Jambu citra, primadona pertanian Desa Menawan
Jambu citra menjadi andalan pertanian Desa Menawan, Kabupaten Kudus. Sekitar 25 ribu pohon jambu citra tumbuh di desa ini. Para petani di Menawan mulai berinisiatif untuk meningkatkan daya saing dan kualitas, sembari melepaskan diri dari sistem ijon
Desa Menawan, Kecamatan Gebog, adalah desa terluas kesembilan di Kabupaten Kudus. Dengan luas wilayah 825,54 hektar, kini Menawan dikenal sebagai produsen jambu air terbanyak dan terbaik di Kudus. Pada 2018, jambu air citra dari Menawan dipilih sebagai wakil dari Kudus oleh Dinas Pertanian dan Pangan Kudus dalam acara Gelar Promosi Agiribisnis yang dihelat oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Menurut Suhardi (41 tahun), pegawai Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) Desa Menawan, penanaman jambu citra di Menawan sebenarnya gejala baru. Dulu, di Menawan hanya ada jambu air hijau yang oleh masyarakat setempat disebut jambu lokal. Cerita bermula pada 1996, ketika seorang pedagang buah dari Demak memperkenalkan jambu citra kepada warga Menawan.
“Pedagang dari Demak itu mengajak warga di sini menanam jambu air jenis baru dan berjanji akan membelinya. Melihat ada potensi ekonomi, warga pun akhirnya mulai menebangi jambu air lama dan menggantinya dengan jambu citra,” tuturnya pada Senin (5/4/2021).
Merujuk catatan Suhardi, sekarang terdapat kurang lebih 25 ribu pohon jambu citra di Desa Menawan. Sementara jambu lokal tersisa hanya 500 pohon. Peralihan dari jambu lokal ke jambu citra ini bukan tanpa alasan. “Satu kilogram jambu lokal kelas AB harganya maksimal Rp15.000, sedangkan jambu citra di kelas yang sama minimal Rp17.000,” tuturnya.
Di tingkat pedagang, ada tiga kategori kualitas jambu citra: super, AB dan C. Kategori super adalah yang memiliki berat minimal 250 gram/buah, tidak ada goresan pada kulit buah, tidak busuk, tingkat kematangan merata dan buah dalam kondisi segar. AB adalah yang kategori dengan berat buah acak, tidak ada goresan pada kulit buah, tingkat kematangannya merata. Sedangkan yang terendah, C adalah jambu dengan berat di bawah 100 gram/buah, tingkat kematangan acak, dan ada goresan pada kulit buah.
Arin Nikmah, Kepala Seksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kudus merencanakan Desa Menawan akan dijadikan sebagai sentra penghasil jambu citra di Kudus dengan membuat kebun terpadu. Pihaknya masih menemui kendala perihal data pasti tentang jumlah lahan dan kapasitas produksi per tahun jambu air di Menawan. Penyebabnya adalah lokasi kebun yang tersebar sehingga menyulitkan pendataan keseluruhan jumlah pohon.
“Dengan adanya kebun terpadu yang dimaksud, pihak dinas akan lebih mudah dalam monitoring dan meningkatkan jumlah produksi,” ujarnya ketika ditemui di kantornya, Rabu (7/4/2021).
Selain itu, Dinas Pertanian Kudus juga berencana mengajukan hak paten atas jenis jambu citra di Menawan ke pemerintah pusat. “Dinas melihat jenis ini yang merupakan yang pertama yang dibudidayakan masyarakat. Dengan dipatenkan, jambu citra akan menjadi aset desa sekaligus pemerintah daerah untuk meningkatkan ekonomi masyarakat,” imbuhnya.
Tri Lestari, Kepala Desa Menawan, mengakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Secara kuantitas, jumlah pohon jambu citra di Menawan memang yang terbanyak di Kudus. Namun karena lokasinya yang tersebar dan kepemilikan warga yang berbeda-beda, potensi ekonominya belum tergarap maksimal.
Pemerintah desa juga belum bisa melakukan banyak intervensi karena pohon jambu citra sebagian besar ditanam di tanah warga. Ini melahirkan kendala lainnya yaitu sulitnya memutus mata rantai sistem ijon yang merugikan petani. Sistem ijon adalah pembelian saat buah belum masak dan baru diambil pembeli ketika sudah masak. Karena berdasarkan perkiraan, pembelian sistem ijon menimbulkan harga jual yang rendah.
