bisa menghasilkan pupuk berkualitas dan tidak memiliki efek buruk pada lingkungan.
Nilai budaya Jawa yang kental seperti pranata mangsa dalam pertanian mereka terapkan sepanjang musim tanam. Mulai melihat cuaca, ketersediaan air, kelembaban tanah, hama, dan jenis tanaman yang cocok. Dalam setahun, warga menerapan tiga musim tanam untuk mengatur pola tanam di sawah, ladang, dan menjaga kesuburan tanah ladang warga.
Perubahan iklim memang nyata dan menjadi keseharian para petani di desa. Praktik baik yang dilakukan oleh kelompok tani ini turut mengurangi risiko terburuk dari perubahan iklim. Tentu saja upaya mereka sangat terbatas di tengah tantangan lainnya. Seperti kebijakan politik yang lebih memihak para petani, akses ekonomi yang lebih adil dan setara, dan juga regenerasi petani ke depan.
Kelompok Tani Perempuan Karisma terus membangun jejaring dan gerakan kolektif lainnya secara kreatif. Mereka juga menginisiasi Angkringan Karisma sebagai wadah untuk menjajakan hasil olahan warga. Mulai dari sayur mayur, buah, bumbu dapur, dan olahan pangan lokal secara mandiri.
Wadah ini juga menjadi sarana belajar dan berbagi pengalaman agar pengetahuan, keterampilan, dan semangat anggota kelompoknya tetap menyala dan terjaga.
Upaya mereka tetap hidup dan berdenyut di tengah gemuruh krisis pangan dan tantangan pertanian di Indonesia ke depan. Di bawah naungan bambu di Bale Klegung, Kulonprogo, secuil diskusi hangat, secangkir jamu kunyit, semangkuk geblek Kulonprogo, dan solidaritas dalam Festival Perempuan Istimewa, menjadi suguhan intim dan inspiratif.