Dari batu dan karang terbitlah lahan idaman
Dua tahun untuk pembukaan lahan dan penyuburan tanah. Tahun ketiga mulai menanam aneka sayur dan tanaman yang terinegrasi dengan peternakan.
Gestianus Sino, 37 tahun, selalu terkesima dengan daerah yang disinggahi dan berlahan subur di Pulau Jawa. Sejauh mata memandang ada bentangan sawah ditambah pepohonan nan rindang, sistem irigasi dari sungai yang terus mengalir dan bergemericik sepanjang tahun.
Dia merasakan hal itu ketika hadir dalam pelatihan pertanian di Bogor yang dihelat oleh sebuah yayasan lingkungan hidup pada 2014. Di kampung halamannya, di Matani, Desa Penfui Timur, Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), kondisi seperti itu boleh dikata langka.
Tiga tahun sebelumnya atau pada 2011, setelah menamatkan studinya dari Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Gestianus, yang akrab disapa Gesti, memilih profesi menjadi petani. Itu adalah pilihan sadar, meski kondisi lahannya tandus. Lahan yang tanpa rumput dan terdiri dari hamparan batu dan karang, baik di dalam maupun permukaan tanah.
“Batu dan karang itu harus saya cungkil. Kalau batu besar ya pakai pemecah batu,” kata Gesti kepada Lokadata, Sabtu (20/09/2020). “Luas lahan saya sekitar 1.000 meter persegi dan masa itu benar-benar membuka lahan baru statusnya.”
Dalam menyiapkan lahan idaman yang subur, dia melakukan semuanya sendiri. Dalam sehari dia hanya bisa mencungkil batu dan karang sekitar satu meter persegi. Itu pun sudah dibantu breaker listrik atau alat khusus pencungkil batu. Untuk sumber listrik dia menyewa genset dengan daya 5500 W.
Setelah menyingkirkan batu karang, Gesti paham, tanah itu tidak bisa langsung ditanami. Dia harus menyuburkan tanah dengan kompos buatan sendiri, dari kotoran ternak dan sisa-sisa panen tanaman dan sayur warga. Lalu setiap pagi dan sore tanah itu disiram. Dia sampai membeli air dari mobil tangki dan ditampung dalam kolam yang dilapisi terpal. “Butuh waktu dua tahun untuk proses pembukaan lahan baru itu hingga siap tanam. Biaya airnya sekitar Rp60 juta untuk lahan itu,” kata Gesti.
Gesti sudah memperhitungkan semua upaya itu, dia sudah bertekad menjadi petani organik di lahan yang tadinya tandus. Keluarganya adalah keluarga petani. Ilmu pertanian dari bangku kuliah telah membuka cara berpikirnya dalam pengelolaan tanah di NTT. Dia ingin bertani dengan pertanian modern.
“Itu kadang yang membuat saya iri saat ke daerah yang tanahnya subur, air sungai terus mengalir, dan alat-alat pertanian melimpah dan mudah di dapatkan seperti di Jawa,” ujar Gesti.
Didukung keluarga dan modal pinjaman dari bank yang tidak mencapai seratus juta, Gesti bergerak maju. Dia tak lagi ragu meskipun banyak uang yang terkuras, dari beli tanah, biaya pengolahan dan alat-alat pertanian lainnya. Dia berprinsip bertani untuk kini dan nanti. “Semua biaya itu saya anggap sebagai investasi awal. Sejak awal saya berniat tidak akan menggunakan pupuk kimia. Sebab lahan ini akan menjadi penopang hidup ke depan,” ujar Gesti.
Pertanian organik dan terintegrasi
Baru pada sekitar 2013 lahan yang dibuka itu siap ditanam. Namun Gesti tak mau terjebak dengan model pertanian yang hanya mengandalkan satu jenis komoditas. Selain menanam sekitar 12 jenis sayuran antara lain kubis, lobak, cabai, tomat, dan kacang panjang, dia menanam pisang hingga pepaya. Lalu membuat kandang ternak hingga kolam berbagai jenis ikan.
“Rencana awal saya memang membuat pertanian organik yang terintegrasi. Misalnya untuk kompos dari sisa panen sayur, rumput hijau, dan kotoran ternak. Jadi dalam satu lahan semuanya saling terkait, tidak ada yang terbuang,” kata Gesti.
Dia mencontohkan, berbagai jenis sayur tidak layak makan akan diberikan untuk ternak. Misal untuk daun sayur akan diberikan ke kambing, sisa pepaya untuk ikan dan ayam. Jika tetap masih ada sisa, semua itu akan diurai jadi pupuk kompos. Demikian juga dengan kotoran ternak yang diolah dan urai untuk jadi pupuk.
Semua jenis sayur yang ditanamnya banyak berasal dari luar Kupang, bahkan dari Pulau Jawa. Setelah tiga bulan masa menanam sayur, masa panen pun tiba seperti kubis, tomat, brokoli, cabai, dan sawi. Usaha dan kerja kerasnya sudah mulai menunjukkan hasil. Hasil panen itu siap dipasarkan.
“Saya menjajakan hasil panen ke rumah warga, warung, restoran, rumah makan, hingga hotel. Jalan sejak pagi hingga sore. Pakaian saya rapi kayak orang kantoran gitu, ke mana-mana bawa tas yang isinya sayur, habis itu saya kasih kartu nama pada orang yang saya temui,” kata Gesti.