“Masyarakat sudah tergantung dengan sistem ijon ini. Sudah menjadi kebiasaan mereka menjual ke tengkulak dalam jangka panjang. Dampaknya, masyarakat kurang menikmati hasil ekonomi dari pertanian ini,” ujarnya ketika ditemui pada Senin (5/4/2021).
Kondisi tersebut, tambah Lestari, juga disebabkan oleh mahalnya biaya perawatan. Selain kebutuhan pupuk yang banyak, berbagai jenis pestisida juga dibutuhkan untuk mencegah serangan hama. Jadi, tidak mengherankan jika petani memilih untuk menjual hak pengelolaan pohon kepada tengkulak, terlebih lagi bagi petani yang kepemilikan pohonnya sedikit.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pihak pemerintah desa berencana membuka lahan khusus untuk perkebunan jambu citra. Nama yang dipilih rencananya adalah “Kampung Iklim Jambu.”
“Lahan sudah dibuat, ini dalam proses penggarapan. Sudah tiga bulan ini kami baru menyiapkan bibit yang akan ditanam,” ujar Lestari.
Sistem Ijon dan Dampaknya
Supriyono, salah seorang warga Menawan yang mempunyai 10 pohon jambu citra memilih untuk menjual pohon tersebut selama lima tahun kepada pengepul. Dari biaya sewa itu dia mendapatkan Rp10.000.000. Perawatan yang mahal adalah alasan dia lebih memilih cara ini.
“Daripada pohon ini tidak terawat dan saya tidak mampu merawatnya, lebih baik saya jual per lima tahun kepada pengepul,” ungkapnya pada Senin (5/4/2021).
Selain ongkos pembelian pupuk dan pestisida, beban biaya produksi lainnya adalah upah pekerja. Ketika pohon sudah berbunga, bunga-bunga tersebut harus dibungkus plastik. Upah harian pekerja untuk melakukan hal ini sekarang sudah mencapai Rp120.000 per hari.
“Upah tenaga kerja ketika musim panen tiba malah lebih mahal lagi. untuk memetik buah yang siap panen, per orang mencapai Rp150.000 sehari,” ungkapnya. Jambu citra dapat dipanen tiga kali dalam setahun. Waktu panen raya biasanya pada bulan Juni, Juli dan Agustus.
Tingginya biaya produksi itu juga dikeluhkan oleh Supeno (45 tahun), seorang pengepul setempat. Sekarang dia memiliki 12 orang pekerja untuk tugas perawatan dan memanen. “Belum lagi mereka minta persekot Rp500.000 di muka sebelum mulai bekerja,” tambahnya.
Meningkatnya upah pekerja dipicu oleh makin banyaknya orang yang menekuni profesi sebagai pengepul. Di Menawan saja terdapat sekitar 20 orang pengepul, belum lagi dari desa-desa tetangga.
“Sekarang para pengepul selain bersaing mendapatkan dagangan juga bersaing mendapatkan pekerja. Pekerja yang terbatas jumlahnya membuat upah menjadi tinggi,” ujar laki-laki yang sekarang mengelola 300 pohon jambu citra ini.
Dengan pohon sejumlah itu, Supeno mendapatkan hasil panen rata-rata 50 ton dalam setahun. Pembeli terbesarnya dari Jakarta. Dia mematok harga Rp17.000-20.000/kg kepada pembelinya, dan mampu mengirimkan 4-5 ton jambu citra kualitas AB setiap bulannya.
Sistem Alternatif
Miftahus Surur (32 tahun), adalah salah seorang warga Desa Menawan, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus yang menekuni pertanian jambu air. Mitftah, sapaan akrabnya, sudah 10 tahun terakhir menekuni profesi ini. Dia memiliki 200 pohon jambu air produktif yang tersebar di empat titik di desanya.
Setelah melewati masa-masa belajar dan jatuh bangun membangun usaha di tahun-tahun awal, usahanya berkembang cukup pesat empat tahun terakhir. Kini, dalam sebualan dia berhasil memproduksi 4 ton jambu air yang sebagian besar dia kirim kota-kota besar di Jawa, seperti Semarang, Jakarta, Bandung, dan Bogor.
“Setelah saya memutuskan hanya menjual jambu kualitas super dan AB saja, usaha ini kemudian berkembang. Saya kemudian menyadari bahwa konsumen di kota-kota besar lebih menekankan kualitas,” ujaranya pada Sabtu (3/4/2021).
Untuk jambu air kualitas super, Miftah mematok harga jual Rp27.000-30.000/kg. Sementara untuk kualitas AB Rp21.000-22.000/kg.
“Untuk yang super, beratnya minimal 250 gram per buah, tidak ada goresan di kulit buah, kematangannya merata dan kondisinya segar. Kalau yang kualitas AB kualitasnya di bawahnya, tapi saya jamin jambu yang saya jual kondisinya segar dan kematangannya merata. Bedanya paling di beratnya saja,” ujarnya.
Dengan 200 pohon yang dia miliki, Miftah rata-rata mendapatkan 40 ton jambu air dalam setahun. Sebanyak 80 persen darinya adalah jambu dengan kualitas super. Untuk permintaan jambu kualitas AB dia sering membeli dari petani lain seharga Rp17.000-18.000/kg, karena produksi kebunnya tidak memenuhi kuota permintaan.
Untuk pemasaran, Miftah dibantu oleh adiknya laki-lakinya Samsudin Afendi (29 tahun). Afendi memanfaatkan media sosial seperti facebook dan instragram dan berbagai platform marketplace sebagai kanal promosi. Jambu air yang dijual dia beri nama “Jambu Citra Kudus.”
“Kami sekarang berbagi tugas. Kakak saya fokus di pertaniannya, saya fokus di manajemen penjualannya,” ujar Afendi Sabtu (3/4/2021).
Untuk mendapatkan dagangan, Miftah memilih untuk tidak menjadi pengepul. Cara yang dia pakai adalah sistem bagi hasil dengan petani. Mekanismenya, Miftah menanggung seluruh ongkos produksi dengan persentase bagi hasil sepertiga untuk pemilik dan tiga per empat untuk Miftah. Sepertiga yang diterima pemilik pohon adalah keuntungan bersih hasil penjualan setelah dipotong biaya produksi.
Marjan, seorang petani dari Rahtawu yang memiliki 20 pohon jambu citra memberikan kesaksian menarik tentang sistem yang dipakai Miftah ini. Dulu, dia terbiasa menyewakan pohon-pohon miliknya kepada pengepul dengan harga Rp500.000 per pohon per tahun. Jadi, dalam setahun dia mendapatkan Rp10.000.000.
Sejak 2018 Marjan memutuskan bekerjasama dengan Miftah. Di tahun pertama, dia mendapatkan keuntungan bersih Rp20.000.000, meningkat 100 persen dari perolehan sebelumnya.
“Awalnya saya hanya coba-coba, tetapi hasilnya lebih menguntungkan daripada dijual ke pengepul, ya saya lebih memilih bagi hasil saja,” tutur Marjan pada Sabtu (10/4/2021).
Sistem yang Miftah tawarkan ini lebih berpihak ke petani ketimbang sistem ijon. Untuk menutup ongkos produksi yang mahal, dia bersiasat dengan memilih memproduksi jambu citra kualitas super yang harganya lebih mahal.
“Selain perawatan standar, pemupukan dan pemberian pestisida, saya juga melakukan pemangkasan berkala pada batang yang sudah tidak produktif dan membatasi ketinggian pohon. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan jambu dengan kualitas super,” jelas Miftah.
Untuk mendapatkan harga jual yang tinggi, sejak 2015 Miftah mulai membangun pasar di wilayah Jabodetabek. Untuk memangkas rantai distribusi, dia memilih tidak menyuplai pedagang-pedagang besar, namun mengirimkan langsung ke toko-toko buah di sana.
“Di Jabodetabek, untuk jambu kualitas super permintaan terus meningkat. Konsumen perkotaan sangat menekankan kualitas,” jelasnya.
Adi (32 tahun), pemilik toko buah di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, mengaku secara rutin menerima kiriman jambu air Kudus dari Miftah. Dalam sebulan, rata-rata dia mengambil sebanyak 5 kuintal. Alasan dia memilih jambu air Kudus adalah karena cirinya yang khas.
“Jambu air Kudus memiliki ukuran lebih besar dibanding dari daerah-daerah lain. Untuk kualitas super, daya tahannya juga lebih lama, meski dari segi rasa masih kalah manis dibanding jambu air dari Demak,” ujarnya lewat sambungan telepon pada Minggu (11/4/2021).
Dari segi pasar, Miftah mengaku tidak ada persoalan berarti. Masalah terberat yang dia hadapi sampai sekarang adalah besarnya biaya produksi. Dia berharap ada perhatian serius dari pemerintah daerah untuk membantu mengatasi persoalan ini.
Persoalan serupa juga dihadapi oleh Supeno. “Kendala utamanya sekarang kami butuh pendampingan dan inovasi untuk perawatan pohon jambu agar biaya produksi bisa ditekan,” ujarnya.