Usaha itu berbuah. Pembeli mulai berdatangan satu persatu. Ada yang langsung ke lahan pertaniannya hingga pesanan lewat telepon. Pendapatannya awal-awal dari hasil komoditas pertanian dan peternakannya sekitar Rp1,4 juta, “Itu angka yang cukup bagi saya di Kupang, malah lebih. Uangnya paling untuk beli beras, karena sayur dan lainnya sudah ada.”
Strategi lainnya adalah memberikan sayuran gratis ke warga. Tak hanya memberi juga mendidik warga tentang bagaimana cara memasaknya. Menurut Gesti, awal-awal panen, banyak warga yang tidak terbiasa dengan sayuran seperti lobak, kubis, hingga daun sawi.
Mulai dikenal dan berbagi
Pada 2014, namanya kian santer terdengar di Kota Kupang. Lokasi pertaniannya dikenal sebagai tempat menjual hasil pertanian organik dan peternakan. Banyak petani dan kelompok tani lain main ke tempatnya, diskusi dan sharing dalam hal pengelolaan lahan.
Setelah pesanan semakin banyak, dia merekrut lima karyawan. Mereka membantu mengelola tanaman dan peternakannya hingga mengurus administrasi. Sekitar 2015 omset penjualannya rata-rata mencapai Rp25 juta per bulan. Aneka jenis sayuran itu, menurut Gesti, tak pernah berhenti sepanjang tahun.
Pada saat itu usahanya mulai dilirik investor. Ada banyak bank hingga koperasi mulai menghubunginya untuk memberi pinjaman pengembangan usaha. Gesti memilih meminjam uang di bank. Dia butuh dana untuk pembuatan sumur bor yang dalamnya hingga 92 meter. Dia juga membuat rumah seluas 200 meter persegi, yang menjadi tempat tinggal sekaligus kantornya. Dia juga membeli mobil angkutan sayur ke konsumen. “Kami tambah pendingin juga untuk daging. Mau tidak mau listrik harus ditingkatkan menjadi 5500 VA untuk mengelola semuanya,” kata Gesti.
Semua proses itu dilaksanakan dengan telaten. Dia menemui langsung calon pembeli, dan juga melalui kontak telepon seluler. “Kota Kupang itu kecil, tidak seperti Jakarta. Orang-orang tahu lokasi saya. Jadi saya belum punya hape Android saat itu, baru punya tahun 2016. Makanya saya tidak punya dokumentasi awal saat membuka lahan,” ujarnya.
Telepon seluler membuatnya tambah sibuk. Dia rupanya tak hanya berjualan di Facebook atau di Grup Whatsapp, tapi juga melayani pertanyaan petani atau kelompok tani dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan agar lebih produktif. Sejumlah lembaga meliriknya juga, semisal Pemda dan juga kelompok tani binaan Bank Indonesia Cabang Kupang. Mereka ingin menimba ilmu dari Gesti.
“Saking semangatnya saya berbagi dan menemui orang, sampai ada orang tegur saya dan bilang, ‘jangan terlalu detail kalau ngasi tahu orang, nanti malah jadi pesaing’. Saya malah heran dengan cara pandang seperti itu, malah semakin bagus dan produktif jika banyak orang yang memanfaatkan lahan kosong di Kupang atau di NTT,” kata Gesti. “Setiap orang punya jalan rezekinya masing-masing dari Tuhan.”
Atas sikapnya yang tulus itu, pada 2018, Gesti menjadi Duta Petani Muda Indonesia. Acara itu diselenggarakan oleh Oxfam Indonesia dan beberapa lembaga. Gesti juga menjadi pembicara dalam Indonesia Development Forum (IDF), konferensi internasional yang diselenggarakan oleh Bappenas di Jakarta. Sebagai hadiahnya, dia diberangkatkan ke Australia selama seminggu untuk studi banding tentang sistem pertanian yang terintegrasi. “Petani dihormati di sana. Bahkan regulasinya hasil panennya ketat dari pemerintah terkait standar produk. Belum lagi sistem mekanisasi pertaniannya, terus koperasi tani kuat dan punya daya tawar ketika menjual ke pihak pabrik atau lainnya,” ujar Gesti.
April lalu, Gesti dikukuhkan menjadi Duta Petani Milenial 2020 dari 67 orang yang dipilih oleh Kementerian Pertanian. Dengan tugas itu, kini Gesti tambah bersemangat mengajak anak muda di Kupang dan NTT untuk menjadi petani.
Lahan pertanian tandus itu kini menjadi lahan produktif, bahkan menjadi tempat pelatihan pertanian dari berbagai kalangan. “Tahun ini ada sekitar 100 mahasiswa pertanian di sini. Makin banyak yang ke sini, akan semakin banyak peluang yang bisa kita ajak menjadi petani,” ujar Gesti.
Dengan segala capaian itu, Gesti merasa tak akan berhenti untuk menekuni pertanian. Tahun depan dia berencana membuat peternakan sapi terintegrasi. Dia baru membeli lahan seluas 1200 meter yang lokasinya tak jauh dari desanya.
“Ya mulai dari nol lagi kayak dulu, membuka lahan baru. Namun kali ini, yang didahulukan adalah jenis tanaman rumput untuk ternak. Baru nanti kita buat sistem mekanisasi ternaknya,” kata Gesti.